Oleh Dahlan Iskan
NAMANYA John Christopher. Bapaknya suku Dayak, ibunya suku Tionghoa. Ia ikut kejuaraan dunia membuat minuman kopi di Melbourne, Australia. Ia juara kelima. World Brewers Cup. Juaranya dari Taiwan: Shih Yuan Shu (wanita).
John buka kafe di Bandung. Namanya: Fugol Coffee Roasters, Jalan Emong, Burangrang, Bandung.
Awalnya John ingin jualan taco, burito, dan sebangsa masakan Meksiko lainnya. Ia sudah mulai cari-cari tempat. Di perjalanan mencari lokasi itu John tersadar: food street lagi kehilangan angin. Contohnya kebab Babarafi yang mewabah itu. Belakangan lagi surut. Maka John banting stir: mau bikin kafe saja.
“Kafe kan lagi hype,” ujar John. Ia pun mulai belajar membuat kopi. Itu tahun 2015. Ketika kuliahnya di Universitas Parahyangan hampir selesai. Ia ambil jurusan teknik industri.
Ayah John seorang polisi. Ia tidak ingin jadi polisi. Ia ingin berbisnis. Sejak SD, John sudah sering membantu ibunya di Pasar Flamboyan, Pontianak. Sang ibu membuka warung kopi di pasar itu.
Saya tahu benar Pasar Flamboyan itu. Saya lama berkantor di depan pasar itu. Di situlah kantor harian Pontianak Post, sebelum pindah ke gedung barunya di Jalan Gadjah Mada. Di Pontianak budaya ngopi di warung sangat dalam. Ngobrol apa saja di situ. Terutama soal politik yang mereka ketahui dari koran.
Pulang sekolah, John ke warung. Membantu sang ibu. Ketika masuk SMA Immanuel, ada industri rumahan penggorengan kopi di dekat sekolah itu. Ia selalu menghirup aroma kopi yang disangrai. “Saya sudah terbiasa dengan aroma kopi,” ujar John.
Sisi baik dari banyaknya kafe sekarang ini: bisa memunculkan banyaknya kegiatan pelatihan di bidang kopi.
Ada pelatihan roaster. Pelatihan barista. Pelatihan brewer.
Pun pelatihan itu sampai ke sisi hulu. Terutama bagaimana memproses buah kopi setelah dipetik dari pohonnya.
Ternyata begitu banyak pilihan cara memprosesnya. Tidak lagi sekadar dipetik, dijemur, dan dikupas.
Selama ini banyak anggapan bahwa kopi terbaik tergantung dari daerah asalnya. Itu benar juga. Tapi yang lebih menentukan adalah bagaimana memproses biji kopi setelah dipetik.
Nilai tambah terbesar dari harga kopi adalah justru di proses itu. Pelatihan di bidang ini lebih sulit. Siapa petani kopi yang mau memperhatikan sampai detail-detail begitu.
Tapi persaingan di bidang kopi mau tidak mau akan ke sana. Mungkin perlu menunggu para petani muda yang punya pikiran lebih terbuka. Begitu proses pengeringan kopi dilaksanakan secara lebih baik harga harga kopi pun bisa lebih baik.
Beda proses beda rasa. Ada yang dijemur biasa seperti yang kita kenal selama ini. Tapi ada yang lewat fermentasi. Proses fermentasi pun tidak hanya satu cara.
Setelah difermentasi lantas dikeringkan. Cara mengeringkan pun banyak pilihan. Umumnya dijemur biasa. Di atas lapak. Tapi rasa kopi jadi berbeda kalau menjemurnya pakai green house. Kopi ditaruh di rak-rak. Itu pun harus dipindah-pindah: kapan yang di rak bawah dipindah ke rak atas.
Berkat pelatihan-pelatihan itu kian lama kian hilang pertanyaan awam seperti ini: provinsi mana penghasil kopi terbaik.
Kopi terbaik ternyata tidak dihasilkan di provinsi mana. Atau di kabupaten apa. Kopi terbaik ternyata hanya bisa dihasilkan di kebun mana. Bahkan di petak yang mana. Beda kebun beda kualitas. Bahkan beda petak beda pula. Dari situlah muncul istilah di dunia kopi: single origin.
Memang single origin itu berarti kopi yang dimaksud hanya dari satu petak kebun. Karena petak itu ada di satu kabupaten maka nama daerah itu yang terangkat. Lantas muncul anggapan semua kopi dari kabupaten tersebut terbaik.
Ke depan nama petak asal usul kopi lebih diperlukan dari nama kabupaten. Itu bukan hanya terkait dengan jenis tanah di petak tersebut. Juga bagaimana pemilik petak memperlakukan kebunnya. Mulai dari mengolah tanahnya, cara menanamnya, jenis bibitnya, pemupukannya sampai perlakuan panennya.
Pemilik petak itu pastilah bukan petani biasa. Ia pasti petani yang mau mengejar nilai tambah. Ia juga pasti seorang pencinta kopi yang sebenarnya.
Kopi Aceh menjadi terkenal karena ada single origin yang dari Aceh. Yakni petak Pautan, dari kebun Musara.
Sahabat Disway di Aceh mungkin bisa menginformasikan di mana gerangan kebun Musara itu. Saya ingin ke sana.
Di Jabar, single origin yang terbaik adalah dari petak Ibu Nita, Cianjur. Mudah-mudahan tidak di daerah yang longsor terkena gempa. “Saya punya pemasok kopi dari Cianjur. Saya sudah telepon beliau. Baik-baik saja,” ujar Stevanus Ade, si dukun kopi dari Surabaya.
Stevanus sekolah ilmu komputer di Australia. Lalu sekolah lagi ke Amerika. Di sana ia jadi suka minum kopi. Ayahnya pengusaha teh. Punya pabrik pengolahan teh. Anaknya pilih bikin kafe kopi.
Ia menyebut: di kawasan Toraja ada petak Bulu-Bulu. Di Sumsel ada petak Semendo. Petak-petak single origin seperti itu bisa terus bertambah. Sesuai dengan kemampuan petani kopi kita mengikuti kemajuan dunia kopi.
Kesimpulan saya: menjamurnya kafe ternyata tidak berhenti hanya sebagai mode. Menjamurnya cafe ternyata mampu menyeret gelombang kemajuan di seluruh lini kopi Indonesia.
Berarti era kafe ini tidak hanya mode musiman.
Kejuaraan di berbagai bidang kopi pun mulai rutin diadakan. Tingkat regional. Lalu tingkat nasional. Juaranya dikirim ke tingkat internasional. Seperti John Christopher itu.
Pontianak yang punya anak, Bandung yang punya nama. Itulah Indonesia.
Yang juga seru adalah kejuaraan cup tester. Yakni untuk menentukan siapa yang punya lidah emas: bisa tahu mana kopi paling enak di antara 12 ramuan kopi di cangkir yang berbeda-beda. Ia juga harus benar dalam menyebutkan kopi jenis apa saja yang diramu di masing-masing cangkir. Dan yang lebih penting: berapa lama ia/dia bisa memutuskan jawabannya.
Lalu ada kejuaraan barista.
Untuk regional Indonesia Timur tahun ini, juaranya Ferdy Hidayat. Asal Banjarmasin. Ia masih kuliah di Stikes Husada Banjarmasin. Ia ambil jurusan rekam medik dan informasi. Ia siap menantang juara dari wilayah barat, mungkin baru dilaksanakan Januari depan. Ferdy, anak PNS, ingin jadi juara nasional. Ia ingin mengikuti jejak John meski beda kategori: John juara brewer.
Di balik mode cafe ternyata ada gelombang besar yang lagi menggeliat.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia