The Border Watchdog

JONGOS DI LAUT

Indonesia, negeri maritim yang dianugerahi limpahan berkah berupa laut yang luas dengan sumber daya alam melimpah. Tapi bangsanya hanya bisa menjadi jongos di laut?

Presiden Soekarno, sudah membakar semangat anak bangsa ini enam dasawarsa lalu, dalam sebuah pidato yang menyala-nyala. Jangan menjadikan bangsa ini menjadi jongos di negara lain, jongos di kapal-kapal niaga asing. Jadilah bangsa pelaut yang mempunyai armada niaga, bangsa pelaut yang mempunyai armada militer, bangsa pelaut yang kesibukannya di laut, menandingi irama gelombang lautan itu sendiri.

Kalimat penuh api semangat itu, sudah digelorakan oleh Bung Karno, setelah melihat nyali anak bangsa ini sudah mulai kering dari titisan gelora semangat pemberani para pendahulunya. Leluhur mereka, seorang pelaut. Ya, nenek moyang kita adalah pelaut. Mereka yang memiliki jiwa pelaut. Mereka yang mewarisi sifat-sifat laut. Mereka yang tak pernah lari dari hembasan gelombang. Mereka yang kokoh setegar karang… Tak bisa kita pungkiri. Sejarah Sriwijaya, sejarah pejuang Bugis, sejarah Hang Tuah, sejarah Malahayati, dan sebagainya, semuanya memiliki api semangat seorang penakluk ombak. Tak ada yang lari dari ganasnya ombak di laut. Itulah nenek moyang kita. Sejarah tak bisa dibantah, kawan.

Lalu, kalimat pembakar semangat dari Bung Karno itu, disampaikan kembali oleh Kolonel Nurhidayat, Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Batam, pada kesempatan Workshop Maritim Untuk Wartawan, di Markas Komando Lanal Batam, Tanjung Sengkuang, Batam, Sabtu, 10 Maret 2012 lalu. Meski tidak dengan intonasi vokal yang menggelegar seperti Bung Karno, tapi untaian kalimat founding father kita itu sudah penuh semangat menyala. Jangan jadi jongos di kapal asing!

Maka, alangkah meruginya kita yang hidup di Provinsi Kepri, salah satu provinsi kepulauan yang lautnya sangat luas itu, tapi tidak dapat mengambil manfaat maksimal dari potensi laut yang begitu besar. Sekadar mengambil contoh, apa yang kurang dari Pulau Nipah sekarang ini. Kalau dulu luasnya hanya seluas tanah tempat tumbuhnya sebatang pohon bakau, di kala pasang. Kini, sudah terbangun sandaran kapal yang cukup panjang. Luasnya tanahnya juga terus direklamasi hingga 60 hektar. Dilengkapi pula dengan pasukan marinir yang standby setiap hari. Lalu, apa manfaat ekonomi yang sudah dinikmati masyarakat dari Pulau Nipah?

Dalam tataran wacana, banyak hal yang akan diperbuat oleh Jakarta dan Pemerintah Provinsi Kepri atau Pemerintah Kota Batam atas pulau paling depan yang berbatasan langsung dengan Singapura itu. Tapi wacana itu seolah mengering bersama dengan ludah pejabat seusai menyampaikan paparannya soal Pulau Nipah. Setelah itu, senyap lagi. Maka, jadilah Pulau Nipah tak lebih dari sekadar patok batas wilayah negara kita dengan Singapura, yang rajin memperluas wilayah negaranya dengan reklamasi itu.

Mengapa kita tidak juga mau belajar dari Singapura mengelola lautnya yang cuma seukuran ”dot red on the map” itu? Berapa ratus miliar yang diraup oleh otoritas pelabuhan Singapura dari sewa tambat kapal? Berapa uang yang mereka tarik dari menjual kebutuhan kapal? Dan masih banyak lain peluang bisnis dan jasa yang mereka nikmati dari lalu lintas ribuan kapal di Selat Malaka. Tidakkah kita bisa belajar dari itu semua, walau hanya 10% saja?

Okeylah, ada kendala teknis yang sangat serius, mengapa kapal-kapal asing itu tidak mau sandar di Batam. Tapi toh, masih banyak peluang yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan oleh Provinsi Kepri. Apalagi, saat ini sudah ada badan  yang fokus pada pengelolaan perbatasan. Apa lagi yang ditunggu?

Sesungguhnya, pada masa pemerintahan Gubernur Kepri H. M. Sani ini, penulis berharap ada loncatan harimau cethach, bahkan lebih, pada program-program pembangunan maritim. Bukan hanya karena Pak Sani sudah sangat paham betul dengan berbagai potensi dan ancaman pengembangan kelautan di Provinsi Kepri. Tapi mantan Bupati Karimun ini juga telah didampingi oleh seorang penasehat yang juga pakar kelautan, mantan Menteri Kelautan, Rohmin Dahuri. Belum lagi, pakar-pakar maritim juga saat ini masih stanby di Batam dan wilayah Provinsi Kepri lainnya. Seperti mantan Ketua Kadin Batam, Nada F. Soraya serta sejumlah nama lain yang sangat paham bagaimana mengembangkan maritim di Kepri. Pertanyaannya sekarang adalah, sampai kapan kita biarkan anak-anak bangsa ini terus menerus menjadi jongos di laut? *

21