Oleh Dhorifi Zumar
DENGAN tampilnya Anwar Ibrahim sebagai PM Malaysia yang baru, tentu saja membawa angin segar bagi Indonesia. Disamping beliau merupakan “konco dewe”, pandangan-pandangan beliau juga tidak pernah mencerminkan sikap antagonis atau antipati terhadap Indonesia. Justru beliau selalu menghormati dan berempati dengan apa yang terjadi dengan Indonesia.
Sebagai contoh, ketika dulu terjadi ribut-ribut tentang TKI di Malaysia, dimana banyak TKI yang diusir paksa atau mendapat perlakukan tidak adil oleh pemerintah dan para majikan disana, Anwar Ibrahim tampil membela Indonesia, seraya mengingatkan pemerintah Malaysia bahwa dulu di tahun 1970-an Malaysia pernah meminta bantuan pemerintah Indonesia untuk mengirimkan tenaga guru dan dosen buat mengajari rakyat Malaysia. Dan berkat tangan dingin guru dan dosen dari Indonesia, kini rakyat Malaysia menjadi melek pengetahuan dan bahkan “lebih pandai” daripada gurunya.
Maka wajar dan lumrah kalau kemunculan Anwar sebagai orang nomor satu dalam pemerintah Malaysia saat ini membuncahkan berjuta harapan bagi kesinambungan hubungan bilateral kedua negara.
Meski hubungan keduanya terkadang diwarnai riak-riak dan ketegangan, akibat isu-isu yang tidak begitu fundamental seperti masalah olahraga, kebudayaan, saling ejek di medsos dan lain sebagainya.
Tapi yang jelas bahwa kedua negara serumpun ini masih saling membutuhkan dan terlalu sayang hanya gara-gara kasus-kasus yang tidak fundamental hubungan keduanya menjadi renggang dan tegang.
Setidaknya ada beberapa isu kerjasama bilateral yang perlu terus ditingkatkan pasca naiknya Anwar Ibrahim, yaitu mengenai hubungan dagang dan bisnis, investasi, budaya, dan tenaga kerja. Menurut data perdagangan PBB (UN Comtrade), hubungan perdagangan Indonesia dan Malaysia menguat pada tahun 2021.
Nilai pedagangan barang antara Indonesia dan Malaysia tumbuh 42,74% (year on year/yoy) menjadi US$ 21,45 miliar pada 2021. Ini merupakan nilai perdagangan tertinggi dalam 7 tahun terakhir.
Indonesia mencatat pertumbuhan tahunan ekspor barang ke Malaysia 48,25% (yoy) dan impor barang tumbuh 36,31% pada 2021. Secara keseluruhan, Indonesia membukukan surplus neraca perdagangan barang sebesar US$ 35,34 miliar pada tahun 2021. Surplus ini didorong sebagian besar oleh pemberian harga barang. Pertumbuhan tersebut menandai pemulihan dari pendemi Covid-19.
Sementara itu mengenai hubungan bisnis kelapa sawit (CPO/crude palm oil), Indonesia ternyata masih kalah dari Malaysia. Meski Indonesia saat ini menjadi produsen CPO terbesar di dunia, yaitu sebesar ± 45,3 juta ton, tapi nilai ekspor CPO Indonesia masih kalah dari Malaysia yang produksi CPO-nya hanya 18,2 juta ton.
Berdasarkan data Trade Map, nilai ekspor CPO Malaysia sudah mengungguli Indonesia sejak kuartal II 2021. Pada kuartal II 2021 nilai ekspor CPO Malaysia tercatat sebesar US$ 1,4 miliar, sementara Indonesia hanya US$ 573,91 juta. Kemudian pada kuartal IV 2021 jaraknya semakin lebar.
Nilai ekspor CPO Malaysia tercatat sebesar US$ 1,8 miliar sementara Indonesia hanya US$ 322,24 juta. Sebagai negara produsen CPO dibawah Indonesia, harga CPO dunia justru ditentukan oleh Malaysia. Hal ini nanti juga mungkin bisa dicarikan titik temunya.
Sedangkan nilai investasi Malaysia ke Indonesia, menurut data BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) sepanjang Januari-September 2022 mencapai US$ 2,2 miliar atau setara Rp 34,28 triliun (kurs dollar Rp 15.585). Malaysia menduduki posisi kelima negara yang menanamkan investasi (PMA)-nya di Indonesia, dibawah Singapura (US$ 10,5 miliar), China (US$ 5,2 miliar), Hong Kong (US$ 3,9 miliar), dan Jepang (US$ 2,8 miliar). Dibawah Anwar, nilai investasi Malaysia ke Indonesia diharapkan bisa lebih besar lagi.
Adapun mengenai isu ketenagakerjaan, sejak pandemi Malaysia kekurangan tenaga kerja asing sekitar 400.000 orang di sektor perkebunan kelapa sawit, belum lagi sektor lain seperti properti, ritel dan sebagainya. Asosiasi Minyak Sawit Malaysia (MPOA) baru mendapatkan 12% dari jumlah yang dibutuhkan, sehingga produksi minyak kelapa sawit (CPO) disana pun tersendat.
Sebelumnya, pemerintah Indonesia melalui Direktur Bina Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) Kementerian Ketenagakerjaan pada Juli 2022 lalu mengancam penghentian sementara (moratorium) pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Malaysia atas dasar sistem penempatan.
Hal ini karena Malaysia masih memiliki sejumlah saluran perekrutan. Padahal, kedua negara sebelumnya sepakat menggunakan sistem satu kanal atau One Channel System untuk penempatan tenaga kerja.
Seperti diketahui, jumlah TKI di Malaysia sangat besar, yakni lebih dari 1 juta orang. Menurut data yang dirilis Bank Indonesia, jumlah TKI di Malaysia mencapai 1,730 juta orang di tahun 2021. Jumlah ini menurun bila dibandingkan dengan tahun 2020 yang menyentuh angka 1,731 juta orang.
Kita harapkan mudah-mudahkan masalah ketenagakerjaan ini, yang menjadi biang pasang-surutnya hubungan kedua negara, bisa segera terpecahkan dan kedua belah pihak (Malaysia dan Indonesia) bisa menemukan win-win solution. Karena pada dasarnya, pemerintah Malaysia secara terbuka mengungkapkan bahwa mereka sangat membutuhkan tenaga kerja dari Indonesia, dan juga Bangladesh.
Dengan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi di ASEAN yang diraih Malaysia saat ini, yakni sebesar 14,2% pada kuartal III 2022 dan Indonesia hanya 5,2%, tentu banyak hal yang bisa dikerjasamakan oleh pemerintah Indonesia dengan Malaysia.
Agar keduanya sama-sama tumbuh tinggi, baik di level regional maupun global. Semoga naiknya Anwar Ibrahim bisa membawa angin segar bagi Indonesia, dan hubungan keduanya ke depan makin dinamis dan progresif!
Penulis adalah Ketua Ranting Muhammadiyah Kalibaru Kota Depok dan Pengurus Nazhir Wakaf Uang Pimpinan Pusat Muhammadiyah.