Oleh Swary Utami Dewi
TAK apalah kutuliskan kisah ini. Meski saat menggerakkan jemari, terbayang wajah mereka, para petani miskin papa yang sekian lama sudah menggarap di kawasan hutan negara di Jawa.
Aku duduk sembari merenung dan kemudian menyimpulkan, tepatlah kiranya Pemerintah (Kementerian LHK) hadir untuk memberikan perlindungan, keadilan dan tindakan afirmasi kepada para miskin papa ini melalui kebijakan KHDPK.
Mari kuteruskan dulu ceritaku ini. Saat itu, di sela-sela suatu kegiatan di Juli 2022, aku dan seorang sahabat meluangkan waktu berbicara dengan seorang petani. Cukup muda usianya, kelahiran 1986. Sebut saja namanya N.
Tak perlu kuungkap nama sesungguhnya, supaya ia tetap bisa hidup tenang, tanpa diganggu oleh hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. N berasal, lahir dan tinggal di Grobogan, Jawa Tengah. Di desa tempat tinggalnya, mayoritas hidup dan tinggal para petani kecil.
Disebut kecil karena memang lahan milik mereka, jika ada, tidak terlalu luas. Lahan “milik” N misalnya, yang sekarang bisa digarap secara mandiri di desanya disebutnya sepetak. Kutanyakan sepetak itu kira-kira berapa. Ia menyebut luasnya sekitar 15×3 m2.
Para petani ini, seperti N dan mereka yang senasib, kusebut juga petani kecil karena hasil panen dari lahan garapan mereka tidak menentu. Hanya ada sekedar untuk bisa bertahan hidup.
Bisa jadi malah sering mereka merugi karena berbagai alasan terkait iklim, hama binatang dan tumbuhan yang menyerang tanaman. Lagi-lagi kusebut juga mereka kecil karena hidup mereka memang sekian lama tercekik oleh tengkulak, hutang dan berbagai bentuk pungutan liar.
Dari cerita N pula, bisa kuketahui bahwa praktik pungut-memungut masih terjadi terhadap petani penggarap oleh karyawan Perhutani di tingkat tapak. Di Grobogan, Jawa Tengah, misalnya, tempat N lama menggarap, menurut kisahnya, masih ada pungutan yang membebani para petani kecil ini.
Bagaimana cerita awal para petani kecil gurem ini bisa masuk ke lahan Perhutani? N bercerita padaku. Sepuluh tahun lalu, ia dan ayahnya diajak oleh mantri dan mandor dari RPH Tempuran, KPH Semarang, untuk masuk menggarap di lahan Perhutani, di wilayah Ngombak.
Dari desa asal (sekarang menjadi Kelurahan Truko), ada pula 15 petani lain yang diajak menggarap. Ditempuh dengan sepeda motor, lama perjalanan dari Truko ke lahan garapan di Ngombak sekitar 30 menit. Masing-masing petani ketika itu dipinjamkan lahan garapan seluas satu hektar.
Pada awalnya, dikatakan oleh oknum Perhutani bahwa petani akan membersihkan lahan dan menanam gmelina (sejenis jati putih). Juga akan ada jagung sebagai tanaman sela. Lalu petani juga dijanjikan pasokan bibit tanaman dan pupuk dari Perhutani.
Sesudah panen dan hasil terjual akan ada bagi hasil. Nyatanya, dari pengalaman N dan ayahnya, tidak pernah ada pasokan bibit dan pupuk dari Perhutani, kecuali satu kali pernah mendapat bibit gmelina, yang ditanam lalu mati. Petani justru selalu diarahkan menanami jagung.
Petani sejak awal terjebak meminjam dana atau mendapat pasokan bibit dari tengkulak setempat. Tengkulak itu juga yang menjadi penampung saat jagung yang dipanen sudah dalam bentuk jagung pipil. Harga bibit jagung pinjaman maupun harga beli jagung pipil ditentukan sekehendak tengkulak. Tengkulak juga menjadi tempat pinjaman petani saat mereka membutuhkan uang untuk menopang hidup.
Kepada Perhutani tingkat bawah, petani rutin membayar “sharing”. Dasar perhitungan pembayaran diambil dari 12 kg bibit jagung yang ditanami per hektar. Untuk setiap hektar tanah, saat menanam jagung petani memerlukan bibit jagung sebanyak 12 kg.
Pembayaran sharing ini bisa berbeda untuk setiap.dusun atau kelompok. Di lokasi garapan N, awalnya mereka membayar Rp 30 ribu x 12 kg (total Rp 360 ribu) untuk setiap hektar setiap masa panen.
Lalu perlahan, besaran sharing merangkak naik hingga mencapai Rp 50 ribu x 12 kg atau total Rp 600 ribu setiap panen. Sharing ini berhenti dilakukan saat KTH tempat N bergabung mendapat akses kelola IPHPS tahun 2019 dari Kementerian LHK.
Menurut N, ada info terkini bahwa di beberapa lokasi di Grobogan, sharing yang diberikan kepada Perhutani di tingkat bawah mencapai 80 ribu per kg atau setara dengan 960 ribu per hektar jagung untuk setiap masa panen. Kita bisa membayangkan berapa banyak “uang gelap ini” masuk ke kalangan pemungut ini. Lalu ini semua diistilahkan sebagai “sharing”.
Padahal hampir semua, bibit jagung dan pupuk disediakan sendiri oleh petani. Petani yang modalnya tidak cukup, terpaksa meminjam dari tengkulak yang kerap merupakan “rekanan” Perhutani tingkat bawah. Tengkulak ini sesuka-sukanya menetapkan harga bibit jagung dan harga pembelian jagung pipil.
Harga bibit jagung sekarang naik drastis mencapai Rp 130 ribuan per kg. Padahal belum lama, harga bibit masih Rp 80 ribuan per kg. Di kalangan petani disosialisasikan bahwa ini bukan merupakan kenaikan, melainkan perubahan harga.
Kerja keras yang dilakukan petani dari tanam sampai menghasilkan jagung pipil yang bisa diterima tengkulak membutuhkan waktu rata-rata 6 bulan kerja. Berapa keuntungan bersih yang diperoleh petani? N menceritakan paling tinggi ia mendapat untung bersih Rp 5-6 juta untuk sekali masa panen sesudah bekerja keras selama enam bulan. Sementara dalam setahun, maksimal jagung bisa ditanam 2x.
Namun sekarang, cukup sulit bagi petani untuk bisa menanam jagung 2x setahun karena kondisi musim yang tidak menentu. Petani jagung memang hanya mengandalkan air hujan untuk menumbuhkan jagung. Awal musim hujan adalah awal tanam jagung.
Karena sekarang musim seringkali tidak bisa diprediksi dan kekeringan lebih sering melanda, maka dalam praktiknya belakangan ini tidak mudah bisa menanam jagung 2x setahun. Selain itu, saat jagung ditanam, petani kerap berhadapan dengan serangan hama tikus dan berbagai penyakit jagung lainnya.
Untuk N misalnya, jika maksimal ia bisa mendapatkan Rp 6 juta setiap panen, dengan periode kerja selama 6 bulan (dari tanam sampai menjadikan jagung menjadi jagung pipil untuk dijual), maka dalam setahun rata-rata ia maksimal hanya mendapatkan penghasilan bersih Rp 1 juta per bulan, sesudah dipotong ini itu.
Namun karena susah menanam jagung sampai dua kali setahun, hanya Rp 500 ribu yang diperolehnya per bulan. Uang sejumlah ini dipergunakan untuk menafkahi seluruh anggota keluarga (N, istri, anak dan mertua).
Tentu saja ini tidak cukup dan akibatnya banting tulang kerja serabutan dan jeratan utang kepada tengkulak masih tetap terjadi kepada para petani kecil ini.
Kisah yang saya dengar dari N, dan cerita-cerita sebelumnya juga dari beberapa petani, membuatku sadar bahwa selama ini memang ada “sistem” pungut memungut dan rodi yang tidak adil dari Perhutani tingkat bawah (entahlah apa tepat disebut oknum karena fenomena ini banyak terjadi, hampir merata dan sudah menjadi rahasia umum) terhadap para petani miskin gurem ini.
Institusi Perhutani yang seharusnya fokus berbisnis profesional sebagai BUMN, malah dirusak sekian lama oleh kelakuan para karyawan tingkat bawah ini. Untuk memperkaya diri? Untuk tujuan lain? Ah entahlah.
Namun praktik tidak sehat sekian lama ini nyatanya memang membuat petani Jawa yang “menggarap” di kawasan kelola Perhutani tetap dalam kondisi miskin. Hidup dalam kondisi papa dan tergantung pada sistem tengkulak dan pungut-memungut yang mencekik hidup mereka.
Saat pemerintah melalui Kementerian LHK berencana membenahi tata kelola sekian luas wilayah Perhutani untuk tujuan keadilan dan pembenahan kondisi ekologis hutan di Jawa, melalui aturan KHDPK, digembosi pula oleh pihak-pihak tertentu.
N misalnya bercerita bahwa di kawasan garapannya, dihembuskan isu bahwa program pemerintah yang masuk sekarang adalah program yang “berlawanan” dengan LMDH. Rakyat di tingkat bawah seperti dihadap-hadapkan serta dibuat bingung. Yang masih mau bergabung dengan LMDH, secara praktik dipermudah oleh Perhutani tingkat bawah.
Misalnya boleh tetap menanam di lahan garapan, seperti yang diceritakan N di wilayahnya. Sementara yang sudah tergabung dalam IPHPS (sebagai salah satu bentuk Perhutanan Sosial di Jawa), dua tahun belakangan ini garapan mereka secara diam-diam “disabotase”.
Cara sabotasenya, ketika petani IPHPS baru saja membersihkan lahan untuk ditanami, petani yang “pro Perhutani” menanami lahan tersebut dengan jenis tanaman tertentu, yakni gliriside atau gamal. Jarak tanamnya 1×2 m. Petani IPHPS tentu saja tidak bisa menanam jagung di sela-sela tanaman tersebut karena sempitnya jarak.
Jika ditanam, jagung akan mati. Jika gliriside tersebut dicabut, akan terjadi potensi konflik antar petani. Maka, sekarang banyak petani IPHPS yang tidak lagi menggarap lahan karena praktik “sabotase” tersebut dan memilih mundur sementara.
Mundur ini berarti mereka kerja serabutan untuk menyambung hidup. Atau seperti N, ia memutuskan bekerja serabutan sembari menanami lahan kecil miliknya yang berukuran setapak tadi, yakni sekitar 15×3 meter.
Ah terkadang manusia memang bisa lebih kejam terhadap sesama. Manusia tega memakan manusia lainnya. Semoga masih banyak pihak yang punya nurani untuk bisa selalu tegak berdiri pada keadilan dan kemanusiaan, dan tidak disesatkan oleh ketidaktahuan ataupun manipulasi yang selama ini masih gencar dilakukan oleh para pengambil riba ini.*
Penulis adalah anggota TP3PS serta Pendiri NARA dan KBCF dan Climate Leader Indonesia