The Border Watchdog

DEMI MOTOR ANAK…

Perutnya kecil, diikat dengan kain syal, kuat-kuat. Lalu, kepalanya disandarkan ke kursi di depannya. Demi untuk membelikan motor Thunder, buat anak laki-lakinya…

Pria itu bersana Subkhi. Bersama temannya, Grahadi, asal Desa Sijunjuk, Kabupaten Lombok Tengah (Loteng) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Duduk di sebelah saya dalam penerbangan lanjutan saya dari Bandara Ngurah Rai Denpasar Bali dan transit di Bandara Juanda Surabaya, 2 Februari 2012. Saya duduk di seat 6 F pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 0973 tujuan Bandara Hang Nadim Batam.

Sejak duduk di sebelah saya, sikap dan gerak Subkhi menarik perhatian saya. Mula-mula dia tampak kebingungan, menoleh kiri dan kanan bahkan ke belakang, berkali-kali. Lalu, dia singkap kaosnya dan menguatkan ikatan kain syal di perutnya. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya. Wajahnya tampak pusat, untungnya, Subkhi berkulit agak gelap. Sehingga, tak terlalu tampak kalau dia sedang pucat. Sambil menunggu pramugari menutup pintu pesawat, saya membuka label merek minuman mineral yang sengaja saya beli di Bandara Ngurah Rai Bali seharga Rp 8.000,-. Baru beberapa teguk air mineral itu mengalir di tenggorokan. Lalu saya letakkan botolnya yang sudah tak tampak mereknya itu di kantong kursi depan saya.

Lalu saya melakukan ritual, membaca doa-doa perjalanan jauh, setelah sebelumnya membaca ta’awudz dan sholawat nabi. Tiba-tiba saya dikejutkan dengan suara laki-laki di sebelah saya :

“Pak, boleh minta airnya.” Subkhi memandang wajah saya yang menyembunyikan rasa kaget. Sebab, belum pernah saya alami, ada orang yang meminta air minum dari bekas botol minuman saya. Kecuali, itu istri atau anak saya. Tanpa pikir panjang saya persilahkan Subkhi. “Monggo.”

Dia meneguk minuman dari botol plastik itu dengan cara mendongakkan kepala. Sekitar tiga tegukan, dia minum. Lalu, meletakkan kembali air botol air minum mineral itu di kantong kursi di depan saya. Saya perhatikan, wajahnya semakin pucat dan beberapa kali dia kembali mengencangkan kain syal di perutnya.

“Kenapa?” saya mencoba mencari tahu. Tentu saja, saya khawatir juga pria ini tiba-tiba pingsang di sebelah saya.

“Pusing.” Jawabnya, singkat.

“Mau muntah.”

Subkhi hanya mengangguk. Lalu saya ambilkan kantong untuk muntah dari kantong di kursi depan saya. Dan saya bukakan buat pria yang saya taksir berumur 50 tahun itu.

“Pak airnya boleh saya habiskan.” Pintanya lagi.

“Silakan.”

“Mau ke mana?” Saya melanjutkan perbincangan kami.

“Ke Malaysia.”

***

Dua jam lama perjalanan pesawat dari Bandara Juanda Surabaya menuju Bandara Hang Nadim Batam, kami isi dengan saling bertanya.

Ternyata, Subkhi adalah TKI (Tenaga Kerja Indonesia) asal Lombok Tengah yang akan transit di Batam. Sebelum melanjutkan perjalanannya kembali via fery menuju Pelabuhan Fery Internasional Stulang Laut Johor Bahru, Malaysia. Dia akan bekerja di kebun kelapa sawit di Kelantan. Ini adalah kali kedua dia bekerja di Malaysia. Kontrak pertama selama dua tahun sudah dilaluinya. Sekarang, dia berangkat lagi, karena ada target yang ingin dicapainya.

”Anak saya yang laki-laki minta dibelikan motor Thunder.”

”Berapa harganya?”

”Katanya dua puluh lima juta. Makanya, saya berangka lagi.”

Terkait dengan tulisan kolom saya minggu lalu, Batam Gerbang Utama TKI Ilegal Wilayah Timur, maka Subkhi dan temannya Grahadi adalah salah satu buktinya. Menurut penuturan mereka, begitu turun dari pesawat, mereka akan dijemput oleh ”bos” yang sudah standby di Bandara Hang Nadim. Pokoknya, begitu turun sampai tiba di Kelantan Malaysia, sudah ada jaringan yang ”mengamankan” mereka.

Untuk itu, Subkhi harus rela gajinya dipotong sebesar 1.700 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 4.250.000,-. Itu untuk biaya semua pengurusan perjalanan Subkhi dari Lombok sampai ke Kelantan Malaysia. Uang sebanyak itu, dipotong antara 3 s/d 5 kali dari gaji yang diterima Subkhi setiap bulan. Rata-rata, kerja di kebun sawit di Kelantan, Subkhi dan teman-temannya menerika 2000 ringgit. Itu masih harus dipotong untuk beli beras, rokok dan kebutuhan sehari-hari. Semuanya harus dibeli sendiri. Makanya, jika tidak kompak dengan teman-temannya sesama buruh sawit, sulit bagi orang seperti Subkhi untuk mengumpulkan uang. Apalagi beli motor Thunder.

”Kami arisan. Gaji kami, kami kumpul, terus dikirim ke kampung.”

Mereka berlima atau berenam, mengumpulkan gaji mereka. Dengan begitu, maka dalam sekali pengiriman, seorang TKI bisa mengirim antara 2.500 s/d 3.000 ringgit. Lalu, 4 atau 5 bulan kemudian, pengiriman kedua akan diterima oleh keluarga TKI di kampung. Begitu seterusnya sampai masa kontrak mereka kerja di kebun sawit itu habis.

Pada perjalanan pertama, dua tahun lalu, Subkhi tidak transit di Batam. Tapi langsung dari Bandara Juanda Surabaya ke Kuala Lumpur. Tapi kali ini, bosnya meminta agar dia transit dulu di Batam. Enta apa apalasannya. Tapi yang pasti, berangkat ke Malaysia dari Batam, via laut, lebih aman. Apakah ini membuktikan, bahwa “koordinasi” yang dilakukan oleh jaringan “pemain” TKI di Batam dan Johor Malaysia, sudah terbangun dengan sangat baik? Entahlah. Biarlah pihak berwenang yang mengurusi…*

12