Oleh Ilham Bintang
“JIHAD terbesar (perjuangan) adalah melawan jiwamu sendiri, untuk melawan kejahatan di dalam dirimu.” (Nabi Muhammad SAW).
Pasangan Ferdy Sambo dan Putri Chandrawati seperti jatuh dari langit. Mereka jatuh dari tahta di atas sana di singgasana yang amat tinggi, kokoh dan wah.
Sang suami perwira tinggi polisi bintang dua, Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian RI (Kadiv Propam Polri). Sambo merangkap pula sebagai Ketua Satgas Khusus Merah Putih yang jabatannya baru 1 Juli lalu diperpanjang oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Jabatan itu agaknya yang membuat Sambo berada di awang-awang. Ditakuti di internal Polri bahkan hingga Perwira Tinggi bintang tiga, setingkat di atasnya. Seperti yang digambarkan Menkopolhukam, Mahfud MD. Jabatan Kadiv Propam saja, Sambo adalah polisinya polisi. Ditambah jabatan Ketua Satgassus Merah Putih membuatnya mudah mengumpulkan uang berlimpah dan mengalirkannya sampai jauh.
Bayangkan hampir satu triliun rupiah yang ditemukan Tim Khusus di rumah pribadinya. Cuan inilah yang diduga menambah “wibawanya”. Sehingga sekali beraksi, puluhan bawahannya mengikuti. Lupa sumpah jabatan hanya mengabdi pada negara dan bangsa.
Serupa Putri Candrawathi. Sebagai istri dalam struktur rumah tangga Indonesia, Putri pasti lebih berkuasa lagi. Ibu tiga anak itu seperti yang sering digambarkan orang,” maha berkuasa setelah Tuhan”.
Secara kasat mata, pasangan Sambo-Putri memiliki delapan ajudan yang semuanya dibiayai negara. Belum terhitung ajudan Putri yang entah berapa Polwan yang bertugas siang malam. Para ajudan dipersenjatai dengan antara lain pistol “Sultan” : Glock 17.
Empat rumah besar nan mewah yang terungkap, lengkap dengan petugas pengamanan,
sejumlah mobil kelas “Lexus” dengan supir-supir terampil, bersenjata, yang juga dibiayai oleh negara. Dibiayai rakyat. Melihat penampakan lambang kedudukan itu disiarkan televisi siang malam, kita cuma bisa mengelus dada. Paling-paling cuma bisa berucap : “nikmat apa lagi yang mau kau ingkari?”.
Hanya Diseling HUT Proklamasi
Namun, kehidupan Sambo-Putri tidaklah selalu berjalan searah dan seindah simbol-simbol kemewahan tadi. Sulit kita percaya, namun faktanya bikin terbelalak.
Tim Khusus yang dibentuk Kapolri mengusut kasus “Polisi Tembak Polisi” Jumat (19/8/2022) siang, mengumumkan status Putri Chandrawathi sebagai tersangka kelima dalam kasus pembunuhan Brigadir Yoshua pada 8 Juli lalu.
Ancamannya, maksimal hukuman mati. Belum terungkap apa motif sesungguhnya mengapa keduanya merencanakan pembunuhan pada ajudannya sendiri, bahkan tergolong ajudan kesayangannya.
Hari itu, Putri pun menyusul suaminya, Ferdy Sambo, yang sudah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang membetot perhatian luas masyarakat. Begitu besarnya perhatian terhadap kasus ini lebih 40 hari sudah publik seperti tidak ada pekerjaan lain selain membincang perkara Sambo dan Putri.
Bahkan, acara perayaan tahunan, HUT ke-77 Proklamasi RI 17 Agustus di seluruh pelosok Indonesia, seakan hanya menjadi pengisi acara untuk “rehat sejenak”. Setelah itu, publik melanjutkan memfokuskan perhatian kepada upaya pengungkapan kasus “Polisi Tinggi Polisi”.
Lebih delapan puluh perwira polisi berbagai tingkatan pangkat dan kesatuan diperiksa terkait kasus itu. Tigapuluh lima “ditempat-khususkan”, lebih dari separuh dari jumlah itu tidak hanya terindikasi melanggar kode etik tetapi juga pidana. Putri, adalah tersangka lima kasus pembunuhan berencana itu.
Kasus masih jauh dari selesai. Rentetan kasus ini banyak, berliku, dan terbukti berekor panjang. Penindakan kepada para tersangka dan yang membantu kejahatan itu terjadi hanya merupakan puncak gunung es. Sekarang telah diusut pula bersimaharalelanya praktek judi darat maupun online, narkoba, dan sejumlah kejahatan lain yang terkait Sambo.
Tidak bisa cukup hanya Kapolri bicara stop kepada seluruh jajarannya di pusat dan daerah untuk menyelesaikan dampak kerusakannya. Ini jelas kultur yang tidak mudah mengatasinya.
“Ala bisa karena biasa” kata pepatah. Sambo benar dalam satu hal ini : penyimpangan yang dilakukan seorang perwira polisi, dua pangkat di atasnya harus ikut bertanggung jawab.
Perbuatan Sambo dan istri serta para tersangka adalah perbuatan yang melampaui batas. Kita sudah lama merasakan penderitaan atas sikap para penguasa yang melampaui batas. Ini terjadi di hampir seluruh lini kehidupan kita.
Dipraktekkan oleh penguasa di wilayah kekuasaannya masing-masing.
Di bidang ekonomi lebih parah lagi. Pelaku penghilangan dan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat sehingga harganya melambung tak terjangkau, hampir tidak tersentuh oleh hukum.
Di ranah politik Indonesia juga menjadi tempatnya perbuatan melampaui batas terjadi. Kita menyaksikan secara terang benderang perbuatan para politisi yang tidak amanah.
Sesukanya menyelewengkan amanah konstitusi dan mempermainkan rakyat dengan menunggangi alasan demokrasi. Seenaknya mengatur siapa yang menurut mereka pantas memimpin dan mengenyahkan yang tidak sejalan untuk memimpin bangsa dengan pelbagai kecurangan yang dibungkus rapi, terjadi di depan mata.
Dalam kitab suci agama manapun terdapat nasihat agar manusia tidak berbuat melampaui batas. Secara spesifik dalam agama Islam, perilaku melampaui batas ini disebut “ghuluw” yaitu sikap yang tercela. Ghuluw sama sekali tidak akan mendatangkan kebaikan bagi pelakunya; juga tidak akan membuahkan hasil yang baik dalam segala urusan.
Kembali ke Sambo dan Putri. Keduanya tidak akan lagi menikmati hak-hak istimewa sebagai pejabat negara. Tinggallah pengalaman traumatis itu dipikul di pundak tiga anak-anaknya yang masih remaja dan keluarga besarnya.
Sewaktu Putri Chandrawati (49) bersama seorang anaknya dan pengacaranya, Minggu (7/8/2022) malam mendatangi Mako Brimob di Kelapa Dua, pasti dia sudah merasakan tanda-tanda kejatuhannya. Dia menghadapi dunia sudah terbalik.
Di Mako Brimob itu, sehari sebelumnya, Sabtu (6/8/2022) Irjen Pol Ferdy Sambo “disimpan” untuk masa 30 hari ke depan menunggu pemeriksaan selanjutnya. Malam itu Putri pulang dengan tangan hampa. Tidak diperkenankan untuk bertemu suaminya. Mungkin itu perlakuan pertama yang dia terima seumur hidupnya. Maklum, sebelum menikah dengan Sambo, ia adalah putri perwira tinggi TNI yang berpangkat dua bintang.
Menjelang pulang, Putri sempat berbicara kepada para wartawan yang melakukan doorstop. Putri menjawab wartawan sambil terisak-isak. Tentu tangisnya tidak hanya lantaran tidak bertemu suami, tapi tangis yang mengisyaratkan “The Glory Is Over”. Kejayaan sudah berakhir.
Tragedi Sambo-Putri meninggalkan pelajaran kepada kita semua, terutama kepada para penguasa yang menjalankan amanah. Supaya tidak bertindak dan bersikap melampaui batas.
Ingat selalu. Tuhan punya cara dan mekanisme yang dahsyat untuk memperingatkan kepada hambaNya yang melampaui batas.
Sambo-Putri, riwayatmu kini.*
Penulis adalah wartawan senior dan Ketua Dewan Kehormatan PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat.