JANGAN KAVLING LAUT NKRI, BUNG!
Benarkah kawasan laut kita yang seluas dua benua ini sudah dikavling oleh ego sektoral institusi kita sendiri?
Dalam satu sarasehan tentang wawasan kebangsaan yang digelar oleh Komunitas Merah Putih, di SMK Negeri 6 Batam, Nongsa, Sabtu, 28 Januari 2012 lalu, Kepala Badan Pengelola Perbatasan (BPP) Provinsi Kepri Buralimar mengeluh. Dia mengeluh karena sulitnya mengelola perbatasan. Pemicunya adalah karena ternyata, membangun koordinasi dengan stake holder yang berwenang pada pengamanan laut itu suuuuuuuulit. Pasalnya, karena masing-masing instansi mengedepankan egonya sendiri sendiri. Ini seolah-olah seperti mengkavling laut. Jadi, benarkah kata ”orang kapal” bahwa laut kita, khususnya di perairan Provinsi Kepri, sudah dikavling-kavling oleh institusi kita sendiri yang berwenang di laut? Benarkah?
Itulah makanya, mereka sudah terbiasa dengan pola kerja seperti layaknya sopir truk angkutan di jalan raya. Mereka selalu menyiapkan sejumlah ”uang hantu” yang akan mereka tebar di tengah laut. ”Uang hantu” – dalam arti memang uang kertas yang biasa dibakar untuk sembahyang – itu, bagi sebagian keyakinan pengusaha etnis Thionghoa, adalah ritual sebelum kapal berangkat berlayar. Tapi ternyata, selain ”uang hantu” itu, masih ada juga ”uang hantu” yang lain, benar-benar mata uang kertas produksi Bank Indonesia (BI) atau Bank of Singapore, bahkan Central Bank of America. Semuanya harus mereka siapkan untuk memuluskan perjalanan laut mereka dari atau menuju Singapura. ”Uang hantu” itu didistribusikan secara ”merata” di sepanjang perjalanan melalui Selat Philips, Selat Singapura dan Selat Malaka. Khususnya, jika mereka bertemu dengan kapal-kapal patroli.
Jika Kapolri Jenderal Timur Pradopo sudah mengakui ”dahsyatnya” pungli di Tanjung Priok Jakarta, sehingga sulit dibersihkan. Maka, hal yang sama di perairan Selat Philips, Selat Singapura dan Selat Malaka, tinggal menunggu waktu untuk mendapat ”pengakuan” serupa. Entah pengakuan dari siapa saja. Kalau dari ”orang kapal” mereka sejak dulu sudah mengakui itu. Tapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Kecuali, menahan sesak di dada lalu menganggap semua itu sebagai kewajaran dalam berbisnis di laut.
Penulis yakin, pengalaman ”orang kapal” itu bukan bualan semata. Karena informasi itu tidak berasal dari satu ”orang kapal” saja. Apa mungkin karena persoalan ”uang hantu” inilah sehingga seorang Buralimar sampai pusing membangun koordinasi antar instansi yang berwenang di laut? Buralimar wajar merasa pusing. Sebab, mengurus wilayah perbatasan dibutuhkan koordinasi antar semua instansi terkait. Padahal, justru koodinasi itulah sesungguhnya ”hantu” paling susah ditaklukkan. Akibatnya, seperti diakui Buralimar sendiri, setiap rapat-rapat tidak maksimal. Padahal, mengurus perbatasan itu, perlu keseriusan dan dukungan dari seluruh pihak.
Harus benar-benar disasari oleh semua pihak, bahwa Provinsi Kepri adalah beranda terdepan Indonesia di wilayah barat. Berbatasan langsung dengan Singapura, Malaysia, Vietnam dan Thailand. Tentu saja, terhampar permasalah yang sangat kompleks di sana. Bukan saja persoalan kejahatan lintas batas negara. Tapi juga bagaimana memperpendek kesenjangan taraf hidup masyarakat di perbatasan. Sebab, jika tidak dilakukan langkah-langkah kongkrit, masyarakat kita yang hidup di perbatasan berpotensi menimpulkan masalah serius.
Begitu pentingnya masalah perbatasan ini, sampai-sampai pemerintah pusat memberikan perhatian yang besar untuk kawasan perbatasan, termasuk di Kepri yang memiliki 19 pulau terdepan. Bentuk kepedulian pemerintah pusat itu diekspresikan dengan mengucurkan alokasi anggaran dalam jumlah besar. Untuk saat ini, wilayah prioritas pembangunan perbatasan di Kepri difokuskan di Kabupaten Natuna, yakni Kecamatan Bunguran Timur. Alokasi anggaran yang dikucurkan mencapai Rp150 miliar. Anggaran sebesar itu tidak hanya dikelola oleh BPP Kepri saja, melainkan didistribusikan ke berbagai SKPD lain yang terkait dengan pembangunan kawasan Bunguran Timur tersebut.
Selanjutnya untuk tahun 2013, lokasi prioritas akan berpindah ke Belakang Padang di Kota Batam, Bintan Pesisir di Kabupaten Bintan, Tebing di Karimun, Serasan Timur dan Pulau Laut di Natuna, serta Jemaja Timur di Kabupaten Anambas.
Pada tahun 2014, baru berpindah lagi ke Nongsa, Bulang dan Batu Ampar di Batam, Teluk Sebong, Bintan Utara dan Tambelan di Kabupaten Bintan, Kundur, Meral, dan Moro di Kabupaten Karimun. Lalu untuk wilayah Natuna, lokasi prioritas yang akan dibangun adalah Bunguran Utara dan Bunguran Barat serta Midai. Sementara untuk Kabupaten Anambas, akan meliputi Siantan dan Palmatak.
Jadi, masih banyak kerja besar yang menanti keseriusan kita semua untuk membangun perbatasan. Tidak ada lagi stigma pulau terluar di seluruh wilayah NKRI. Yang ada sekarang adalah beranda terdepan NKRI. Lalu, apakah kita biarkan ”beranda depan” rumah kita tak terawat dan miskin? *
4