The Border Watchdog

ROBIN HOOD DI PERBATASAN

Di perbatasan, juga ada Robon Hood. Di mata masyarakat, aksi komplotan Robin Hood jauh lebih mulia dari sepak terjang para koruptor. Nah lo!

Selasa, 7 Februari 2012, kisah Robin Hood dari Batam, terungkap ke publik. Pada hari itu itu, tim buser Polresta Barelang berhasil meringkus Dedi, komandan komplotan Robin Hood dari Batam. Lalu, media pun memblow-up berita ini di koran-koran lokal sampai berkembang luas menjadi isu nasional. Bahkan, televisi swasta tidak hanya menurunkan liputan dalam bentuk spot news, tapi juga dalam bentuk feature yang mendalam dengan nara sumber juga beragam pula. Dan, Dedi benar-benar telah menjelma menjadi sosok Robin Hood dalam opini publik. Begitu dahsyatnya kekuatan media membentuk opini publik.

Dedi memang fenomenal. Sebelum tertangkap dan namanya menjadi news maker, nama Dedi nyaris tak dikenal. Kecuali, di komunitasnya saja. Ya, komunitas LSM Batam, komunitas media mingguan lokal, komunitas paguyuban Palembang, khususnya Kayu Agung (kampung asal Dedi), komunitas jaringan Robin Hood perbatasan di Malaysia dan Singapura dan masyarakat di kawasan ruli Malchem, Batam. Tapi kini, nama Dedi begitu fenomenal. Terlepas dari berbagai komentar miring yang mengikutinya.

Sosok Dedi, bagi sebagian warga adalah Robin Hood, pencuri baik hati yang membagi-bagikan hasil curiannya kepada orang miskin dan mereka yang membutuhkan. Sungguh, di mata mereka, derajat Dedi jauh lebih “mulia” dibanding koruptor. Jauh banget, malah. Kalau koruptor merampok uang negara, yang didapat dari keringat dan darah rakyatnya yang dibayarkan melalui pajak, lalu ditelan sendiri bersama istri dan anak serta kerabatnya saja. Tapi komplotan Robin Hood, tidak.

Sesungguhnya, sepak terjak kelompok ala Dedi ini sudah sejak lama terjadi di perbatasan. Dalam bahasa kriminalitas, apa yang dilakukan kelompok Dedi dikenal trans nasional crime (TNC). Di perbatasan, jenis TNC beragam, diantaranya adalah traficking, woman traficking,  money loundering (ML), ilegal mining, ilegal loging, perompakan, terorisme dan beberapa jenis TNC kerah putih lainnya. Hanya saja, khusus untuk kelompok Dedi, dia menyalurkan sebagian dari hasil curiannya itu untuk masyarakat miskin dan yang membutuhkan. Di situlah bedanya.

Ada dua persoalan menarik dari kasus Dedi sang Robin Hood. Pertama, sistem pengamanan perbatasan kita masih terbuka. Sehingga celah untuk melakukan TNC masih sangat terbuka. Kedua, ada peran pemerintah yang tak maksimal dalam hal sosial kemasyarakatan. Pemerintah seringkali absen ketika mayarakat miskin membutuhkan bantuannya. Peran inilah yang dimainkan oleh kelompok Dedi. Seperti yang diungkapkan seorang ibu tua, warga ruli Malcehem Batam, di televisi TV One. Dia mengatakan, waktu anak saya sakit demam berdarah, yang membantu biaya pengobatan, semuanya dari pak Dedi.

Memang, mereka adalah penghuni ruli, alias rumah liar. Tapi toh mereka adalah warga Kota Batam, saudara kita. Sehingga, mereka juga berhak mendapatkan bantuan pemerintah daerah. Tapi itu tidak mereka dapat. Sehingga, Dedi mengisi kekosongan peran pemerintah itu. Maka, jadilah Dedi sebagai Robin Hood yang nilainya jauh lebih bermanfaat dibandingkan Walikota Batam. Sebab, segala kebutuhan masyarakat di ruli Malchem dipenuhi oleh Dedi, bukan Walikota Batam. Mulai uang sekolah, biaya pembangunan rumah ibadah, jalan, penerangan dan sebagainya. Pokoknya, Dedi sudah menjelma sebagai wali, “walikota kecil” bagi warga ruli Malchem. Peran dan kontribusi Dedi lebih jelas dan dirasakan warga.

Dalam strategi pergerakan, apa yang dilakukan Dedi itu adalah membangun ”save community”. Setelah dia berhasil membangun “save house” yang dikamoflase dalam bentuk kantor LSM “Peduli Nusantara”, miliknya. Maka, langkah selanjutnya adalah membangun “save community” itu tadi. Caranya, dengan menarik hati masyarakat sekitar “save house”. Dengan begitu, sudah ada dua atau tiga lapis pengamanan yang dimiliki Dedi dan kelompoknya. Terbukti, Dedi sudah melakukan aksi Robin Hood-nya itu sejak tahun 1998 lalu. Polresta Barelang mencatat, hasil operasi Dedi dan kelompoknya mencapai angka Rp 5 miliar.

So, terlepas dari banyaknya komentar miring tentang sosok Dedi, warga yang merasakan langsung “berkah” dari sepak terjang Robin Hood dari Batam itu, tetap berharap agar penegak hukum tidak mengganjarnya dengan hukuman yang berat. Apalagi, lebih berat dari koruptor. Sebab, “derajat” Dedi jauh lebih baik daripada para koruptor. Karena, koruptor lebih kejam dari para teroris. Pertanyaannya selanjutnya adalah, apakah hakim masih mau mendengar suara-suara dari rakyat jelata? *

9