Oleh Rida K Liamsi
1. KETIKA Sultan Mahmud Syah Melaka wafat tahun 1528 di Pekan Tua, Kampar (Indonesia sekarang), dia digantikan anaknya Alaudin Riayat Syah sebagai Sultan Melaka.
Karena terus menerus dalam ancaman Portugis dan konflik politik sesama penerus Melaka, di Pekan Tua, Alaudin telah pergi ke Pahang dan ingin menjadi Sultan di sana, karena Pahang meski jadi kerajaan sendiri, tapi tunduk ke Melaka.
Tetapi dia telah ditolak oleh penerus Melaka lainnya yang berkuasa di Pahang (dinasti Muhammad Syah). Lalu Alaudin pergi ke Johor. Dia diterima di negeri yang tidak beraja ini, dan kemudian mendirikan kerajaan di sana. Dan sejak 1529 itu, sampai tahun 1721, kerajaan itu disebut kerajaan Johor (Pahang, Terengganu dan Riau).
Pertanyaannya, mengapa kerajaan ini tidak disebut kerajaan Melaka? Bukankah para pendiri dan penerusnya adalah keturunan Sultan Melaka Mahmud Syah, setidaknya sampai tahun 1699? Penyebabnya antara lain, karena sejak eksis di tanah Johor di ujung selatan semenanjung Melaka itu, tidak sekalipun kerajaan ini pindah pusat pemerintahannya kembali dan berpusat kembali di Melaka.
Bahkan tahun 1641, ketika Johor yang dibantu Belanda berhasil menyingkirkan Portugis dari Melaka, Johor malah menyerahkan Melaka pada Belanda.
2. Kenyataan demikian juga terjadi dengan kerajaan Kesultanan Riau (Johor, Pahang, dan Lingga) yang eksis sejak tahun 1722 di Hulu sungai Riau (sungai Carang sekarang) di pulau Bintan, Kepulauan Riau. Sampai kesultanan ini runtuh ditelan Belanda tahun 1912, tidak sekalipun pindah ke Johor atau semenanjung tanah Melayu.
Bahkan ibukota pemerintahannya tahun 1787, pernah pindah ke Daik (Lingga), dan tahun 1900, pindah ke Penyengat. Jadi mengapa kesultanan ini disebut kesultanan Johor, Pahang dan Riau? Memang Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah, sultan (Yang Dipertuan Besar) kesultanan Riau yang pertama, adalah putera Tun Abdul Jalil, sultan Johor yang disingkirkan Raja Kecik (keturunan darah Melaka) tapi Sultan Sulaiman sama seperti Alaudin Riayat Syah (Melaka) tidak sekalipun berniat memindah pusat pemerintahannya ke Johor. Sebaliknya Johor hanya dijadikan daerah pegangan Temenggung, bersama Singapura.
Artinya jika mengambil kasus berdirinya kerajaan Johor, tahun 1529, maka kesultanan Riau (Johor, Pahang, Lingga) yang berdiri tahun 1722 itu, bukan lagi bahagian dan penerus kesultanan Johor yang sudah tumbang tahun 1721.
Artinya, Kesultanan Riau (1722-1912) adalah kerajaan baru bernama kerajaan Riau, sementara nama Johor, Pahang dan Terengganu disebut karena daerah itu merupakan daerah taklukan dan negeri pegangan.
Artinya, kesultanan Riau itu, sejak tahun 1722, adalah bahagian dari sejarah Indonesia, bukan bahagian sejarah Malaysia. Apalagi dalam aspek pemerintahan, di kesultanan Riau itu sudah bersatu dan bersebati dengan tradisi dan sistim politik Bugis. Persebatian melayu-bugis telah menjadi sistim dan kedaulatan politik di kesultanan ini.
3. Yang dapat dikatakan penerus Kerajaan Johor itu sebenarnya adalah kerajaan Siak Sri Indrapura, yang berpusat di sungai Siak (Riau sekarang), karena pendirinya adalah Raja Kecik, Sultan Johor yang bergelar Abdul Jalil Rahmat Syah, karena ketika dia mendirikan kerajaan Siak, dia tetap memakai gelar Sultan Johor, Abdul Jalil Rahmat Syah.
Sama seperti Alaudin Riayat Syah yang memakai gelar Sultan warisan Melaka. Tapi seperti Alaudin Riauat Syah, maka Raja Kecik atau Abdul Jalil Rahmat Syah itupun tidak sekalipun pernah memindahkan kembali pusat pemerintahannya ke Johor. Raja Kecik (1721-1740), tetap di Siak sampai akhir hayatnya.
Demikian juga dengan para penerusnya, sampai kerajaan ini berakhir tahun 1946. Siak tetap menjadi bahagian sejarah Indonesia, sejak tahun 1723.
4. Tahun 1819, Ketika Sultan Husin Syah, putera tertua Sultan Riau, Mahmud Riayat Syah, mendirikan kerajaan Singapura dan Johor, dengan bantuan Inggeris, dia tetap menyembah ke Riau dan mengaku kerajaan Riau sebagai pusat daulat dan tempat meminta tunjuk ajar dalam urusan pemerintahan dan adat istiadat.
Demikian juga Pahang. Baru tahun 1885, Johor menjadi kerajaan baru di bawah Maharaja Abu Bakar dan tahun 1888, Pahang menjadi kerajaan sendiri di bawah Ahmad Syah. Keduanya didukung oleh Inggris.
5. Artinya, kenyataan sejarah masa lalu sebagai dasar klaim seperti dikatakan Dr M itu, sebenarnya bisa juga dilakukan oleh Indonesia melalui sejarah Kepulauan Riau, yang mewarisi wilayah administrasi pemerintahan eks Kesultanan Riau itu, terhadap Singapura, Johor dan Pahang.
Karena ketiga wilayah itu dahulunya adalah daerah taklukan dan kekuasaan Kesultanan Riau. Klaim seperti ini pernah dilakukan oleh Sultan Riau Mahmud Muzaffar Syah (1843-1857) yang minta Inggris mengembalikan Pahang, Johor dan Terengganu kepada Kesultanan Riau.
Bahkan tahun 1852, Sultan Singapura dan Johor, Ali Iskandar Syah pernah hendak mengembalikan Singapura dan Johor kepada Riau, tapi telah digagalkan oleh Inggris dan Belanda. Karena rencana politiknya itu, Mahmud Muzaffar Syah dimakzulkan oleh Belanda, diawasi tindak tanduknya oleh Inggris di kawasan semenanjung.
Mahmud Muzaffar Syah pernah menggunakan seorang pengacara asing untuk meujudkan klaimnya itu, menyatukan kembali wilayah kekuasaan Kesultanan Riau yang sudah tercabik cabik itu.
6. Belanda dan Inggrislah yang memisahkan kedaulatan kesultanan Riau (Johor , Pahang, lingga) melalui traktat London 1824. Dan Belanda lah yang paling kukuh menggunkan istilah kerajaan Johor, Riau dan Pahang, dalam dokumen dokumen perjanjian, kontrak politik dan administrasi pemerintahannya karena kepentingan politik mereka ingin tetap menjadikan kawasan semenanjung tanah melayu ini, sebelum tahun 1824, tetap di bawah kendali Gubernur Belanda di Melaka.
Dokumen dokumen Belanda itulah yang kemudian dijadikan sumber primer dalam penulisan sejarah kawasan semenanjung ini. Sejarah yang ditulis dari sudut pandang penjajah Belanda, dan Inggris dan bukan dari sudut pandang Indonesia.
Penulisan sejarah yang hanya mengakui eksistensi kesultanan Riau itu sebagai bahagian sejarah Indonesia, mulai tahun 1824 sampai 1912 dan seterusnya sampai masa kemerdekaan RI tahun 1945. Itupun masih terus di obok obok Belanda sampai tahun 1950, sebelum Belanda benar benar angkat kaki dari Kepulauan Riau .
7. Artinya dengan catatan ini, pertanyaannya adalah: dengan dasar dan alasan latar belakang sejarah yang mana klaim Malaysia atas Kepulauan Riau? Apa bukan sebaliknya, justru Indonesia lah yang bisa mengklaim Johor dan Singapura dan bahkan Pahang serta Terengganu, sebagai bahagian dari Indonesia? Bukankah dari keturunan Raja Bintan lah (Sang Nila Utama dan Wan Seri Beni) adanya Raja Raja Melaka. Bukankah dahulu wilayah kekuasaan Sriwijaya dan Mohopahit juga sampai ke tanah semenanjung?
8. Jadi? Dengan telah berdirinya Malaysia sebagai negeri yang merdeka, dengan wilayah persekutuan yang ada sekarang ini, secara politik klaim berdasarkan jejak kesejarahan yang lalu itu sudah selesai dan tidak relevan lagi.
Sementara dalam hal hubungan budaya rumpun bangsa melayu ini akan tetap hidup dan tetap merasa serumpun dan sebangsa, meskipun dengan raja yang berbeda.
9. Bagaimanapun, terima kasih Dr M karena telah membantu Indonesia untuk melawan lupa nya, dan agar tidak melalaikan kewajiban menjaga dan merawat jejak sejarahnya.
Selama ini, meskipun Kesultanan Riau yang jatuh bangun hampir 200 tahun itu dahulunya sudah menyumbang bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal bahasa kebangsaan Indonesia dan tiga pahlawan nasional (Raja Haji Fisabillah, Raja Ali Haji dan Mahmud Riayat Syah) berasal dari era kesultanan Riau, tapi dalam buku sejarah nasional Indonesia, sejarah kesultanan Riau itu cuma dicatat dalam satu dua alenia saja.
Elit politik, termasuk para sejarawan Indonesia itu memang agak abai, dan baru terperanjat dan kelang kabut mencari jejak dan rujukan sejarah, ketika ada tokong pulau diklaim negara lain.
Jadi? Tulis ulang lah buku sejarah nasional Indonesia itu. Pidato Dr M sebuah peringatan, bahwa sejarah itu penting. Tak ada masa depan kalau tak ada masa lalu. Dan masa lalu itu adalah sejarah.
Ayo MSI, bersuaralah!
Tanjungpinang, 22 Juni 2022
Penulis adalah anggota Kehormatan MSI (Masyarakat Sejarawan Indonesia)