The Border Watchdog

MENANCAPKAN IDENTITAS BUDAYA
DI ATAS KARANG PULAU NIPAH

SEBELUM mantan Presiden Megawai Soekarnoputri memerintahkan agar dilakukan reklamasi tahun 2004 lalu, Pulau Nipah tak lebih dari sebuah batu karang. Ya, karang yang hanya ditumbuhi sebuah tanaman bakau. Bila air laut mulai pasang, hanya pucuk-pucuk daun bakau itulah yang menjadi pertanda Pulau Nipah. Padahal, sebuah karang itu bernilai sangat strategis bagi kedaulatan Indonesia. Sebab, begitu batu karang itu “disapu” habis oleh tangan-tangan hitam yang tak bertanggung jawab, maka luas batas zone eksklusif laut Singapura akan bertambah puluhan kilometer. Sebab, pemerintah Singapura selama bertahun-tahun berhasil memperluas daratannya dengan mengeruk pasir dari laut dan pulau-pulau di wilayah Provinsi Kepri. Seperti pengerukan di perairan Karimun dan laut Bintan serta Batam. Sehingga luas daratan negara singa itu bertambah hinggal 100 hektar persegi.

Ombak yang ganas bersahabat dengan karang, berdiri tegak dan kokoh. Seolah ingin teriak kepada negara tetangga Singapura, bahwa nasionalisme bangsa Indonesia sampai hari ini masihlah kokoh, setegar karang di Pulau Nipah itu. Dan setelah dilakukan reklamasi selama lebih dari empat tahun, dilanjutkan dengan  pembangunan pos-pos jaga dan pengamatan militer, maka kini Pulau Nipah sudah menjelma sebagaimana layaknya sebuah pulau. Ya, pulau dengan luas hampir 60 hektar persegi dengan beberapa bangunan, yaitu kantor Pangkalan Angkatan Laut Batam, pos pemantau, helipad, barak tempat pasukan marinir menjalankan tugas mengamankan Pulau Nipah, serta sebuah bangunan yang dapat dijadikan tempat tamu untuk beristirahat.

Di bibir-bibir pantai saat ini sudah ditanami pohon bakau, cemara laut dan di bagian lain ditanam pohon ketapang. Saat ini, sudah 5000 pohon yang telah ditanam. Memang, pohon-pohon itu masih belum lagi mampu menahan hawa panas di tengah terik matahari siang. Tapi setidaknya, ada harapan Pulau Nipah bakal menjadi hijau dalam 5 s/d 10 tahun mendatang.

Meski kini Pulau Nipah telah direklamasi dan sudah dijaga oleh satu kompi pasukan elit TNI AL, tapi esistensi Pulau Nipah sebagai karang masih terasa. Karena tidak ada kegiatan lain di atas Pulau Nipah selain kegiatan para prajurit yang dengan disiplin terus melakukan pengamatan atas kapal-kapal tanker yang hilir mudik. Dan tak lupa terus mengarahkan teropong dari atas pos jaga ke gudang senjata milik tentara Singapura. Tentu saja, bukan kebetulan jika tentara kita mengamati gudang senjata yang berjarak tidak lebih jauh dari Selat Sunda.

PULAU TANPA KEDAULATAN UDARA

JIKA kita flashback ke lima tahun lalu, ketika jumlah prajurit TNI AL yang bertugas mengamankan Pulau Nipah seperti sekarang. Dalam satu kegiatan Lokakarya Kebangsaan yang diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri (Depdagri) bekerjasama dengan TNI AL dan pemerintah Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebanyak 530 orang peserta hadir di Pulau Nipah. Di sana mereka ingin menanamkan kembali rasa kebangsaan dan nasionalisme dengan melihat langsung baranda terdepan Republik Indonesia. Lalu mereka menorehkan Prasasti Bhinaka Tunggal Ika. Kemudian, diikuti dengan ungkapan ekspresi cinta tanah air dalam beberapa bentuk. Mulai dari puisi, pidato ala Bung Karno, ungkapan perasaan pejuang integrasi Timor Timur sampai dengan analog Pulau Nipah dalam cerita wayang yang disampaikan oleh Ki Dalang Enthus.

Pada saat kegiatan tengah berlangsung, 2 buah pesawat tempur milik tentara Singapura terbang rendah berputar-putar di atas Pulau Nipah. Sudah pasti, suaranya memekakkan telinga. Memang, mereka tidak melemparkan bom atau pun peluru. Tapi dengan terbang rendah di atas Pulau Nipah, yang notabane masih wilayah kedaulatan Repubik Indonesia, itu sudah membuktikan betapa beranda terluar negara kita tidak memiliki wibawa sama sekali. Padahal, pada saat itu, di atas Pulau Nipah hadir para pejabat di lingkungan Provinsi Kepri, Muspida dan sejumlah perwira TNI/Polri.

Setelah ditelusuri, ternyata sesungguhnya kedatangan dua pesawat tempur tentara Singapura di atas Pulau Nipah itu adalah untuk menghalau pesawat tempur TNI Angkatan Udara kita yang terbang dari Pangkalan Pekanbaru Riau untuk mengawal kapal pengangkut peserta lokakarta. Sungguh sebuah ironi, pesawat milik tentara sendiri dihalau oleh pesawat negara tetangga, jusru di atas wilayah langitnya sendiri. Lalu di mana kedaulatan negara kita?

Syukurlah, dalam kunjungan terakhir penulis, Kamis, 15 Juli 2010 lalu, dari pengakuan para prajurit yang berjaga di Pulau Nipah, sudah tidak pernah ada lagi pesawat tempur Singapura yang terbang di atas wilayah kedaulatan Indonesia di atas Pulau Nipah. Ini membuktikan, kekuatan militer masih menjadi unsur penting dalam budaya negara bertetangga.

MENANCAPKAN IDENTITAS BUDAYA BANGSA

Sekarang, setelah para prajurit TNI AL berhasil mengamankan kedaulatan Republik di atas Pulau Nipah. Kini sudah saatnya untuk dilakukan penancapan budaya bangsa di atasnya. Sebab, bagaimana pun, pulau seluas 60 hektar itu berada di dalam atmosfir budaya Melayu yang tak terpisahkan. Membentang luas dari sejak Pulau Penyengat tempat bersemayam jasad sang masterpiece Raja Ali Haji, penulis Gurindam 12 sampai dengan Johor Bahru Malaysia hingga Riau daratan. Memang, tidak banyak literatur kesustraan Melayu yang berkisah tentang Pulau Nipah. Sebab, ketika itu Pulau Nipah masih berbentuk sebongkah batu karang. Tapi kini tiba saatnya agar di atas Nipah dijadikan sebagai etalase budaya bangsa.

Ada banyak gagasan yang sudah mengemuka sebagai wacana atas Pulau Nipah. Mulai dari dijadikan sebagai tempat tambat labuh kapal-kapal tanker sambil menunggu giliran bongkar di Pelabuhan Singapura. Sampai dengan wacana dibangun tempat peristirahatan sejenis resort. Bahkan, muncul juga wacana agar Pulau Nipah dijadikan alternatif pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Tapi semuanya itu  masih dalam tataran wacana, belum ada satu pun matang.

Tapi jika kita mau meniru gagasan Singapura atas dua pulau kecil, Pulau Semakau dan Pulau Sakeng di wilayahnya, yang disulap jadi pusat rekreasi dan studi tour bagi pelajar dan mahasiswa. Padahal, kedua pulau itu adalah sebuah TPA, tempat pembuagan akhir sampah warga Singapura. Tapi dengan berbagai konsep membangun pulau dari sampah ditambah lagi dengan teknik marketing mereka yang ciamik, maka jadilan ”pulau sampah” Singapura itu sebagai salah satu daerah tujuan wisata.

Dibandingkan Pulau Semakau, tentu Pulau Nipah memiliki keunggulan sendiri. Selain hegenis karena tidak ada sampah, Pulau Nipah bisa dijadikan sebagai sebuah camp penguat rasa nasionalisme anak bangsa, melalui berbagai macam kegiatan. Yang sudah pernah dilakukan adalah kemah Pramuka, kunjungan pemuda cinta bangsa dan lain sebagainya. Selain itu, masih banyak kegiatan lainnya yang dapat dilakukan di sana, seperti kegiatan outbound organisasi, OSIS bahkan studi tour pelajar/mahasiswa. Sehingga dengan demikian, maka akan tertancap budaya di atas karang Pulau Nipah. *

23