J5NEWSROOM.COM – SIANG tadi, 6 September 2022 pukul 14.46 WIB, saya tertegun membaca isi WA yang dikirim sahabat dan senior saya, Akmal Nasery Basral. Isinya, artikel berjudul “Ke Gontor Apa yang Kau Cari?: Penganiayaan Berbuah Kematian di Perkajum”.
Saya baca kata per kata, alenia per alenia, mengenai kronologis meninggalnya AM, santri Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur asal Palembang berusia 17 tahun. Bang Akmal menulis begini :
Kisah ini bermula dari perkajum (perkemahan Kamis dan Jumat) santri Ponpes Gontor 1, Ponorogo, Jawa Timur, pada 18-19 Agustus 2022.
Albar Mahdi yang berusia 17 tahun—biasa dipanggil Aat—ditunjuk sebagai ketua pelaksana. Dia santri aktif dan berprestasi. Saat pertama datang dari Palembang mendapat tempat sebagai santri ponpes Gontor 4, Banyuwangi. Kecerdasannya membuat para guru merekomendasikan anak sulung dari tiga bersaudara pasangan Rusdi-Siti Soimah itu untuk menimba ilmu di Gontor 1.
Tiga hari usai Perkajum, sekitar pukul 10.20 WIB (Senin, 22/8/2022), Soimah menerima telpon dari Gontor yang mengabarkan putranya mengembuskan napas terakhir pukul 06.45 WIB. Penyebabnya? Terjatuh akibat kelelahan sebagai ketua pelaksana perkajum. Soimah terkejut mengapa butuh waktu hampir empat jam untuk menyampaikan kabar duka, sementara data orang tua santri lengkap di ponpes?
Selasa siang jenazah Aat tiba di Palembang. Seorang ustaz dari Gontor yang menyerahkan jenazah kepada keluarga dengan mengatakan penyebab kematian Aat akibat kelelahan. Anak ini “mati syahid”.
Namun keluarga curiga melihat kain kafan pembungkus jenazah yang di beberapa bagian berwarna merah tersebab rembesan darah. Soimah sebagai ketua arisan perkumpulan orang tua santri Gontor di Palembang—beranggota 20-an orang—juga mendengar info berbeda dari orang tua santri lainnya mengenai penyebab kematian anaknya.
Maka perempuan yang sehari-hari berprofesi sebagai wartawati media Suara Nusantara (koransn.com) itu meminta ustaz pengantar jenazah Aat tetap di rumah mereka, sabar menunggu kedatangan dokter yang akan dihubungi untuk melakukan forensik.
Strategi ini berhasil. Sang ustaz pun mengubah keterangannya: Aat meninggal dunia akibat penganiayaan yang terjadi di Perkajum. Namun dia tidak tahu kejadian rincinya.
Sampai akhir tulisan saya baca artikel goresan sosiolog yang juga penulis antologi cerpen Putik Safron di Sayap Izrail (Republika Penerbit, 2020) itu. Lalu, ingatan saya melesat ke sebuah kartu kecil dari karton warna kuning yang dilaminating.
Baca halaman selanjutnya..