Oleh Dahlan Iskan
KAPOLRESTA Malang itu kini jadi kapolda Jatim yang baru. Ini seperti tidak ada hubungan dengan tragedi Kanjuruhan tapi justru bisa nyambung.
Kapolda Jatim yang baru ini mau tidak mau harus cuci piring di Malang. Cuci piring besar-besaran. Termasuk sampai harus melakukan penyembuhan luka yang mendalam di sana. Cuci piringnya lahir batin.
Irjen Pol Tedy Minahasa Putra, kapolda Jatim yang baru, harusnya mampu mengerjakan tugas beratnya itu. Ia paling pintar di angkatannya di Akpol. Ia tahu Malang luar dalam. Sampai ke budaya Ngalam-nya. Ia pernah jadi kapolresta Malang di tahun 2011. Ia juga pernah menjadi ajudan Wapres Jusuf Kalla di tahun 2014. Lalu jadi staf ahli wapres.
Memang, setelah itu Jenderal Tedy agak tersisih. Ia ‘hanya’ jadi wakapolda Lampung. Lantas kapolda Banten. Lalu kapolda Sumbar. Ia hebat tapi belum juga dapat posisi sebagai kapolda kelas utama. Ia memang bukan kelompok Jenderal Sambo. Baru kali ini, setelah Sambo dibersihkan, ia mendapat tempat di Polda yang kelas A: Jatim.
Jenderal Tedy berumur 51 tahun. Bulan depan, 23 November, hari ulang tahunnya.
Menjadi kapolda Jatim bagi Tedy ibarat ‘pulang kampung’. Ayahnya, Madura. Ibunya, Tionghoa muslim, tinggal di Pasuruan. Hanya saja ia lahir di Sulawesi Utara. Yakni saat orang tuanya merantau ke sana. Itulah sebabnya ada ‘Minahasa Putra’ di bagian belakang namanya.
Saya sempat mengamatinya saat ia jadi kapolda Sumbar. Ia berhasil menangani gejolak besar tambang emas liar di sana. Kemampuan komunikasinya sangat baik. Setelah terjadi peristiwa Sambo, ia mengadakan apel di Polda Sumbar. Ia wanti-wanti anak buahnya. “Berhati-hatilah melaksanakan tugas. Jangan gegabah. Jangan pamrih. Kalau ingin kaya jangan jadi polisi. Polisi itu pengabdian,” katanya.
“Kerjalah dengan baik. Jangan berorientasi cari duit di sini. Asal kerja dengan baik rejeksi itu mengikuti,” katanya.
“Jangan lagi ada yang jadi backing kejahatan, backing tokoh di balik peristiwa kejahatan. Masih banyak lahan lain yang lebih halal dan mulia. Yang lebih terhormat. Yang tidak merendahkan martabat Polri,” katanya.
“Maka saya nyatakan perang terhadap judi,” tegasnya.
Tentu kata-katanya itu masih berlaku untuk jabatan barunya sebagai kapolda Jatim. Soal judi, di Jatim, lebih relevan dengan ucapannya itu. Di Sumbar rasanya tidak banyak jagoan judi. Di Jatim? Anda sudah tahu: salah satu konsorsium 313 ada di Surabaya.
Tapi tugasnya untuk cuci piring di Malang akan jadi prioritas yang tidak bisa ditawar. Terutama dalam menyembuhkan luka yang dalam di sana. Perlu ada gerakan penyembuhan psikologi masyarakat secara masal.
Polresta Malang sudah memulai dengan sangat baik. Senin lalu. Saya agak telat mengetahui ini: anggota Polresta Malang bersujud bersama di halaman Polres, mendoakan korban tragedi Kanjuruhan.
Sujud bersama itu begitu lama. Dipimpin seorang imam. Yang jadi imam Kapolresta Malang sendiri: Kombes Pol Budi Hermanto.
Sujud itu lama. Sepanjang doa. Doanya lama. Dibacakan oleh Kepala Kerohanian Polresta Malang Aipda Edi. Ia anggota Satlantas Polresta Malang.
“Yang membaca doa memang saya, tapi yang membuat teks doa itu bapak Kapolresta Malang sendiri,” ujarnya.
Saya sangat tersentuh dengan video sujud bersama itu. Ini salah satu wujud sikap kesatria yang saya maksud di Disway pekan lalu.
Acara seperti itu tentu bisa ikut menyembuhkan luka yang begitu dalam.
Polresta Malang memang dikenal sangat menghayati jiwa Aremania-Aremanita. Bahkan di Polresta Malang itu terdapat korwil Arema: korwil Arema Polresta.
Sayangnya Polresta Malang tidak dilibatkan dalam pengamanan pertandingan di Kanjuruhan 1 Oktober lalu. Bahkan di jajaran BKO, tidak satu pun ada personil Polresta Malang yang di-BKO-kan di Kanjuruhan.
Stadion Kanjuruhan memang tidak termasuk wilayah Polresta Malang. Kanjuruhan berada di wilayah Polres Malang. Polresta untuk kota, Polres untuk kabupaten. Kanjuruhan berada di Kabupaten Malang: 25 km di selatan kota Malang.
Tentu lebih tepat kalau Polres Malang juga ikut apa yang dilakukan Polresta Malang. Bahkan mungkin dengan ide yang lebih baik lagi.
Dari jumlah yang meninggal, 132 orang, memang hanya sekitar 30 orang yang dari kota Malang. Selebihnya dari kabupaten Malang. Tentu ada satu-dua dari kabupaten tetangga.
Jumlah penonton Arema juga imbang: 50 persen dari kota, 50 persen dari desa-desa di kabupaten. Karakter mereka juga sedikit berbeda. Anda sudah bisa menduga: di mana perbedaannya.
Yang datang dari kota itu umumnya naik sepeda motor. Ribuan juga yang pilih naik kereta api. Mereka naik kereta dari stasiun kota dan kota lama, turun di stasiun Kepanjen. Lalu jalan kaki tidak sampai 1 km ke Stadion Kanjuruhan. Itu adalah kereta Surabaya-Blitar yang melewati Malang-Kepanjen.
Jenderal Tedy Minahasa Putra kini mendapat tugas yang sepadan dengan kemampuan aslinya. Ia kini mendapat arena kelas utama. Mata nasional akan jeli mengamatinya. Kemampuan sebenarnya akan terlihat di sini: memang hebat atau biasa-biasa saja.
Ia menggantikan Irjen Pol Nico Afinta yang begitu banyak cobaannya. Kini Irjen Pol Nico hanya menjadi staf ahli di Mabes Polri. Awalnya ia memang dikait-kaitkan dengan Sambo. Dan belakangan diminta ikut bertanggung jawab tragedi Kanjuruhan.
Maka sebelum berangkat cuci piring minggu ini Jenderal Tedy mungkin akan ke Pasuruan dulu. Sungkem ke mamanya. Minta restu. Untuk tugas beratnya. Juga untuk karir berikutnya di masa yang lebih depan. Siapa tahu.*
Penulis adalah wartawan senior