Oleh Akmal Nasery Basral
SEBELAS tahun silam Mr. Sjafruddin Prawiranegara mendapat pengakuan sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia, yang diumumkan tepat para peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2011.
Saya ikut bahagia karena 9 bulan sebelumnya, 28 Februari 2011, saya meluncurkan novel sejarah ini dalam rangka Satu Abad Mr. Sjafruddin Prawiranegara (28 Februari 1911-28 Februari 2011) dalam rangka ikut membersihkan nama salah seorang bapak bangsa ini yang selama 50 tahun lebih dituduh sebagai pemberontak oleh Orde Lama dan Orde Baru.
Pada 10 November 2011 itu juga tulisan saya tentang Pak Sjaf muncul di harian Kompas. Kendati sudah 11 tahun berselang, semoga tulisan ini tetap bermanfaat sampai sekarang.
Jangan hanya memperingati Hari Pahlawan secara pasif, jadilah “pahlawan” secara aktif bagi negeri tercinta. Jangan korupsi, jangan menjadi bagian yang ikut menggerogoti kemuliaan Ibu Pertiwi.
Berikut ini tulisan saya yang pernah terbit di Harian Kompas, 10 November 2011 lalu.
Tragedi Pak Sjaf dan Etika Pejabat
Show me a hero,
and I will write you a tragedy.
~ F. Scott Fitzgerald (1896-1940)
Hal menggembirakan dari penganugerahan status pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), awal pekan ini, adalah diputuskannya Mr Sjafruddin Prawiranegara (1911-1989) sebagai salah seorang dari tujuh nama penerima gelar.
Pak Sjaf, panggilan akrab Sjafruddin Prawiranegara, adalah sosok kontroversial yang lima dekade lebih dikerdilkan namanya dengan menyematkan kesan pemberontak. Labelisasi yang dilakukan Orde Lama dan Orde Baru itu tersebab dua hal: perannya sebagai Perdana Menteri (PM) Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang menantang langsung Soekarno pada 1958-1961 dan sebagai salah satu penanda tangan Petisi 50 yang mengecam Soeharto pada 1980.
Dua peristiwa itu menjadi stigma yang terus dilestarikan. Akibatnya, hampir tak terlacak bahwa Pak Sjaf pernah menempati banyak posisi kunci pemerintahan. Sebutlah Menteri Keuangan, Menteri Kemakmuran, Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), Presiden De Javasche Bank (sebelum dinasionalisasi jadi Bank Indonesia dan Pak Sjaf sebagai gubernur pertama), atau Wakil Perdana Menteri. Lebih tak terlacak lagi, di setiap jabatan itu Pak Sjaf menunjukkan standar etika yang menjadi antitesis sempurna dari adagium pesimistik Lord Acton: kekuasaan cenderung korup!
Tiga Suri Teladan
Ada sedikitnya tiga contoh tindakan Pak Sjaf yang patut diteladani para pejabat negeri ini.
Pertama, saat lelaki kelahiran Anyar Kidul, Banten, itu ditunjuk sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Sjahrir ke-3. Ketika itu, dalam usia 35 tahun, ia dianugerahi Tuhan anak ketiga: Chalid Prawiranegara.
Pasti sulit dipahami dari kacamata sekarang jika Menteri Keuangan tak punya uang. Namun, itulah yang terjadi pada keluarga Prawiranegara. Begitu buruknya kondisi finansial Sang Menteri sehingga tak mampu membeli kain gurita bagi bayi Chalid.
Untungnya, Lily—nama panggilan Tengku Halimah, istri Pak Sjaf—tak kehilangan akal. Seperti dikutip Ajip Rosidi dalam biografi tentang Pak Sjaf, Lebih Takut kepada Allah SWT (1985), Lily menyobek kain kasur, lalu ia jadikan gurita bayi. Padahal, seberapa mahalkah secarik kain jika seorang Menteri Keuangan ingin menggunakan pengaruhnya? Pak Sjaf tak tergoda menggunakan sepeser pun uang negara.
Peristiwa kedua terjadi ketika Agresi Militer II Belanda, 19 Desember 1948. Pak Sjaf yang saat itu Menteri Kemakmuran sudah sebulan bertugas di Bukittinggi atas perintah Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Patut diingat, waktu itu yang disebut daerah republik hanya tiga tempat: Yogyakarta, Bukittinggi, dan Kutaraja (kini Banda Aceh). Daerah lain sudah bergabung ke dalam BFO ( Bijeenkomst voor Federaal Overleg/Musyawarah Negara Federal) bentukan Van Mook. Awalnya Hatta menjamin kepada Lily bahwa Pak Sjaf hanya akan bertugas sekitar satu pekan.
Saat Agresi II bermuara pada penangkapan dan pengasingan Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, serta banyak pemimpin republik ke Bangka, rapat kabinet dadakan yang sempat dipimpin Bung Karno menghasilkan dua radiogram. Pertama, penyerahan mandat untuk menjalankan Republik Darurat di Sumatera kepada Mr Sjafruddin Prawiranegara.
Kedua, penyerahan mandat kepada Dr Sudarsono (Duta Besar Indonesia di India) dan Mr AA Maramis (Menteri Keuangan yang sedang di New Delhi) untuk membentuk Exile Government sekiranya upaya Pak Sjaf membentuk pemerintah darurat tidak berhasil.
Namun, kedua radiogram itu tak sempat dikirimkan kepada penerima mandat karena Kantor Pos, Telegraf dan Telepon (PTT) telanjur diduduki Belanda. Kisah selanjutnya tentang PDRI sudah ditulis banyak sejarawan.
Namun, yang tak banyak diketahui publik adalah pengakuan Aisyah Prawiranegara, putri sulung Pak Sjaf. Untuk mengatasi saat-saat sulit tanpa kepala keluarga pemberi nafkah selama itu, Lily sebagai istri menteri memilih berjualan sukun goreng untuk menghidupi keluarganya ketimbang terima bantuan, misalnya ”titipan keju” dari Merle Cochran (diplomat AS, Ketua Komisi Tiga Negara) yang disampaikan para ibu menteri non-PDRI.
Peristiwa ketiga terjadi setelah Perjanjian Roem-Roijen (Mei 1949) yang membuat kubu republik terpecah dua kelompok: kubu Tracee Bangka, sebutan bagi tahanan politik di Bangka yang bersedia berunding dengan Belanda melalui Mohammad Roem, dan kubu PDRI dengan dukungan Panglima Besar APRI Letnan Jenderal Sudirman yang menolak Perjanjian Roem-Roijen.
1