The Border Watchdog

KELUAR-MASUK : DUIT !!!

Beban hidup warga di perbatasan, juga ditentukan oleh seberapa besar ”pungli” yang dilakukan oleh ”si penjaga pintu” arus keluar masuk barang. Bagaimana modus mereka?

Akhir pekan lalu, warga Batam diingatkan kembali oleh Ruslan Kasbulatov, legislator dari partai politik berlambang kerbau moncong putih. Dia mengungkapkan, ulah oknum pejabat di KPU (Kantor Pelayanan Utama) Bea Cukai (BC) Batam, berinisial Ng, yang kelewat rajin melakukan pemerasan atas barang-barang konsumsi yang masuk ke Batam. Besaran “jatah preman” setiap kontainernya, Rp 1,5 juta s/d Rp 2 juta. Praktik ini sudah lama terjadi dan meresahkan para importir. Lalu, buru-buru Kepala Seksi Penindakan KPU BC Batam, Nugroho membantah. Penulis tidak ingin membahas aksi “balas pantun” antara Ruslan dengan Nugroho (diakah yang dimaksud Ruslan dengan insial Ng itu? Ruslan lah yang tahu.)

Penulis ingin memaparkan hasil investigasi yang penulis lakukan, soal bagaimana modus aksi peras memeras yang dilakukan oleh para oknum petugas “custom” itu. Ternyata, fakta yang diungkapkan Ruslan tidak senuhnya salah. Hanya ada sedikit ketidak cocokan fakta hasil temuan yang diungkapkan Ruslan dengan hasil investigasi penulis. Yaitu, besaran angka “jatah preman”. Yang penulis temukan, dari hasil wawancara tertutup (elisitasi) dengan sejumlah importir di Batam, ternyata, mereka “harus” membayar kepada oknum KPU BC Batam itu jauh lebih besar dari angka Rp 2 juta. Mereka membayar Rp 10 juta s/d Rp 20 juta per kontainer. Bagaimana modus aksi peras memeras mereka?

Ada “jalan depan” ada pula “jalan belakang”. ”Jalan depan”, maksudnya, semua dokumen izin impor barang ke Pulau Batam, harus diproses melalui sistem NSW (National Single Window) yang berbasis komputer. Sistem NSW akan memberi kode-kode tertentu pada setiap dokumen. Jika dokumen importir tidak lengkap, atau kurang satu dua syarat, maka sistem akan memberi kode : ANALISING POINT (AP). Jika, suatu barang sudah diberi kode ”AP”, maka petugas di bawah P2 (Penyidikan dan Penindakan) KPU BC Batam, khususnya, dibawah komando Kasi Penindakan, akan melakukan ”pemantauan khusus” atas barang dengan dokumen AP itu.

Aksi yang mereka lakukan atas barang dengan dokumen AP itu beragam. Mulai dari membongkar kontainer ketika masih berada di pelabuhan. Atau, membiarkan kontainer bergerak keluar dari pelabuhan, tapi diikuti diam-diam. Dan baru akan diperiksa ketika kontainer sudah masuk ke gudang pemilik barang. Pembaca sudah boleh menerka, apa yang terjadi pada saat pemeriksaan itu dilakukan di gudang pemilik barang. Apalagi, jika sang oknum sudah membawa stiker segel berlogo BC bertulis : DISEGEL. Apa ”dokumen” paling sakti yang bisa membuat stiker itu tidak jadi ditempel? Ya, benar! Duit.

Itu baru satu modus. Artinya, modus ketika barang sudah masuk. Ada modus yang lebih terstruktur dan sudah biasa dilakukan selama ini. Modus yang kedua ini, hanya bisa dilakukan oleh importir yang sudah masuk katagori ”family” BC. Yaitu, importir yang sudah memiliki hubungan dekat dengan para oknum. Modusnya adalah : pengkondisian.

Importir mengkondisikan terlebih dahulu dengan oknum dibawah seksi P2 KPU BC Batam, khususnya bidang intelijen. Importir memberitahukan, bahwa dirinya akan melakukan pemasukan barang yang sesungguhnya dilarang. Contohnya, mesin bekas, genset bekas, furniture bekas, ekskalator bekas dan seterusnya. Semua itu benar-benar masuk katagori ”lampu merah” alias tidak boleh masuk Batam. Tapi dengan ”modus pengkondisian” itu, semuanya aman-aman saja. Tapi tarifnya beda : bandrolnya Rp 10 juta s/d Rp 20 juta. Dengan modus kedua itu, maka barang si importir tadi akan dikondisikan untuk mendapatkan ”dokumen modifikasi”. Yaitu, barang bekas dibilang baru.

Lain lagi yang dialami oleh seorang pengusaha sub-kontraktor di perusahaan asing di Batam. Dia mengungkapkan pengalamannya itu kepada wartawan Bisnis Indonesia. Pengusaha itu mengaku harus membayar Rp26 juta untuk mengurus dokumen pemasukan barangnya dari China. Itu belum termasuk dokumen untuk perpanjangan masa kerja ekspatriat yang bekerja di perusahaan itu yang nilainya Rp6 juta. “Yang lebih parah adalah ketika barang sudah sampai di pelabuhan dan ditahan oleh aparat karena tidak memiliki dokumen SNI atau sejenisnya. Terpaksa harus bayar lagi,” ujar seorang pengusaha berinisial B.

Itu baru dua modus barang masuk. Barang keluar pun juga berarti duit bagi para oknum ”penjaga pintu keluar masuk barang” itu. Income rutin dari barang keluar yang mereka terima setiap minggu berumber dari Pelabuhan Sekupang. Saat ini, ada dua ”pemain” besar yang sangat ”sakti” di Pelabuhan Sekupang yang ”menguasai” kapal PT. Pelni. Mereka inilah ”ATM” rutin yang menjadi salah satu sumber pemasukan, selain dari APBN.

***


Jika aksi ”peras memeras” mereka ini dibiarkan begitu saja. Maka wajarlah jika beban hidup masyarakat Kota Batam semakin hari semakin berat. Karena importir pasti tidak sudi menanggung rugi sendirian. Segala biaya yang keluar selama proses impor barang pasti akan dicatat sebagai biaya. Lalu, dibebankan kepada masyarakat.

Belum lagi, dampak dari tambahan beban setelah Pemerintah Kota (Pemko) Batam menaikkan sejumlah retribusi. Seperti retribusi parkir yang naik 100%, retribusi pajak reklame sebesar 300% dan sebagainya. Lalu, bersiap-siap, beban hidup akan semakin berat dengan rencana kenaikan BBM (Bahan Bakar Minyak) yang diperkirakan mencapai 35%. Pendeknya, beban hidup masyarakat di perbatasan tak pernah bergerak turun. Maka, wajarlah jika buruh di Batam terus menerus menejerit. Lalu mengekspresikan jeritan mereka itu dengan menjerit benaran di atas mimbar-mimbar aksi demo. Siapa berani menghentikan aksi mereka? *

6