Pas saat itu, dari depan hotel sore hari, ada sekitar 100 orang remaja menggelar aksi demo, berteriak-teriak. Mereka mencemaskan masa depan negaranya yang akan memasuki musim dingin. Sementara pasokan gas dari Rusia telah ditutup, karena masyarakat ekonomi Eropa berpihak kepada Ukraina.
Sementara itu, harga BBM juga tinggi, yaitu di atas Rp30.000/liter. Sang sopir ramah ini mengungkapkan, setelah covid berlalu, perang Ukraina Rusia memberi dampak langsung pada kehidupan mereka.
BACA JUGA: Sensasi Menikmati ‘Hucasie Hodi’ di Resto Najatarsia Slowakia
Maka, industri pariwisatalah yang kini menjadi andalan pemasukan negara. Apalagi, saat ini sangat banyak turis dari China yang tinggal cukup lama di negara-negara Eropa. Apalagi kalau bukan untuk menghindari program zero covid di negara tirai bambu yang menerapkan aturan sangat ketat.
Daripada terkungkung dan tertekan di dalam negeri, bagi mereka yang mempunyai deposito lebih, memilih tinggal lama dan berkeliling ke negara negara Eropa. Apalagi mereka itu termasuk turis yang cukup royal belanja.
Dari Brussel, tujuan perjalanan terakhir saya adalah ibukota Perancis, Paris. Naik mobil sewaan yang selama dua hari ini merangkap menjadi guide pribadi. Perjalanan 306 km ini ditempuh dalam waktu 5 jam. Berangkat jam 12 siang, tiba di hotel di pusat kota Paris jam 17.30 sore. Kami berhenti selama 30 menit di rest area 120 km sebelum masuk kota Paris.
Kalau di Brussel, mas sopir mengajak ke Waterloo, tempat peperangan terakhir dan Napoleon Bonaparte mengalami kekalahan tahun 1813 lalu meninggal tahun 1821 di St Helena.
Karena saat itu, Napoleon ingin meluaskan kekuasaannya. Dia pun menghadapi koalisi 7 negara, termasuk Inggris dan Belanda. Sehingga Waterlo kini oleh pemerintah Belgia dijadikan tempat wisata untuk mengingatkan peperangan ini untuk menyelamatkan Belgia dari penjajahan Perancis.
Di Paris, saya menyempatkan diri untuk melihat tempat jasad Napoleon dimakamkan. Seperti apa tempatnya? Ternyata, jasad panglima perang hebat itu ditempatkan dalam sebuah peti kayu, bersama beberapa anggota keluarganya. Kebetulan jaraknya hanya 1,5 km dari hotel tempat saya menginap.
Yang tidak boleh dilewatkan selama di Paris, tentu saja menara Eifel. Setelah antri satu jam dan membeli tiket naik ke puncak menara seharga Rp500.000, saya naik dengan lift ke ketinggian 330 meter. Setelah naik lift ke lantai tengah, pindah ke lift yang lebih kecil lalu naik lurus ke atas. Tujuannya, naik ke puncak tertinggi.
Menara yang tingginya seperti gedung 81 lantai ini, dibangun pada tahun 1887. Paling tidak untuk antri beli tiket, naik dan turun, perlu waktu 3 jam. Apalagi kalau mau ditambah ngopi-ngopi di selasarnya.
Satu hal lagi yang tidak boleh dilewatkan adalah mengunjungi musium Louvre. Di sini kita bisa melihat lukisan momumenal, ‘Monalisa’ karya Leonardo Da Vinci yang dilukis tahun 1503, dan ditempatkan di Louvre tahun 1797.
BACA JUGA: Bergegas ke Hamburg Demi Nonton Penampilan Indonesian National Orchestra
Sepertinya, untuk bisa sampai di mana pun tempat tujuan wisata yang menjadi ikon sebuah negara, dibutuhkan kesabaran untuk antri. Termasuk kalau mau ngopi di cafe dalam musium Louvre.
Karena ada satu restoran yang sepi, saya pilih ke sana. Penjaga depan pintu bertanya, “cuma mau minum atau makan?”. Saat saya bilang mau makan siang, kami pun disilakan masuk dan dilayani dengan sangat baik.
Di hari terakhir perjalanan ini, saya menyempatkan diri mengunjungi istana Versailes. Jaraknya, sekitar 30 menit dari kota Paris. Istana ini super mewah dengan pagar berlapis emas, dibangun oleh raja Louis 14 tahun 1634.
Saya juga mencoba makan siang di restoran yang dulunya adalah ruang makan Raja Louis. Saya makan bersama Maya, seorang diaspora Indonesia ditemani suaminya, orang Perancis, Oliver. Pasangan ini sudah sejak 20 tahun lalu tinggal di Versailles.
Ada kisah sedih terkait istana ini, yaitu ketika permaisuri Raja Louis 16, Maria Antoinette, dipenggal dengan guilotine tahun 1793. Yaitu saat Revolusi Perancis. Karena kehidupan super mewah kalangan istana saat itu, bagai langit dan dasar sumur dengan kehidupan dan kemiskinan rakyat Perancis. Benar, sejarah akan banyak berkisah kepada siapa pun yang ingin mendengarnya.*
Editor: Saibansah
2