TALKSHOW RRI
Menjadi narsum soal perbatasan di acara talkshow RRI Batam, membuka mata kita semua bahwa wilayah perbatasan Kepri masih belum tersentuh maksimal.
Senin, 2 Juli 2012, pukul 09:30 WIB, penyiar RRI Batam, Sarah Hussein mengundang penulis untuk menjadi nara sumber (narsum) di acara Talkshow RRI Batam yang diberi tajuk : OPUS, Opini Publik Sepekan.
Pagi itu, topic bahasannya adalah masalah perbatasan di Provinsi Kepri. Entah apa pertimbangan Sarah mengundang penulis menjadi narsum, apakah karena kolom “Saibansah@Theborderwatchdog” ini? Entahlah.
Yang pasti, sebagai acara talkshow interantif, penulis mencatat sejumlah pertanyaan dari pendengar RRI Batam yang galah. Ya, kesan galau itu terekam kuat dari pertanyaan mereka yang diajukan.
Mereka galau, melihat keseriusan Jakarta atau Provinsi Kepri dalam mengelola daerah perbatasan dan 19 pulau terluar di wilayah Provinsi Kepri. Bahkan, salah seorang dari pendengar itu menanyakan, apakah Jakarta benar-benar menjadikan Batam ini sebagai etalase Indonesia? Atau, hanya etalase abal-abal?
Pertanyaan ini menggelitik penulis. Sebab, sesungguhnya nuansa dari pertanyaan ini tidak sebesar dari nuansa curhat-nya. Karena bisa jadi, dalam benak si penanya tadi, Batam dalam beberapa tahun terakhir, semakin hari tidak menunjukkan perkembangan yang significan.
Baik dari sisi arus modal asing dalam bentuk investasi maupun dalam hal prestasi global lainnya. Meskipun penulis tidak terlalu sependapat dengan penanya tadi, tapi curhat itu patut untuk diperhatikan. Sebab, curhat ini adalah bagian dari ekspresi rasa cinta warga Batam pada kotanya ini.
Lalu, ada pula pertanyaan pendegar terkait dengan anggaran dana sebesar Rp 15 miliar untuk pengelolaan pulau terluar di Provinsi Kepri. Apakah dana ini sudah sampai dengan selamat kepada para penerimanya alias “soft landing” dalam bentuk program ataupun lainnya? Atau, justru melenceng ke mana-mana?
Ini juga patut diperhatikan, sebab pengawasan pengelolaan dana pembangunan di pulau terluar dan daerah perbatasan memang rawan. Selain karena pengawasan yang lemah, juga karena memang medan yang kurang bersahabat pada bulan-bulan tertentu. So, pertanyaan itu wajar. Bisa jadi, karena sampai dengan hari ini, belum tampak hasil-hasil pembangunan secara significan di pulau terluar di Provinsi Kepri.
Yang menarik juga ada satu pertanyaan soal jumlah personel polisi dan TNI untuk mengamankan seluruh wilayah Provinsi Kepri. Wajar pertanyaan semacam ini muncul. Sebab, jumlah personel polisi maupun TNI masih sangat terbatas.
Apalagi, dukungan alutsista kita juga masih sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan peralatan tempur milik negara tetangga, Singapura. Dengan taburan pulau-pulau yang jumlahnya mencapai angka ribuan, tentu saja jumlah personel polisi dan TNI kita masih sangat jauh dari cukup.
Padahal, jika saja semua pihak fokus dan satu visi dalam hal pengelolaan wilayah perbatasan dan pembangunan 19 pulau terluar di Provinsi Kepri, maka akan ada dana yang luar biasa besar dari hasil laut dan segala potensinya. Bahkan, besarannya jauh lebih besar dari APBD Provinsi Kepri sendiri.
Persoalannya adalah diperlukan kekuatan dan kesungguhan membangun rasa percaya diri di dalam hati para penyelenggara negara ini, baik di Jakarta maupun di Provinsi Kepri.
Tanpa itu, anugerah potensi geogarif yang dimiliki Kepri akan terus menjadi ladang mencuri ikan yang luas bagi toke-toke asal Thailand dan Malaysia. Barangkali, inilah yang membuat para pendengar RRI di Batam galau. Apakah para penyelenggara negara di Jakarta dan Provinsi Kepri juga galau?
Wallahua’lam alias hanya Tuhan-lah yang tahu!
27