Tausiah Terakhir Kyai Idris Djauhari

Foto terakhir Saibansah Dardani (kanan) dan Rully Nasrullah (kiri) dengan Kyai Idris Djauhari. (Foto: Arif Firmansyah)

Beliau banyak tersenyum dalam pertemuan itu. Meski fisiknya sudah tak setegar dulu ketika masih mengajarku di kelas. Dari atas kursi roda, beliau menanyakan hal-hal ringan seputar kabar. Lalu, kami pun beringsut meninggalkan beliau.

Aku tak berani menoleh ke belakang. Takut feeling itu manarikku kembali ke hadapan beliau. Sementara sudah ada beberapa tamu yang antri ingin bersilaturahim dengan beliau.

Sehari sebelumnya. Sabtu, 9 Juli 2011, sekitar pukul 9 WIB. Hari terakhir beliau memberi tausiah kepadaku. Ini pun tidak seperti tausiah biasanya. Kali ini, beliau banyak mengisahkan perjalanan hidupnya semenjak nyantri di KMI Pondok Modern Darussalam, Gontor, Ponorogo, Jawa Timur, hingga lulus, 1970.

Sampai dengan awal mula beliau membangun Pondok Pesantren TMI Al Amien. Lalu, beliau juga mentausiahkan berbagai hal soal konsep mendidik dan bagaimana mengelola sebuah pondok pesantren. Ketika itu, aku hanya berempat, Adil Abdul Hakim, anakku yang masih duduk di kelas 2 TMI dan Iswandi, adik iparku yang juga alumni TMI.

Pada pertemuanku kali ini, aku memang menyampaikan rencana kami membangun sebuah pondok pesantren tahfizul Qur’an di Desa Palas Kecamatan Rumbai, Pekanbaru Riau, bersama dengan Yenheri, sahabat satu marhalah, Haji Arief Despensari dan keluarga besar Haji Abdurrahman, ayah angkatku di pekanbaru.

Pesantren itu sudah kami beri nama, yaitu Pondok Pesantren Tahfizul Quran Subulussalam, Pekanbaru, Riau. Pembicaraanku dengan beliau kemudian mengalir santai. Sambil mencicipi kopi khas Madura rasa jahe dan kue kering warna putih. Entah apa namanya. Enak.

Setelah lulus dari Gontor, begitu beliau memulai mengisahkan perjalanan hidupnya. “Sebenarnya saya sudah merencanakan pertemuan dengan teman-teman saya satu angkatan di Jakarta. Kami ingin kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tapi rencana itu batal.”

Karena ayah saya sakit keras. Dalam sakitnya yang semakin payah itu, beliau berwasiat kepada saya, agar saya meneruskan pembangunan pondok pesantren yang beliau rintis. Wasiat itu terus beliau sampaikan, sampai ayah, K.H. Achmad Djauhari Chotib, akhirnya wafat di atas pangkuan saya. Maka, sejak itulah, saya mewakafkan diri saya untuk pendidikan di pesantren ini. Sudah 41 tahun. Tapi, masih banyak cita-cita pendidikan yang masih belum tercapai. Sampai hari ini.”

Pada saat itu, saya bertanya, “Al-Amien semakin besar dan organisasinya pun makin beragam, jika antum tiada, siapa yang mengendalikan organisasi yang besar ini, Ustadz?” Tiada niat apa pun di hati saya ketika mengajukan pertanyaan ini. Kecuali, didorong rasa cinta yang dalam kepada ibuku, Pondok Pesantren Al-Amien.

Didorong harapanku yang besar pada “ibu” untuk berbuat lebih banyak lagi bagi generasi dan bangsa ini. Dan kepada “ibu” itu pulalah, ketiga anakku telah aku amanahkan. Ababil Alif Maulana, sayang, hanya bertahan 40 hari saja di TMI. Lalu, Adil Abdul Hakim, alhamdulillah sekarang sudah duduk di kelas 3 TMI. Dan terakhir, putriku, Alia Safira Saibansah, saat ini baru duduk di kelas 1 Tahfidzul Qur’an.

Semoga mereka menjadi generasi soleh dan solehah sesuai ajaran dan didikan “ibu”. Amien, ya Allah.

Menjawab itu, beliau melanjutkan tausiahnya. Begini, kita sudah melakukan kaderisasi sejak lama. Insya Allah, nanti akan ada generasi terbaik yang akan meneruskan pendidikan di Al Amien.

Nada optimismenya begitu kuat. Dengan ekspresi wajah yang serius, tapi tetap ramah. Sehingga berbagai kegalauan di kepalaku akan nasib “ibu”, lenyap seperti asap. Perlahan tapi pasti.

Lalu, beliau meneruskan kisah perjalanan hidupnya sebagai pendidik. Aku merasa, kali ini beliau tidak ingin mengguruiku lagi. Tidak seperti dulu, ketika aku masih menjadi santri. Kali ini, beliau ingin share pengalaman perjuangannya saja.

Mudah-mudahan, belajar dari pengalaman itu bisa menjadi bekal bagi kami membangun pesantren tahfizul Qur’an di Pekanbaru, Riau, atau di tempat-tempat lain. Karena setiap zaman ada masanya. Beda zaman beda pula tantangan, tentunya.

Inti dari tausiah beliau yang berlangsung lebih dari 30 menit itu adalah menanamkan keyakinan yang kuat akan datangnya pertolongan Allah SWT dalam menialankan berbagai rencana amal sholeh.

Lalu ikhlas, sabar dan fokus. Seperti yang beliau lakukan. Sepertinya, sepengetahuanku, selama 42 tahun membangun Al-Amien, ayahanda ideologisku ini hanya fokus pada satu hal: santri!*

Saibansah Dardani, alumnus TMI Pondok Pesantren Al- Amien Prenduan, 1991. Kini wartawan majalah Pengusaha Indonesia, Jakarta, dan mingguan Batam Pesisir, Batam, Kepulauan Riau.

2