Oleh Agung Prabowo
SUMPAH, baru kali ini saya menemukan sebuah kampung yang sangat bersih. Nyaman bagi pengunjung. Warganya ramah. Berasa homy saat pertama kali memasuki rumah tradisional warga.
Pengalaman pertama saya ini langsung membangkitkan keinginan untuk kembali keesokan harinya. Kampung Penglipuran. Mungkin pembaca sudah sering mendengar atau mungkin pernah mengunjungi kampung ini. Sebuah kampung di Bali, tepatnya di Desa Kubu Kecamatan Bangli Kabupaten Bangli. Kontur kampungnya sedikit menanjak. Instagramable. Arsitekturnya khas kampung tradisional Bali.
Nama Penglipuran memiliki makna filosofis dari asal kata ‘Pengeling’ dan ‘Pura’. Maknanya kurang lebih ‘Pura Pengingat (leluhur)’. Di ujung jalan kampung ini memang terdapat sebuah Pura yang cukup besar dan Megah. Di samping Pura terdabat sebuah hutan yang menjadikan Pura ini terasa teduh.
Untuk mencapai kampung ini, saya menempuh 1,5 jam perjalanan dari Sanur. Kebetulan destinasi pertama saya menyeberang ke Nusa Penida melalui Sanur. Daihatsu Rocky yang saya sewa 325 per hari, membawa saya ke kampung ini. Tidak sulit menemukannya. Namun karena bersamaan dengan persiapan upacara Ngaben, saya diarahkan untuk parkir di area bawah.
Tiket masuk ke kampung ini seharga Rp 30 ribu. Sebagai kampung wisata, pengelolaannya sudah rapi. Warganya helpful. Pertama masuk, saya langsung menuju ke dalam pekarangan warga. Pagar tiap rumah cenderung tertutup dengan gerbang gapura yang tidak lebar.
Di dalam pekarangan memang terasa privat. Setiap rumah menjual kerajinan, seperti tas dari bambu, caping, gamelan dan beberapa yang lain. Karena bersamaan dengan musim buah durian, setiap rumah juga menggelar dagangan ini. Untuk durian ukuran besar, kita cukup membayar 75 ribu. Besaran harga yang sangat murah.
Komang, salah satu warga mengaku bahwa tradisi di kampung ini sudah turun temurun. Hal ini ditunjukkan adanya dapur di halaman rumahnya yang konon telah berusia 200 tahun. “Tidak ada perubahan pada bentuk bangunan dapur tersebut. Hanya beberapa kayunya yang sudah lapuk yang diganti,” jelasnya.
Kehidupan masyarakat Penglipuran selalu menjaga keharmonisan, baik dengan Tuhan, sesama manusia dan juga lingkungan Alam. Ajaran ini mereka sebut Tri Hita Karana. Keharmonisan dengan Tuhan (Prahyangan) dilakukan dalam bentuk selalu memelihara peringatan hari-hari suci, menjaga kebersihan tempat suci dan melaksanakan ibadah rutin setiap harinya.
Keharmonisan dengan sesama manusia (Pawongan) diwujudkan dalam bentuk kehidupan gotong royong. Sedangkan keharmonisan dengan alam dijalankan dalam bentuk menjaga kelestarian lingkungan. Tidak mengherankan kalau kampung ini memperoleh penghargaan kampung terbersih ketiga di dunia.
Kampung Wisata Berbasis Komunitas
Di Indonesia destinasi wisata berbasis komunitas (Community Based Tourism) sudah banyak dikembangkan. Di Yogyakarta misalnya. Hampir semua destinasi wisata di kawasan Mangunan dikembangkan dengan konsep CBT.
Secara ekonomi, konsep CBT terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan warganya. Selain pemasukan dari pengelolaan destinasi wisata, warga juga bisa menjual seluruh potensi sumberdaya yang mereka miliki, seperi kerajinan, hasil pekarangan, rumah (homestay) hingga mengembangkan jenis usaha yang lain.
Tidak heran apabila kemenparekraf antusia mengembangkan konsep wisata semacam ini di seluruh Indonesia. Kontribusi pariwisata terhadap PDB sudah mulai stabil. Di tahun 2022 diharapkan mencapai angka 4,3 persen atau di angka 21,28 miliar dolar AS.
Untuk tenaga kerja di sektor pariwisata diperkirakan akan menyerap 300 hingga 400 ribu tenaga kerja. Artinya wisata dengan konsep CBT masih memiliki potensi yang bisa terus dikembangkan, mengingat sumberdaya alam Indonesia memiliki keindahan yang bisa dikelola sebagai tempat wisata.*