Perjalanan 18 Hari dari Jakarta ke Eropa Timur Sampai Eropa Barat, Menempuh 27.433 Km Berakhir di Paris

Catatan Perjalanan Akbar dari Eropa Timur ke Barat

Akbar di depan menara Atomium di Brussels, Belgia. 9 Bola baja raksasa disusun membentuk struktur inti sebuah kristal itu, telah menjadi ikon baru. (Foto: Akbar/J5NEWSROOM.COM)

AMSTERDAM, kota yang tak pernah tidur. ‘Amsterdam never sleep, party every where every nite.’ Tapi, di balik gemerlapnya itu, bersiaplah merogoh kocek lebih dalam. Karena ternyata, tidak mudah mencari taksi dan hotel di ibukota negeri kincir angin itu. Kalau pun ada, sopir taksinya hanya mau dibayar borongan, ogah pakai argo.

Bagaimana keseruan menembus malam Amsterdam? Berikut ini lanjutan penuturan pengusaha kuliner yang juga owner Restoran Jepang Misticanza, Akbar, kepada wartawan Majalah Siber Indonesia, J5NEWSROOM.COM, Abdul Hakim, mengenai pengalamannya mengakhiri perjalanannya selama 15 hari dari Jakarta ke Eropa Timur sampai Eropa Barat, menempuh 27.433 kilometer.

Perjalanan lanjutan dari Hamburg ke Amsterdam Belanda, saya pilih naik kereta api cepat first class seharga €200. Karena jarak tempuhnya yang lumayan jauh, yaitu 472 km. Belum lagi harus pindah kereta di perbatasan. Karena untuk masuk Belanda itu harus menggunakan kereta dari negara kincir angin tersebut.

Sepanjang perjalanan kita akan disuguhi pemandangan menarik. Apalagi, saat melewati kota Bremen yang terkenal sebagai kota tembakau dan cigar itu. Sampai kota Osnabruck, saya pindah kereta ke gate yang lain, untuk melanjutkan perjalanan selama 2,5 jam berikutnya. Total waktu perjalanan adalah 5 jam plus transit selama 30 menit.

Seperti sudah ‘disetting’, jadwal kereta sampai Amsterdam tepat tengah malam. Seolah stakholder pariwisata Belanda ingin berkata, lihatlah kota Amsterdam di malam hari. Kota yang tak pernah tidur. ‘Amsterdam never sleep, party every where every nite.’

Benar, meski tengah malam, luar biasa ramainya. Sayangnya, tidak mudah mencari taksi, juga hotel. Sopir taksi di Amsterdam, apalagi tengah malam, ogah pakai argo. Mereka hanya mau dibayar borongan. Akhirnya kami deal di angka €100 untuk sekadar berkeliling kota mencari hotel di sekitar stasiun dan check in.

Para pengunjung sedang menikmati keindahan senyum perempuan ‘Monalisa’ karya Leonardo Da Vinci di musium Louvre. (Foto: Akbar/J5NEWSROOM.COM)

Perjalanan 5,5 jam naik kereta dari Hamburg ini cukup melelahkan. Sehingga, body terasa ‘low bat’ untuk sekadar menikmati keindahan gemerlap lampu kerlap kerlip di kawasan paling terkenal di Amsterdam, The Amsterdam Red Light District. Saya minta sopir taksi untuk langsung mencari hotel saja.

Syukurlah, dapat. Ternyata rumah rumah tua di sini disulap menjadi hotel. Tapi dipadu dengan interior modern. Soal tarif? Gila, bukan main tingginya. Tampaknya, di sini berlaku hukum ekonomi ‘supply and demand’. Terpaksa, demi bisa istirahat, saya pun menginap di ‘hotel rumah tua’ itu.

Baca Juga: Melintasi Batas 3 Negara Hanya dalam 3 Langkah

Meski hotel bangunan tua, tetap full book. Dan saya pun harus pindah hotel lagi. Beruntung, dapat hotel kedua. Itu pun juga dengan tingkat akupansi yang tinggi. Buktinya, saya hanya bisa check-in semalam saja. Karena untuk besok sudah full book juga. Amsterdam seolah menjadi target kunjungan para turis dari seluruh dunia, setelah pandemi reda.

Tidak salah kalau Amsterdam dijuluki kota berjuta sepeda. Karena hanya di sinilah kita bisa menemukan sepeda ‘berjibun’ di jalanan, maupun di parkiran yang bertingkat-tingkat itu. Demam sepeda ini booming sejak tahun 1970-an lalu. Dikarenakan saat itu begitu banyak mobil di jalanan. Akibatnya, hampir setiap tahun tidak kurang dari 400 anak meninggal karena kecelakaan.

Suasana Amsterdam yang begitu ramainya, membuat saya memutuskan cukuplah dua malam saja di sini. Perjalanan pun saya lanjutkan ke Belgia. Kali ini tidak naik kereta cepat first class lagi. Tapi carter mobil lengkap dengan sopirnya yang merangkap jadi guide. Menempuh jarak 209 km. Berangkat jam 10 pagi dan tiba di hotel di pusat kota Brussel jam 2 siang. Lega.

Jauh sekali suasananya dengan Amsterdam. Di sini paling nyaman, hotelnya yang tepat berada di old town, dengan interior modern dan harganya pun masuk akal. Di depan hotel banyak taksi standby. Saya bertemu dengan sopir taksi yang ramah, maka saya pun berkeliling dengannya.

1