KOLABORASI PEROMPAK DAN TERORIS DI SELAT MALAKA
Adakah jalur koordinasi antara bajak laut Selat Malaka dengan jeringan Islam Radikal?
MALAKA. Selat yang satu ini tak hanya ramai dilalui kapal-kapal dagang dengan ratusan kontainer yang penuh di atas palka. Tapi juga ramai menjadi bahan perbincangan dan pembahasan strategi keamanan. Begitu strategisnya Malaka, maka digelarlah pertemuan “The Third Indonesian-Japan Dialogue on Maritime Security” di Batam View Resort Nongsa Batam, 17 s/d 18 Desember 2007. Dalam pertemuan ini, topik utama yang menjadi pembahasan mereka adalah keamanan laut di Selat Malaka dan jalur-jalur perdagangan internasional lainnya. Khususnya yang berkaitan langsung dengan kegiatan ekspor dan impor Jepang.
Sejumlah pakar dan analis bidang keamanan laut dari Jepang, hadir. Mereka adalah Masahiro Akiyama (Chairman Ocean Policy Reseach Foundation and Professor from Rikkyo University), Yoshihiko Yamada (Public Relation Departement The Nippon Foundation), Kazumine Akimoto (Senior Reseacher, Ocean Policy Reseach Foundation), Kimio Fujita (former Japan Ambbassador to Indonesia), Jun Honna (Associate Professor Ritsumeikan University), Kenichi Fukaya (former Director-General of The Japan Coast Guard) dan Hiroshi Yuasa (editorial writer Shankei Shimbun).
Gubernur Kepri Ismeth Abdullah juga hadir untuk membuka pertemuan ini. Hadir pula Menteri Perhubungan Jusman Syafi’i Jamal, anggota DPR RI Heri Ahmadi serta beberapa pejabat yang berwenang dalam pengamanan laut.
Catatan pertama ini merupakan hasil dari pemaparan Yoshihiko Yamada yang banyak menyoroti masalah keamanan Selat Malaka dan transnasional crime.
Yoshihiko Yamada memaparkan, bajak laut di Selat Malaka dalam aksinya kerap menggunakan senjata yang diperoleh orang-orang Islam anti pemerintah termasuk dari Gerakan Aceh Merdeka, Jama’ah Islaminyah (JI) dan Abu Sayyaf. Bahkan, ada kemungkinan senjata tersebut rampasan dari Tentara Nasional Indonesia (TNI ).
Aliran senjata ini juga langsung dikirim kepada pembajak di Somali dari Organisasi Islam seperti Union of Islamic Courts dan Al-Qaeda. Diantara para pembajak tersebut ada yang yang sudah ditangkap oleh Angkatan Laut Amerika. Ternyata, mereka tidak hanya warga negara Somali yang melakukan pembajakan, juga warga negara India.
Bajak laut asal India secara aktif melakukan kegiatan di Samudera India dan berdiam di sebuah kapal khusus sebelum mengintai mangsa. Dengan jumlah pelaku mencapai 20-40 orang. Biasanya kapal yang dibajak selalu menyerahkan harta milik mereka termasuk kapalnya hingga tebusan diperoleh.
Besaran tebusan itu mencapai 1 juta dolar Amerika, bahkan lebih melihat jenis kapal yang dibajak. Contohnya, sebuah kargo Danish dibajak dan lima orang ABK disandera dan pembajak minta tebusan senilai 1,5 juta juta dolar Amerika. Jadi rata-rata pengeluaran uang untuk membayar pembajak mencapai 100. 000 dolar Amerika . Ini untuk pembayaran pembajakan di Selat Malaka saja.
Pemerintah Jepang dan Indonesia, kata Yamada, selama ini mengesampingkan peran keselamatan di laut. Oleh sebab itu, ke depan kedua negara harus meningkatkan kerjasama untuk memerangi perompakan di laut terutama di Selat Malaka itu. Yamada juga mengemukakan, bahwa di Jepang sesuai Undang-Undang Maritime Self-Defence Force dilarang melakukan kegiatan di laut seperti penangkapan dan lain-lain, itu merupakan domain Coast Guard. Jadi peralatan yang dimiliki pihak pengawas pantai berbeda dengan peralatan milik Angkatan Laut. *
16