Alarm tanda bahaya juga sudah muncul di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo dua minggu yang lalu. Ketika itu ratusan suporter Bonek mengamuk setelah Persebaya kalah 1-2 dari Rans Nusantara. Suporter Bonek mengamuk, turun ke lapangan, merusak fasilitas stadion, dan melakukan penjarahan.
Akibat kerusuhan ini Persebaya harus mengganti kerusakan stadion sampai seratus juta lebih. Persebaya dijatuhi sanksi 5 kali bermain tanpa penonton dalam pertingan home.
Peristiwa di GBLA dan Gelora Delta menjadi alarm tanda bahaya akan munculnya tragedi yang lebih dahsyat. Dan tragedi itu pun akhirnya menjadi kenyataan di Stadion Kanjuruhan.
Sampai sekarang masih belum diketahui penyebab jatuhnya korban yang begitu besar.
Bisa dipastikan bahwa korban meninggal bukan karena bentrok dengan suporter Bonek Persebaya, karena pihak keamanan sudah melarang suporter Bonek untuk datang ke Malang.
Kemungkinan yang terjadi adalah suporter meninggal karena mengalami sesak nafas, karena dari video dan foto-foto yang beredar tidak terlihat korban tewas yang mengalami luka parah.
Dugaan sementara menyatakan korban tewas karena sesak nafas oleh gas air mata.
Jika benar bahwa gas air mata dipakai untuk membubarkan kerusuhan di stadion maka hal ini merupakan pelanggaran terhadap aturan FIFA, federasi sepak bola internasional, yang tidak memperbolehkan gas air mata dipakai di stadion.
PSSI menghadapi risiko sanksi dari FIFA jika terbukti melakukan pelanggaran.
Tragedi Kanjuruhan terjadi ketika publik sepak bola Indonesia masih menikmati sisa-sisa euforia karena penampilan timnas Indonesia yang mengesankan.
Dua kemenangan dalam pertandingan FIFA Match Day melawan Curacao, pekan lalu, membuat publik sepak bola nasional terhibur.
Di level kompetisi internasional Indonesia sedang menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Polesan pelatih timnas Shin Tae-yong berhasil membawa timnas senior berhasil lolos ke Piala Asia 2023.
Timnas junior U-20 juga lolos ke Piala Asia 2023 di Uzbekhistan. Timnas Indonesia U-20 juga lolos otomatis dalam Piala Dunia U-20 yang bakal digelar di Indonesia, Mei tahun depan.
Tragedi Oktober di Kanjuruhan dikhawatirkan akan membawa sanksi yang memengaruhi keikutsertaan Indonesia di ajang kompetisi internasional itu.
PSSI harus segera melakukan antisipasi terhadap hal ini. Sanksi tegas harus dijatuhkan terhadap siapa pun yang bersalah, tanpa pandang bulu. Tim gabungan ‘’fact finding’’ dari PSSI, Polri, dan unsur lain harus dibentuk untuk mengungkap tragedi ini secara tuntas.
Selama ini, PSSI selalu gamang dalam mengambil keputusan tegas, karena adanya konflik kepentingan di internal PSSI.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak petinggi PSSI yang mempunyai klub yang berkompetisi di liga Indonesia.
Kali ini PSSI tidak punya pilihan lain kecuali bertindak tegas dan menyingkirkan berbagai konflik kepentingan.
Publik tahu bahwa seorang petinggi PSSI mempunyai saham pribadi di Arema Malang. Konflik kepentingan ini harus disisihkan. Kalau tidak, PSSI akan terancam disisihkan dari perhelatan sepak bola internasional.*
Penulis adalah wartawan senior
2