Oleh Zubairi Hasan
APAKAH pengelolaan pemerintahan model otorita sebagaimana diamanatkan UU Ibu Kota Negara (UU IKN) akan berjalan dengan mulus? Belajar dari pengalaman di Batam, maka jawabannya memprihatinkan: akan lahir tata kelola pemerintahan yang tumpang tindih, saling berebut wewenang, dan saling lempar tanggung jawab.
Memang, ketika Ibnu Sutowo (1971-1976), JB. Sumarlin (1976-1978), BJ. Habibie (1978-Maret 1998) menjadi Ketua Otorita Batam, persoalan yang muncul hanya berupa letupan-letupan kecil. Kewibawaan para tokoh tadi dan dukungan kuat dari Presiden Soeharto membuat hampir semua masalah dapat diselesaikan dengan santui, meminjam istilah anak milineal.
Namun, begitu ada pergantian kekuasaan dan perubahan nama menjadi Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) semua masalah mengemuka, bahkan sering kali memicu demonstrasi dalam jumlah besar.
Perbedaan tajam itu tidak hanya terjadi di tingkat lokal, melainkan juga terjadi di Ibu Kota Jakarta, antara Pemerintahan Megawati Soekarnoputri dan DPR RI. Pada 14 September 2004, di penghujung masa jabatan, DPR-RI mengesahkan UU Free Trade Zone Batam.
Namun Presiden Megawati tidak pernah mengundangkannya bahkan menganggapnya tidak pernah ada, karena UU itu tidak pernah mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Inilah satu-satunya UU yang disahkan Paripurna DPR-RI namun tidak pernah diundangkan sampai sekarang.
Presiden Indonesia ternyata bisa memveto UU yang sudah disahkan Paripurna DPR, dengan alasan konstitusional: belum mendapatkan persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Pertentangan antara Presiden dan DPR-RI tentang UU FTZ Batam mencerminkan betapa kerasnya perbedaan kepentingan terkait dengan Batam.
Akademisi Bayu Putra melalui penelitian Tesis di UGM (2014) menemukan 4 titik persoalan antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam, yaitu masalah pertanahan, perizinan/perpajakan, pengelolaan pelabuhan, dan pengelolaan bandara. Dengan berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, kedua lembaga itu terlibat dalam konflik, bersumber pada kepentingan berbeda.
Dalam konteks IKN, mungkin yang memicu konflik adalah soa pelabuhan dan pengelolaan bandara, karena pelabuhan berada jauh di luar IKN dan bandara udara akan menggunakan yang sudah ada atau kalau ada kebutuhan akan dibangun bandara baru yang sepenuhnya akan dibangun oleh Otorita IKN atau Pemerintah Pusat.
Sebenarnya masih ada satu persoalan lagi yang luput dari penelitian Bayu Putra, yaitu masalah kebencanaan. Dalam soal ini, sering muncul ungkapan sarkartis dari pihak Pemerintah Kota Batam kepada BP Batam: “giliran ada kue, pihak BP Batam sangat gesit untuk maju ke depan, namun giliran ada musibah, Pemerintah Kota Batam harus berjibaku sendirian.”
Ada juga ungkapan: “Restoran dan rumah makan ada di wilayah BP Batam, namun kotorannya ada di wilayah Pemerintah Kota Batam.” Sebuah ungkapan yang menyesakan dada, karena mencerminkan rasa ketidakadilan sosial.
Begitulah suasana carut marut tata kelola pemerintahan di Batam. Persoalan baru selesai, ketika pada 2019, Pemerintah Pusat mengambil “jalan pintas”, yaitu menjadikan Wali Kota Batam sekaligus sebagai Ketua BP Batam. Tentu saja, Wali Kota Batam dan Ketua BP Batam yang dijabat orang yang sama tidak ingin kedua lembaga itu bertikai, karena akan mempermalukan diri sendiri.
Sekarang, apakah tata kelola pemerintahan di Ibu Kota Nusantara akan mengalami sejarah yang serupa dengan di Batam, terutama terkait hubungan antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan pemerintahan daerah sekitar? Ada harapan besar agar pengelolaan pemerintahan Otorita Ibu Kota Nusantara berjalan mulus.
Apalagi Menteri/Kepala Bappenas, Suharso Monoarfa, sebagai salah satu aktor penting di balik UU IKN juga pernah menjadi pimpinan di Komisi VI DPR-RI yang menangani perdagangan bebas. Beliau pasti tak ingin carut marut tata kelola pemerintahan di Batam hadir dalam pengelolaan Otorita Ibu Kota Nusantara.
Problemnya, UU IKN masih memberikan celah bagi terjadinya carut-marut tata kelola Otorita Ibu Kota Nusantara. Pertama, dalam UU IKN tidak ada satu pasalpun yang mengatur hubugan antara Otorita Ibu Kota Nusantara dengan pemerintahan daerah sekitarnya, termasuk lembaga yang berwenang menyelesaikan perbedaan tajam yang mungkin saja terjadi.
Apakah akan diselesaikan dengan kekuasaan, dalam artian siapa yang kuat yang akan menang? Persoalan ini penting untuk diperhatikan karena antar lembaga itu akan hidup berdampingan di tempat yang sama, yakni di Kalimantan TImur, berinteraksi satu sama lain, mempunyai perbedaan pandangan, bahkan juga kepentingan.
Sumber otoritasi keduanya sangat berbeda jauh: Kepala Otorita ditunjuk Presiden dan Kepala Daerah dipilih oleh rakyat melalui pemilihan. Sudah pasti ketukan nada yang akan dimainkan lembaga-lembaga negara itu akan berbeda pula.
Kedua, ketentuan terkait pertanahan masih membuka terjadinya carut marut pengelolaan. Hal ini karena Pasal 16 ayat (1) UU IKN menentukan bahwa mekanisme pelepasan kawasan hutan dan mekanisme pengadaan tanah harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementera itu, Pasal 10 ayat (1), (2), dan (4) junto Pasal 12 dan 13 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa bidang pertanahan merupakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dan menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.
Jadi, UU IKN membuka peluang bagi Pemda untuk terlibat dalam soal mekanisme pengadaan tanah di wilayah Otorita Ibu Kota Nusantara, di sisi lain UU Pemda mewajibkan Pemda terlibat dalam urusan pertanahan.
Perlu diingat juga, sesuai asas otonomi daerah yang diamanatkan UU Pemda, urusan pertanahan tidak termasuk 6 urusan yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan dalam negeri, yustisia, moneter dan fiskal, serta agama.
Ini berarti, dalam urusan pertanahan terutama dalam soal mekanisme pengadaan tanah, keterlibatan Pemda sangat diwajibkan oleh UU Pemda dan mendapatkan kesempatan dari UU IKN. Persoalannya, bagaimana jika di antara keduanya tidak sepaham, karena berbagai alasan? Haruskah “cakar-cakaran” sebagaimana terjadi di Batam selama puluhan tahun.
Ketiga, soal kebencanaan. Pasal 19 UU IKN menyatakan: “Penyelenggaraan penanggulangan bencana di Ibu Kota Nusantara dilaksanakan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara dengan mengacu pada Rencana Induk Ibu Kota Nusantara dan Rencana Tata Ruang KSN Ibu Kota Nusantara.” Terlihat jelas, ketentuan di atas hanya memikirkan bencana alam, seperti banjir, longsor, dan lain-lain.
Bagaimana jika terjadi bencana bukan karena faktor alam, misalnya, kebakaran terjadi di wilayah Otorita Ibu Kota, namun asap dan dampak negatifnya menjalar ke wilayah sekitar di luar Otorita Ibu Kota? Bagaimana pertanggungjawaban Otorita Ibu Kota terhadap wilayah sekitar itu?
Kasus lain, misalnya, ratusan pekerja di Otorita Ibu Kota tinggal di luar wilayah Otorita terpapar virus pandemik, siapakah yang harus bertangggung jawab terhadap pengobatannya dan juga terhadap pandeminya? UU IKN belum memberikan jawaban. Jangan sampai wilayah sekitar Otorita Ibu Kota Nusantara menerima getahnya, namun tidak pernah makan nangkanya.
Semoga tulisan ringkas ini berguna untuk mengantisipasi segala macam potensi yang dapat mengurangi kesyahduan perpindahan ibu kota, dari Jakarta ke Nusantara, sehingga semua persoalan kecil dapat diantisipasi dan diselesaikan sejak dini.
Semoga!
Penulis adalah Tenaga Ahli di DPR/MPR-RI Selama 4 Periode.