Oleh Dahlan Iskan
PEMILU terakhir, Pemilu ke-15, Sabtu lalu, bikin perbedaan di Malaysia kian nyata. Golongan besarnya kian terlihat: Islam (PAS), nasionalis pribumi lama (UMNO), nasionalis pribumi tengah kanan (PPB), nasionalis pribumi tengah (PKR), dan Tionghoa baru (DAP).
Peran sejarah Dr Mahathir Muhammad sudah habis. Bahkan Dr M sudah tidak bisa terpilih sebagai anggota DPR di dapil seumur hidupnya: Langkawi. Ia bukan siapa-siapa lagi, kecuali panutan penting bagi orang yang mulai tua: umur 97 tahun masih menjadi calon anggota legislatif.
Tokoh utama pribumi di sana kini tinggal dua: Anwar Ibrahim yang sudah operasi belikat dan Muhyiddin Yasin yang sudah operasi jantung.
Dua-duanya kader utama Dr M. Dua-duanya pernah jadi deputi perdana menteri. Dua-duanya, dalam perjalanan tuanya, memusuhi dan dimusuhi Dr M.
Dua-duanya kini saling bermusuhan.
Dulu, ketika nasionalis pribumi masih bersatu di UMNO, partai pribumi itu berhasil berkuasa. Sampai 60 tahun. Sangat berkuasa. Terutama di bawah Dr Mahathir Muhammad. Pakai tangan besi. Korupsinya pun merajalela, meski harus diakui kemajuan Malaysia juga luar biasa.
Parahnya tingkat korupsi itu mencapai tipping point di zaman Perdana Menteri Najib Razak. UMNO pun runtuh. Najib masuk penjara. Bersama istrinya.
Pribumi yang selama itu hanya pecah menjadi dua, nasionalis dan Islam, lantas pecah jadi tiga: Islam, Pribumi nasionalis lama (UMNO) dan pribadi aliran tengah (PKR).
Golongan Tionghoa idealis, yang selama ‘Orde Baru’ lemah, bangkit jadi kekuatan solid Tionghoa: partai DAP. Partai Tionghoa yang dulu ikut ”Orde Baru” habis sama sekali: MCA.
Lima kekuatan besar di Malaysia itu pun masuk ke gelanggang Pemilu demokratis pertama dalam sejarah kemerdekaan Malaysia: Pemilu ke-14, tahun 2018.
Pribumi nasionalis lama masih mendapat suara terbanyak: 54 kursi. Sampai ada yang bilang Golkar-nya Malaysia belum bisa diruntuhkan.
Pribumi nasionalis tengah melejit, mendapat 47 kursi.
Golongan Tionghoa baru menyikat habis kursi Tionghoa, 42 kursi.
Aliran Islam memperoleh 18 kursi.
Tidak satu pun partai yang memperoleh 51persen. Tidak ada partai yang bisa membentuk pemerintahan. Mereka harus berkoalisi.
Semangat anti-UMNO membuat Pribumi tengah berkoalisi dengan Tionghoa baru. Sama-sama berjuang meruntuhkan UMNO. Ditambah kursi dari partai Warisan di Sabah.
Koalisi ini berhasil membentuk pemerintahan Pakatan Harapan dengan Dr Mahathir Muhammad sebagai perdana menteri ‘sesepuh’.
Dr Anwar Ibrahim sebagai ‘komandan’ pribumi tengah, harus sabar. Setelah Mahathir memerintah selama 2 tahun barulah Anwar Ibrahim bisa naik. Anwar baru saja keluar dari penjara dan baru saja mendapatkan pengampunan dari raja.
Sang ‘sesepuh’ kurang sakti mempersatukan Anwar dan Muhyidin. Koalisi Pakatan Harapan pecah. Muhyidin Yasin keluar. Membentuk partai sendiri, berorientasi pada pribumi tapi tidak mau Islam juga tidak mau Tionghoa. Ia tengah-kanan. Bahkan Muhyidin lantas membentuk koalisi Perikatan Nasional bersama UMNO. Muhyidin jadi perdana menteri.
Belum satu tahun memerintah, UMNO merebut kekuasaan di koalisi itu. UMNO kembali memerintah dengan Perdana menteri Ismail Jacob.
Pemerintahan Ismail Yakob pun runtuh. Diadakanlah Pemilu yang dipercepat. Sabtu lalu kemarin.
Hasilnya: partai Islam melejit, mendapat 49 kursi. Kekecewaan pribumi pada UMNO yang korup, pada Anwar Ibrahim yang terlalu dekat ke Tionghoa, pada Mahathir yang haus kekuasaan dan pada Muhyidin Yasin yang pernah berkoalisi dengan UMNO membuat sebagian orang Islam menengok kembali ke partai Islam, PAS.
Pribumi yang tidak suka simbol Islam dibawa ke politik tapi juga tidak suka UMNO dan Anwar Ibrahim, tidak ada pilihan lain: ke Muhyudin Yasin.
UMNO sendiri merosot habis. Dari 54 kursi tinggal 26 kursi.
Partainya Anwar Ibrahim, PKR, mendapat 31 kursi dari sebelumnya 47 kursi. Jelas pemisahan Muhyidin Yasin dari Anwar Ibrahim mengurangi kursi PKR.
Partai Tionghoa tetap solid dapat 42 kursi, meski turun satu kursi.
Maka dari hasil Pemilu Sabtu lalu Malaysia terbelah menjadi 5 golongan besar: Pribumi Islam (49 kursi), Pribumi Tengah (31 kursi), Pribumi Tengah Kanan (24), Pribumi lama (26 kursi), Tionghoa baru (40 kursi).
Tokoh politik pribuminya tinggal dua: Anwar Ibrahim dan Muhyiddin Yasin. Dua orang ini tidak bisa bersatu. Tengah dan tengah kanan ternyata seperti kiri luar dan kanan luar. Mahathir sudah tidak bisa lagi jadi ”sesepuh” di antara dua tokoh muda yang kini juga sudah sepuh itu.
Perolehan suara Anwar Ibrahim sebenarnya lebih besar dari Muhyidin Yasin. Tapi Muhyidin yang justru lebih dulu mengatakan: saya yang akan jadi perdana menteri baru. Ia akan berkoalisi dengan partai Serawak yang kali ini menang mutlak di Kalimantan Utara itu. “Pokoknya saya tidak mau berkoalisi dengan Anwar Ibrahim,” tegasnya. Tapi ia juga tidak mau lagi berkoalisi dengan UMNO.
Anwar dalam posisi sulit. Koalisi Pakatan Harapan mendapat kursi lebih banyak tapi idealisme keterbukaannya membuat tidak mudah membangun koalisi. Padahal PKR bersama DAP hanya mengumpulkan 82 kursi. Masih kurang banyak untuk bisa mencapai 112 kursi –51 persen kursi di parlemen.
Kini terserah Anwar: apakah ia, sebagai pemenang Pemilu, ingin benar jadi perdana menteri. Kalau masih ingin satu-satunya jalan tinggal ini: berkompromi dengan musuh utamanya, UMNO.
Mungkin Anwar terpaksa mau. Tapi apakah teman koalisinya, partai Tionghoa DAP, mau. Tingkat kebencian Anwar pada UMNO mungkin memang sampai level 80 (1-100). Tapi tingkat kebencian DAP pada UMNO bisa 99.
Teman-teman Tionghoa saya di Malaysia juga terpecah dua: tidak mau berkoalisi dengan UMNO. Pilih jadi oposisi. Menang Pemilu tapi oposisi. Satu pihak lagi bersikap kompromistis: apa boleh buat, harus merangkul UMNO. Siapa tahu bisa memperbaiki sifat koruptif UMNO sambil jalan.
Muhyidin Yasin semula sangat optimistis: Senin pagi kemarin, hanya sehari setelah Pemilu, sudah berhasil menghadap raja untuk minta dilantik sebagai perdana menteri baru.
Raja sendiri memberi batas waktu pada partai-partai sampai Senin kemarin, pukul 14.00: sebelum jam itu pemerintahan baru sudah harus terbentuk.
Sampai deadline tersebut tinggal 2 jam, ternyata belum ada satu pun partai yang berani menghadap raja. Muhyiddin rupanya belum juga berhasil membentuk koalisi. Apalagi Anwar Ibrahim.
Maka raja, Yang Dipertuan Agung Malaysia, mengundurkan batas waktu itu: Selasa hari ini, pukul 14.00. Anwar atau Muhyidin.
Politik masih begitu kakunya di Malaysia. Maklum pengalaman saling dikhianati belum terlalu lama. Lama-lama, kelak, dikhianati itu ternyata biasa. Kita sudah mulai biasa dengan itu setelah 20 tahun menjalaninya.
Malaysia baru 4 tahun. Masih perlu 16 tahun lagi belajar khianat-mengkhianati.
Ini pelajaran bagi kita yang juga akan Pemilu dua tahun lagi: janganlah membenci berlebihan pada satu pihak yang tidak disukai. Pun ketika alasannya ras, aliran, suku, atau pun kitab suci.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia