Sudirman bahkan mengirimkan surat sangat keras: ”…Minta keterangan apakah orang-orang yang masih ditahan atau dalam pengawasan Belanda berhak berunding? Lebih-lebih menentukan sesuatu yang berhubungan dengan politik untuk menentukan status negara, sedangkan telah ada Pemerintah Pusat Darurat yang diresmikan sendiri oleh Paduka Yang Mulia Presiden Soekarno ke seluruh dunia pada tanggal 19/12/1948.”
Awal Juli 1949, M Natsir yang dikirim Bung Hatta untuk melunakkan hati kubu PDRI mengatakan, ia sependapat dengan PDRI. Namun, ia berharap Pak Sjaf bersedia mengembalikan mandat PDRI kepada Soekarno-Hatta. Tawaran Natsir ditolak semua anggota PDRI.
Akhirnya Pak Sjaf sendiri yang melunakkan hati kawan-kawannya dengan menyatakan, jika PDRI dan APRI tetap mempertahankan pendirian secara kaku berdasarkan mandat belaka, maka terjadi dualisme kepemimpinan nasional yang membingungkan rakyat dan mengancam persatuan.
Oleh karena itu, meski PDRI tetap menolak Perjanjian Roem-Roijen, ia bersedia mengembalikan mandat kepada Soekarno-Hatta ”untuk menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia serta demi persatuan nasional atas dasar rida Allah”. Argumentasi itu membuat Natsir menangis dan anggota kubu PDRI cair hatinya.
Moralitas Bernegara
Dengan moralitas bernegara setinggi itu, gelar pahlawan nasional bukan hanya layak diberikan kepada Pak Sjaf, melainkan baru langkah awal untuk pengakuan lebih resmi sebagai salah seorang presiden negeri ini. Sebab, Bung Hatta sendiri dalam otobiografinya, Memoir (1971, cetak ulang 2011 dengan judul Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi), memberikan judul pada salah satu anak bab dengan, ”Sudirman Terus Bergerilya, Sjafruddin Presiden Darurat” (hal 197).
Akankah para penentu kebijakan belum juga tersentuh nuraninya dengan kesaksian Bung Hatta yang tak diragukan lagi sebagai salah seorang pelaku sejarah paling absah di negeri ini?
Dalam konteks ini, sepanjang wacana tentang peran Pak Sjaf hanya berputar-putar pada dimensi hukum formal apakah sebutan Ketua PDRI itu sebuah jabatan politik pada tingkat perdana menteri atau presiden seperti berlangsung selama ini, pada hakikatnya belenggu tragedi masih terus dipasangkan pada leher Pak Sjaf, seperti sinyalemen penulis besar F Scott Fitzgeral pada awal tulisan.*
Penulis novel sejarah Presiden Prawiranegara
2