The Border Watchdog

Zero Enemy

Apa arti  slogan million friends and zero enemy? Dan bagaimana diterjemahkan di perbatasan?

Slogan million friends and zero enemy, atau “mencari sebanyak mungkin teman dan menghindarkan permusuhan” pertama kali disampaikan oleh Presiden SBY di hadapan 128 perwakilan asing, perwakilan tetap untuk ASEAN, dan organisasi internasional di Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Jakarta, Rabu, 15 Februari 2012, pagi hari. Slogan itu dipaparkan Presiden SBY ketika menyampaikan kebijakan politik luar negeri Indonesia.

Penulis tidak mendengar langsung slogan itu dari mulut Presiden SBY. Tapi ketika slogan tersebut disampaikan kembali oleh Dr. Connie Rahakundini Bakrie, pada saat menyampaian makalahnya di Seminar Maritim Nasional bertema ”Strategi Membangun Negara Maritim, Pulau Terdepan Beranda Negara Maritim” di Gedung Asrama Haji Tanjungpinang, Senin, 23 April 2012, lalu dikritisi dengan analisis yang tajam. Maka, semakin teranglah bahwa banyak hal yang harus dicatat dari kebijakan pemerintah saat ini dalam hal pertahanan negara, khususnya perbatasan.

Analis pertahanan dari Universitas Indonesia (UI) itu memaparkan, sebuah slogan yang disampaikan oleh seorang presiden, maka akan diikuti oleh kebijakan-kebijakan. Dan itu kemudian diterjemahkan di lapangan oleh semua lini dengan beragam. Terkait dengan ”zero enemy”, masih wajar jika diterjemahkan oleh pasukan di lapangan dengan ”kompromi”. Asalkan itu tidak terkait dengan terorisme dan perdagangan narkoba, maka nuansa ”kompromi” akan menjadi pilihan utama. Apalagi, jika berbenturan dengan negara tetangga. Maka, dengan berbagai dalih, mulai dari soal hubungan diplomatik yang harmonis sampai dengan menghindari konflik, lalu dipilihlah ”jalan damai” di tempat.

Sebuah fakta kemudian ditanyakan oleh seorang peserta seminar, Zamzami A. Karim, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Politik (Stisipol) Raja Haji Tanjungpinang, mengapa kapal-kapal pencuri ikan dari Vietnam di perairan Natuna yang lebih sering melakukan penangkapan itu justru kapal patroli DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan). Di mana kapal patroli milik TNI AL atau Polair? Apakah mereka tidak hadir di perairan Natuna? Nonsense! Kalau dalam hal kesiapan tempur dan kelengkapan peralatan, pastilah kapal patroli TNI AL dan Polair jauh lebih lengkap dan siap. Tapi mengapa justru kapal patroli DKP yang sering nangkap kapal pencuri ikan?

Jangan arahkan pertanyaan ini pada topik keterbatasan alutsista (alat utama sistem senjata) tentara kita. Ini tidak sepenuhnya soal itu. Tapi, barangkali, adakah ini kaitannya dengan slogan yang disampaikan secara terbukan oleh panglima tertinggi TNI, Presiden SBY : million friends and zero enemy?

Seharusnya, slogan itu tidak sampai menghilangkan kewibawaan tentara kita di mata negara-negara tetangga. Apalagi, negara yang kerap mencuri ikan dan sumber daya alam lain dari laut kita. Apalagi, negara yang kerap membuang limbah cair ke perairan kita. Apalagi yang negara yang gemar menyedot BBM subsidi untuk rakyat kita… Terhadap mereka, apakah seharusnya tentara kita harus berteman? Menghadapi mereka, sudah seharusnya TNI kita diciptakan menjadi tentara yang kuat dan segani di kawasan. Karena dengan begitu, akan menangkal niat negara-negara tetangga untuk mencuri sumber daya kelautan kita. Atau pun merusak ekosistem kita dengan limbah cairnya. Ada sebuah pepatah mengatakan : Kalau Ingin Damai, Siaplah Untuk Perang!

Untuk apa Singapura mempersiapkan dan melengkapi milternya dengan persenjataan yang demikian lengkap? Lalu, memiliki kapal selam berikut sejumlah kapal patroli lainnya yang moncong senjatanya tidak ditutup alias siap tembak? Plus kekuatan pasukan udaranya yang canggih? Apakah itu berarti Singapura tidak menerapkan slogan zero enemy? Menurut penulis, Singapura tengah menerapkan jurus : speak softly, but carry a big stick! *

25