“ Harta yang kamu makan
akan jadi kotoran,
harta yang kamu simpan
akan jadi warisan atau rebutan,
harta yang kamu sedekahkan
akan kekal dan abadi di akhirat.”
~ Buya HAMKA (1908-1981)
Kisah warung makan ‘barokah’ yang tetap tegak di antara ratusan pemukiman warga di Jalan Simprug Golf 2, Jakarta Selatan, yang hangus menjadi serpihan puing legam akibat kebakaran besar (Ahad, 21/8), kini memasuki babak baru yang dramatis. Sejumlah warga melakukan vandalisme dengan mencorat-coret tembok warung tersebut untuk menyalurkan rasa jengkel mereka akibat pemberitaan yang viral beberapa hari terakhir. Apa yang terjadi?
Simprug Golf adalah salah satu kawasan elite. Namun seperti banyak ditemukan pada pemukiman kelas atas lainnya, selalu ada bagian wilayah yang dihuni masyarakat akar rumput perkotaan. Rumah-rumah triplek berdempetan, penduduk sesak, dengan mayoritas berstatus pengontrak. Para sosiolog menyebut daerah seperti ini sebagai ‘ slum area’. Tersembunyi di belakang gedung-gedung bertingkat, dikitari bangunan-bangunan megah mengkilat.
Pada Ahad pagi yang nahas itu—antara jam 9-10—percikan api melenting dari sebuah rumah petak yang mengalami korsleting. Api merambat dan membakar sekeliling dengan cepat. Saat azan zuhur berkumandang, seorang warga meninggal dunia, 100 KK dengan 550-an jiwa kehilangan tempat tinggal, dan total kerugian sedikitnya Rp 5 miliar melayang. Tetapi ada satu bangunan yang utuh berdiri tak dilahap api. Namanya “Warung Brebes Pesona Dua Puteri”.
Sebuah video yang merekam kondisi warung dan beredar di media sosial memberikan narasi bahwa tempat makan ini selamat dari kobaran api karena rutin memberikan sedekah setiap hari Jum’at. Maka, inilah warung ‘barokah’. Sontak video ini viral di media sosial, bersliweran di pelbagai platform komunitas digital. Bahkan beberapa kanal teve terkemuka pun ikut menampilkan video ini dalam berita mereka.
Tiga hari setelah kejadian, pesinetron dan YouTuber Baim Wong yang tinggal tak jauh dari TKP, mengunggah konten di kanalnya yang memiliki 20,8 juta subscriber. Baim yang di akhir Juli mendulang kontroversi akibat aksi sepihaknya mendaftarkan hak cipta Citayam Fashion Week—meski kemudian dia batalkan setelah mendapat penolakan keras publik—berbicara dengan sejumlah warga korban kebakaran yang bermukim di tenda-tenda sementara. Di antara korban ada yang sudah tinggal 25 tahun di sana, ada juga seorang pemuda penjual air mineral yang kehilangan tabungan Rp 20 juta, modal untuk menikah beberapa bulan lagi. Semua sirna.
Baim tak lupa bertanya kepada warga soal warung ‘barokah’ yang selamat karena rajin bersedekah setiap Jum’at. Warga memberikan jawaban yang membuat suami model Paula Verhoeven itu terkejut. Warung Brebes, menurut mereka, hanya menggratiskan teh manis setiap Jum’at, itupun kepada pengunjung warung. Tak pernah membagikan cuma-cuma kepada warga setempat, apalagi sedekah makanan seperti lazim dilakukan banyak pihak pada hari Jum’at.
Warga bilang mereka tak yakin apakah pemilik warung memberikan sedekah ke tempat yang lebih jauh sementara kepada mereka yang tetangga dekat saja tak pernah. Adapun ihwal bangunan warung yang utuh tak terbakar, menurut warga karena tempat itu baru direnovasi menggunakan tembok batu bata yang lebih tahan api dibandingkan rumah-rumah triplek di sekelilingnya.
Baim lalu mendatangi warung ‘barokah’, bertemu seorang perempuan bernama Saeni—sang pemilik–yang mengajaknya melihat ruangan bagian dalam warteg. Warga berkerumun di depan warung. Baim mengecek info dari warga soal sedekah yang dijawab Saeni bahwa warungnya memang tak pernah memberikan sedekah kepada warga. Es teh manis gratis diberikan hanya kepada yang makan di warung setiap Jum’at. Berarti informasi klop. Selaras antara keterangan warga dan pemilik warung. Adapun soal sedekah, Saeni menjelaskan disalurkan kepada anak-anak yatim piatu melalui sebuah yayasan di daerah Pamulang bukan di lokasi warung berdiri.
Saeni lalu mengajak Baim melihat kondisi lantai atas warungnya yang juga utuh sempurna. Di sini terjadi percakapan keduanya dengan cuplikan berikut:
Saeni: “Minta dibantu Mas Baim agar listrik cepat nyala.”
Baim: “Biar (nyala) daerah sini?”
S: “Iya, termasuk aku. Untuk usaha lagi.”
B: “Sekarang kalau ibu mau dibantu, ibu yang paling beruntung, apalagi mereka. Harusnya ibu mikirin mereka.” (menunjuk keluar warung, ke arah kerumunan warga)
S: “Makanya kalau nanti aku pulang (kampung dan listrik bisa nyala) ada warga yang bisa masuk ke sini. Kasihan mereka masih butuh tempat tinggal yang layak.”
B: “Sekarang ada baiknya kita mikirin mereka, jangan mikirin ibu sendiri …”
S: “Iya, ‘kan kasihan mereka juga.”
B: “Aku malah lagi bingung mikirin bagaimana caranya warga bisa bangun rumah mereka lagi.”
Dari obrolan ini terpindai niat baik Saeni bahwa jika listrik kembali menyala, warungnya—yang dua lantai—akan difungsikan sebagai tempat pengungsian. Namun informasi yang beredar di media maya justru sebaliknya. Saeni pribadi yang egoistis karena ingin listrik menyala kembali di warungnya saja, sementara warga sekitar justru tak punya tempat tinggal.
Begitulah bias dalam komunikasi massa terjadi. Dari satu bias (tentang sedekah) menikung ke bias lain (egoisme pemilik warung). Di tengah suasana duka yang masih kental, konten Baim menyulut kemarahan warga terhadap pemilik Warung Brebes, pun terhadap Baim.
Mereka mencorat-coret tembok warung dengan tulisan seperti “Konten terus bosque bantu mah nggak” (sindiran untuk Baim) atau “Ga usah bantu warga, yang penting listrik NYALA!” (sindiran untuk pemilik warung). Itu hanya dua dari sejumlah coretan yang tak bisa semuanya ditampilkan dalam tulisan ini.
Pesan keajaiban sedekah yang muncul pada hari-hari pertama pasca kebakaran kini berubah menjadi solidaritas antartetangga yang pecah. Terasa kontradiktif karena sedekah (karitas) sejatinya salah satu instrumen utama perekat solidaritas sosial yang diajarkan semua agama.
Tak ada sedikit pun kesangsian bahwa sedekah memiliki banyak faedah individual maupun manfaat sosial, antara lain disebutkan Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah—lebih populer dengan panggilan Buya HAMKA—seperti saya kutip pada awal tulisan. Misteri mengapa ada sebagian orang yang ‘kecanduan’ bersedekah dan merasakan kehidupan yang lebih bahagia dibandingkan saat mereka kurang aktif bersedekah, kini menjadi salah satu telaah neuroscience.
Tristen Inagaki (University of Pittsburgh) dan Naomi Eisenberger (University of California) dalam studi mereka “The Neurobiology of Giving Versus Receiving Support: The Role of Stress-Related and Social Reward-Related Neural Activity” (2016) menjelaskan aktivitas otak orang yang memberi (termasuk bersedekah) dan menerima (mendapat sedekah) ternyata berbeda. Berdasarkan pindaian alat FMRI (Fungsional Magnetic Resonance Imaging) terhadap kedua kelompok, otak orang-orang yang gemar memberi melepaskan hormon endorfin yang berkaitan dengan perasaan senang, kepercayaan, dan hubungan sosial. Suasana otak terasa lebih hangat sehingga memberikan perasaan nyaman.
Itulah mengapa orang-orang yang gemar memberi adalah juga orang-orang yang penyabar, riang, dan tak mudah putus asa. Semakin banyak mereka bersedekah, semakin banyak produksi endorfin di dalam otak yang membuat mereka merasa nyaman, dan ingin bersedekah lebih banyak lagi, yang pada gilirannya akan mendatangkan rasa bahagia lebih tinggi lagi.
Profesor Stephen G. Post, bioethicist dari Stony Brook University, New York, dan pendiri Center for Medical Humanities, Compassionate Care and Bioethics, di dalam bukunya Why Good Things Happen to Good People menjelaskan bahwa kebiasaan melakukan karitas terbukti meningkatkan fungsi kesehatan secara signifikan, bahkan jika mereka sedang mengidap penyakit kronis dan berbahaya seperti HIV. Sebab kebiasaan bersedekah ikut mendongkrak perasaan bersyukur dalam diri seseorang bahwa dirinya lebih beruntung dibandingkan orang lain yang menerima karitas. Peningkatan rasa syukur ini berakibat pada menguatnya mentalitas berpikir positif, yang akan memudahkan pemulihan kondisi fisik.
Dalam perspektif sosiologis, kebiasaan memberi adalah bagian dari kebiasaan lebih besar yang disebut filantrofi. Bob Payton, salah seorang peletak dasar studi tentang ini, mendefinisikan filantropi sebagai ‘kegiatan sukarela untuk kebutuhan publik’. Definisi lain menjelaskan bahwa filantrofi adalah, “kontribusi sukarela (uang, barang, waktu, keahlian) untuk kepentingan publik, yang diberikan oleh perorangan atau kelompok.” (Schuyt, Bekker, Smith, 2010).
Jika aktivitas filantrofi di sebuah masyarakat tergolong rendah, hasilnya membuat kesenjangan sosial ekonomi meningkat, tingkat kejahatan meroket dan rasa persaudaraan sosial melemah. Ini indikasi masyarakat yang tidak sehat. Sebaliknya, semakin tinggi kegiatan filantrofis di dalam masyarakat membuat kesenjangan menurun, angka kriminalitas menyusut, dan solidaritas sosial menguat. Ciri masyarakat yang sehat.
Kembali pada fenomena warung ‘barokah’, apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang membuatnya tak disambar api?
Perwira piket Sudin Gulkarmat (Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan) Jakarta Selatan, Deni Andreas, punya penjelasan sendiri setelah melihat kondisi warteg yang tetap kokoh berdiri. “Itu karena terkompartemenisasi sehingga terlindungi dari rambatan api. Coba lihat bagaimana konstruksi bangunannya.” ujarnya seperti dikutip dan disiarkan kantor berita Antara.
Kompartemenisasi adalah sistem proteksi pasif terhadap bangunan untuk meminimalisasi risiko kerusakan yang diakibatkan lingkungan sekitarnya. Dalam pengertian khusus, kompartemenisasi kebakaran adalah teknik mendirikan bangunan dengan menggunakan batas dan pemisahan bangunan berdasarkan tingkat ketahanan terhadap api. “Bahan bangunan Warung Brebes Pesona Dua Puteri itu terbuat dari hebel. Semua sisi rumah pun sifatnya tahan terhadap api,” papar Deni.
Hebel adalah batu bata yang terbuat dari adonan pasir silika, semen, batu kapur, gipsum, air, dan aluminium bubuk, yang diawetkan dengan cara dipanaskan dan diberi tekanan menggunakan mesin autoklaf (mesin pemanas bertekanan tinggi 121⁰ C).
Sampai di sini, fenomena tetap tegaknya warteg ‘barokah’ di antara reruntuhan puing bangunan sekitarnya yang kebakaran, seharusnya sudah tak lagi menjadi misteri berkepanjangan. Sedekah tetap perlu dan penting untuk terus dilakukan karena menurut agama berpahala, menurut neuroscience membuat pelakunya bahagia.
Namun dalam konteks mitigasi bencana, sebuah penjelasan ilmiah tetap dibutuhkan untuk memahami mengapa sebuah fenomena bisa terjadi dan fenomena lainnya tidak. Dengan melihat kompartemenisasi bangunan diterapkan Warung Brebes dan membuatnya tetap berdiri, pemerintah provinsi dan pemerintah kota di seluruh Indonesia harus lebih aktif mengedukasi warga akan pentingnya menerapkan cara ini dalam mendirikan bangunan, terutama di daerah padat penduduk di kawasan perkotaan agar risiko kerugian bisa ditekan.
Sementara untuk solidaritas sosial yang saat ini retak antara warga dengan pemilik warung, dibutuhkan peran pemimpin informal masyarakat untuk kembali merekatkan. Baik dari jajaran kelurahan, RW dan RT di tingkat terendah, sampai peran para pemuka agama setempat agar tak salah kaprah dalam memahami makna sedekah.
@akmalbasral
Cibubur, 30 Agustus 2022/
2 Safar 1444 H
*Penulis novel sejarah dwilogi kehidupan Buya HAMKA Setangkai Pena di Taman Pujangga dan Serangkai Makna di Mihrab Ulama (Republika Penerbit, 2020-2022). Pemesanan: www.bukurepublika.id