Siti Jenar

Dahlan Iskan dan Kiai Mohamad Nur Warji. (Foto: Dok Pribadi)

Oleh Dahlan Iskan

KIAI satu ini selalu pakai blangkon. Sekilas lebih mencerminkan sosok tokoh kebatinan daripada ulama Islam.

Ketika MC menyilakannya berceramah agama, ia pun duduk di kursi khusus yang telah disediakan untuknya. Ia lantas mengambil mikrofon. Bukan mengucapkan salam pembuka Assalamu’alaikum tapi melantunkan pucukan gending Jawa.

Begitu lantunan sang kiai selesai langsung disambut dengan riuhnya gamelan. Dan lagu pun dilanjutkan oleh para pesinden berjumlah delapan orang.

Satu gending lagu berlalu. Sang kiai minta para sinden menyanyikan satu lagi tambahan lagu. Sang kiai terlihat sangat menikmati gending-gending Jawa itu. Kakinya yang ditumpangkan ke kaki satunya terlihat bergoyang mengikuti irama gending dan gamelan.

Sang kiai tidak banyak bicara. Justru saya yang diminta menjelaskan apa maksud acara malam itu diadakan: pergelaran wayang hakikat.

Nama kiai itu: Mohamad Nur Warji. Dari Desa Suru, Grobogan, Jawa Tengah. Ia lebih sering dipanggil romo daripada kiai. Desa ini sangat pelosok, pun bila dilihat dari kota Purwodadi, ibu kota kabupaten Grobogan.

Letaknya tidak jauh dari waduk Kedung Ombo, yang dibangun di zaman Presiden Soeharto. Berkat waduk itu, Grobogan yang dulunya miskin dan gersang menjadi salah satu lumbung pangan di Jateng.

Dari Surabaya saya naik mobil ke desa itu. Lewat jalan tol ke arah Solo. Saya keluar tol di exit Sragen. Ke arah utara. Lewat pedesaan dan hutan jati. Sejauh 2 jam.

Dua minggu sebelum pergelaran itu  Romo Warji dan Ki Dalang Hardono memang ke rumah saya: menjelaskan apa itu wayang hakikat. Inilah pergelaran wayang kulit yang setting-nya sensitif: pergolakan antara kelompok fikih dan kelompok sufi di zaman walisongo. Antara laku sare’at dan hakikat.

Lakon pergelaran malam itu: Banjaran Syekh Siti Jenar. Anda sudah tahu: Siti Jenar akhirnya mati akibat mempertahankan pengajarannya. Pendapat yang berkembang: ia dibunuh. Dianggap mengajarkan satu aliran agama yang sesat.

Dari lakon yang dipilih saja sudah kelihatan sangat menarik. Saya ingin menilai bagaimana ketika lakon itu dimainkan dalam sebuah pergelaran wayang kulit.

Bahwa wayang ini disebut wayang hakikat karena setting-nya mengenai ajaran sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawulo lan gusti. Yakni hakikat hidup itu  seperti apa. Dari mana datangnya hidup dan ke mana tujuannya.

Maka saya bertekad malam itu akan melanggar disiplin: tidak tidur sampai lewat tengah malam. Sekalian ingin tahu seberapa pintar dalang Hardono memainkan wayangnya. Saya sudah menonton begitu banyak dalang tapi baru malam itu menyaksikan penampilan dalang Ki Hardono.

Ia dalang wayang kulit paling terkenal di Grobogan. Ia sarjana seni lulusan Solo. Ia berumur 55 tahun. Ia penganut tarekat Syatariyah. Ia murid Romo Warji. Ia kurus tinggi. Merokoknya kuat sekali. Kakeknya seorang dalang. Pun ayahnya. Dan salah satu anaknya akan mengikuti jejak seninya.

Adegan pembukaan pergelaran malam itu: peristiwa di tahun 1424. Perang. Antara dua raja di Malaka. Dalang menampilkan perkelahian dua raja itu dengan menggunakan tokoh wayang Boma Natokosuro dan adiknya.

Akibat perang itu, ulama kerajaan di sana pilih pulang ke Cirebon. Bersama istrinya yang lagi hamil. Sampai di Cirebon mereka bergabung ke padepokan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati adalah kakaknya. Di Gunung Jati itu sang suami meninggal. Bersamaan dengan itu istrinya melahirkan.

Si bayi tumbuh menjadi santri yang hebat di Gunung Jati. Tidak pernah tidur. Badannya lemah tapi pikirannya kuat. “Kamu itu hebat tapi tubuhmu seperti cacing,” ujar Sunan Gunung Jati kepada remaja itu.

Jadilah sang remaja cacing sungguhan. Apa yang dilakukan Sunan?

“Cacing, kamu saya buang ke laut. Kalau kamu kuat tirakat di laut kamu akan bisa jadi manusia lagi,” ujar sang wali.

Di laut, Sunan Bonang lagi mengajarkan ilmu makrifat yang amat tinggi kepada Sunan Muria. Di atas perahu. Di tengah laut. Agar tidak ada orang lain yang ikut mendengar.

Perahu bocor. Air masuk ke perahu. Bahaya. Maka sang murid diminta masuk laut mengambil tanah liat untuk menambal perahu. Begitu perahu aman mulailah pengajaran ilmu spiritual tingkat tinggi itu disampaikan. Selesai. Tiba-tiba ada suara “Terima kasih saya menjadi tahu ilmu makrifat”.

Sunan Bonang kaget: ada suara manusia tanpa terlihat sosoknya.

“Siapa kamu?”

“Saya cacing”.

“Berarti kamu itu cacing yang berasal dari manusia”.

Jadilah cacing itu manusia.

“Jadi, kamu mengerti semua yang saya ajarkan ke Sunan Muria tadi?”

“Mengerti”.

“Karena kamu berasal dari tanah merah yang dipakai menambal perahu ini maka kamu saya beri nama Syekh Siti Jenar”.

Siti adalah tanah. Jenar adalah merah. Itu bahasa Jawa halus.

“Kamu saya beri tanah perdikan di dekat Demak. Dirikanlah pondok pesantren di sana,” ujar Sunan Bonang.

Saat itu Raden Patah lagi menjadi raja Demak. Pengaruh Raden Patah merosot karena rakyat berbondong menjadi pengikut Syekh Siti Jenar. Dari sinilah konflik besar terjadi.

Tokoh wayang yang memerankan Raden Patah adalah Romo Wijoyo, suami Dewi Shinta.

Untuk tokoh para Walisongo dan Syekh Siti Jenar dibikinkan wayang  baru. Juga dari kulit. Dibuat oleh ahli wayang dari Yogyakarta. Sosoknya sempurna sekali. Saya suka dengan wayang Syekh Siti Jenar. Masih seperti wayang kulit biasa tapi menggambarkan profil kecendekiawanan Siti Jenar.

Tentu perdebatan antara Walisongo dan Siti Jenar akan sangat dalam bila penguasaan dalang akan ilmu di dua aliran itu sangat baik. Saya kurang puas di kualitas perdebatan antara sare’at dan tarekat dalam lakon ini. Tapi itu sepenuhnya di tangan dalang.

Saya berharap Ki Hardono lebih menarik lagi memainkan wayang hakikat ini. Terutama di kemampuan dialognya. Rasanya publik akan lebih tertarik.

Saya juga suka wayang versi baru lainnya: wayang santri. Yang diciptakan Ki Enthus Susmono. Ini lebih ke wayang golek Sunda. Yang setting-nya dibuat seperti ludruk Surabaya.

Tentu setelah Ki Enthus meninggal dunia nasib wayang santri akan ikut bersamanya. Sampai kelak lahir dalang sekelas Enthus yang sama hebatnya: bisa memainkan wayang kulit dan bisa memainkan wayang golek. Belum ada dalang seperti Enthus.

Nasib wayang versi satunya, wayang suket, juga hanya seumur penciptanya: Ki Slamet Gundono. Ia begitu kreatif. Begitu seni. Tapi juga begitu gendut dan akhirnya meninggal muda.

Ide wayang model Slamet Gundono ini yang sangat memungkinkan lahir kembali. Terutama dari tangan dalang-dalang muda yang punya pendidikan seni di fakultas seni.

Sedang masa depan wayang hakikat akan lebih ditentukan oleh kemampuan dalang dalam menjelaskan masalah spiritualitas dengan cara yang merakyat.

Begitu banyak jenis wayang dilahirkan. Sejauh ini masih tetap wayang purwo yang langgeng.

Di sini satu dalang mati masih bisa tumbuh banyak pengganti.*

Penulis adalah wartawan senior