Jakarta – Komoditas kelapa sawit tercatat telah membuat kemajuan signifikan dalam perlindungan hutan. Hal tersebut diungkapkan oleh Founder & CEO Satelligence, Niels Wielaard berdasarkan hasil pemantauan satelit Satelligence yang menyatakan bahwa pada tahun 2021 persentase kehilangan tutupan hutan yang timbul akibat aktivitas kelapa sawit turun secara drastis.
Niels mengatakan, “sebagai bentuk kepatuhan terhadap komitmen Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut dan Tanpa Eksploitasi (NDPE) sejak tahun 2015, pada tahun 2021 terjadi penurunan signifikan terhadap laju kehilangan tutupan hutan yang telah turun 87% dibandingkan tahun 2015 yang mencapai 907.513 ha”.
Temuan tersebut melengkapi Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada periode sebelumnya, yang menunjukkan bahwa pada tahun 2019-2020 angka kehilangan tutupan hutan telah menurun 75,03% atau hanya menyentuh 115,46 ribu ha. Ini merupakan tren positif yang harus dipertahankan.
Hal ini bertolak belakang dari anggapan umum, terutama oleh kalangan publik di Uni Eropa (UE), di mana 80% responden beranggapan bahwa secara global, kelapa sawit merupakan komoditas yang paling erat kaitannya dengan kehilangan tutupan hutan.
Hasil pantauan Satelligence, penyedia layanan pemantauan tutupan lahan berbasis satelit, memperlihatkan bahwa secara global, pemasok kelapa sawit telah berkinerja baik dalam membantu menekan laju kehilangan tutupan hutan dibandingkan dengan aktor-aktor komoditas lainnya. Pengurangan kehilangan tutupan hutan akibat kelapa sawit menjadi pertanda baik, karena perlindungan hutan merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian dalam perdagangan komoditas di pasar internasional.
“Hal tersebut merupakan tantangan bagi kita bersama” ujar Niels. Pernyataan tersebut mengacu pada Rancangan Peraturan UE terkait due diligence (uji tuntas) terhadap perusahaan eksportir agar terbukti bahwa produk ekspor tersebut tidak terkait dengan risiko kehilangan tutupan hutan.
Komitmen NDPE oleh sektor swasta tersebut juga selaras dengan payung hukum kolaborasi multipihak yang telah ditetapkan oleh pemerintah dalam Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2019 tentang Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019-2024. Dimana salah satu hal yang diamanatkan adalah peningkatan upaya konservasi keanekaragaman hayati dan lanskap perkebunan kelapa sawit.
Secara praktek di lapangan, hal tersebut diwujudkan oleh pelaku perkebunan melalui alokasi sebagian area konsesi untuk tujuan konservasi. “Komitmen NDPE dan kebijakan Pemerintah telah mengakselerasi komoditas kelapa sawit Indonesia dalam mendukung pencapaian keberlanjutan di aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi”, tambah Niels.
Dalam konteks peraturan nasional, perlindungan terhadap hutan dan lahan gambut telah dicanangkan bahkan sejak tahun 2011 melalui Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut. Langkah taktis tersebut merupakan stop-gap measure oleh Pemerintah dalam melindungi hutan dan perbaikan tata kelola.
Komoditas kelapa sawit juga telah memperoleh perhatian khusus melalui terbitnya Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Perkebunan Kelapa Sawit. Meskipun telah berakhir pada September 2021, namun komitmen perlindungan hutan pada dasarnya tidak putus di situ.
Hal tersebut dibuktikan dengan telah terbitnya Inpres Nomor 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang merupakan kelanjutan dari kebijakan serupa sejak tahun 2011 dan masih efektif sampai sekarang.
Terlepas dari pencapaian signifikan ini, masih ada pekerjaan yang harus dilakukan untuk terus menekan laju kehilangan tutupan hutan di Indonesia. “Mengidentifikasi risiko kehilangan tutupan hutan adalah setengah dari total perjuangan; transparansi menjadi kunci”, ungkap Niels.
Pemantauan berbasis satelit dapat membantu perusahaan dalam memperoleh peringatan dini terhadap risiko kehilangan tutupan hutan di area rantai pasoknya, yang memungkinkan para penggiat industri perkebunan, mengidentifikasi solusi, dan mengambil tindakan yang tepat untuk meminimalisasi kerusakan lingkungan.
Melalui Hari Konservasi Alam Dunia pada 28 Juli serta Hari Konservasi Alam Nasional pada 10 Agustus lalu kita diingatkan kembali tentang pentingnya keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan alam. Meskipun masih diperlukan perbaikan, namun capaian positif komoditas kelapa sawit Indonesia seyogyanya diapresiasi sebagai bukti nyata kinerja kolaboratif oleh segenap pemangku kepentingan.
Sumber : Warta Ekonomi
Editor: Saibansah