Oleh Dahlan Iskan
SAYA mampir ke Gunung Kawi Minggu sore lalu. Saya ingin tahu masihkah gunung itu identik dengan Tionghoa.
Setidaknya begitu kesan saya sejak lama. Begitu populer gunung di perbatasan Malang-Blitar ini. Terutama bagi orang punya keinginan tertentu.
Misalnya agar bisa kaya. Kelenteng Kwan Im itu dianggap tempat berdoa yang mabrura.
Mungkin sudah 20 tahun saya tidak ke Gunung Kawi. Sampai-sampai saya tidak tahu kalau sudah ada jalan tembus dari utara Kepanjen langsung ke Kawi.
Saya masih menuruti ingatan lama: Malang-Kepanjen-Sumberpucung-Karangkates-Wlingi, baru naik ke utara. Praktis memutar dulu setengah lingkar Kawi.
Ternyata sudah berubah banyak.
“Perubahan terbesar akibat pandemi,” ujar Yana, pewaris juru kunci Gunung Kawi saat ini. “Saya sampai jual tanah dan kuras tabungan,” tambahnya.
Kini tidak ada lagi pemandangan kotor, semrawut, dan kumuh yang dulu mendominasi Kawi.
Jalan dari tempat parkir menuju kelenteng memang masih harus lewat gang itu, tapi tidak ada lagi yang kaki lima di sepanjang lorong itu. Juga sudah terlihat tertata dan bersih.
Selama Kawi tutup akibat Covid-19, Yana melakukan pembenahan. Ia bangun toko-toko permanen di sepanjang jalan dekat gapura itu. Juga di gang itu. Semua pedagang kaki lima dimasukkan ke toko-toko baru itu.
Itulah yang membuat Yana menguras tabungannya. Juga menjual 3,5 hektare tanahnya di luar kompleks kelenteng ini. Toko-toko itu boleh ditempati pedagang kaki lima secara gratis.
“Mereka kan penduduk asli di sini. Tidak mungkin kuat bayar sewa,” ujar Yana.
Hanya saja kemampuannya membangun toko permanen itu hanya sepertiga dari jumlah pedagang. Maka dilakukan musyawarah dengan seluruh pedagang kaki lima.
“Akhirnya kami sepakati satu toko dipakai tiga orang,” ujar Yana.
Cara pakainya diserahkan ke masing-masing kelompok tiga orang itu. Ada yang gantian hari. Ada juga yang memanjang dagangan secara bersama.
Kalau tidak ada pandemi, kesepakatan seperti itu mustahil dicapai. “Hari itu tidak ada pilihan lain bagi kami. Sepakat atau mati,” ujar seorang pedagang di situ.
Hari itu saya menemui seorang suhu dari Jakarta yang sudah lebih dulu tiba di Kawi. Ia menunggu di lobi Hotel Gunung Kawi.
Hotel ini sekelas bintang tiga. Yang membangun konglomerat Liem Sioe Liong almarhum. Bukan sebagai investasi. Ia tidak memiliki hotel itu. Ia hanya ingin agar di Kawi ada fasilitas seperti itu.
Pemilik hotel tetap penduduk setempat. Pemilik lahan di situ. Ia orang Tionghoa. Sudah turun-temurun lahir di situ. Kawi memang gabungan unik Islam, Tionghoa, dan Kejawen. Di depan hotel ini ada tempat semedi yang besar.
Suhu itu ternyata membawa rombongan. Termasuk orang dari Malaysia. Dari hotel kami pun menapaki jalan menanjak menuju gerbang Kawi. Saya berhenti sebentar untuk bertanya soal padepokan tempat semedi itu.
Dari gerbang itu kami terus menanjak. Melewati toko-toko baru yang dibangun Yana. Lalu di kanan jalan terlihat masjid Agung tadi. Di kiri jalan ada gedung hijau: tempat pergelaran wayang.
Di Kawi lah pertunjukan wayang terbanyak se Indonesia. Saking banyaknya, satu malam bisa ada dua pertunjukan.
Di gedung itu sudah tersedia gamelan, pakeliran berikut penabuhnnya. Dalangnya bisa dibawa dari luar tapi lebih banyak menggunakan dalang domestik.
Setelah masjid Agung itulah, juga di kanan jalan, kelenteng Dewi Kwan Im berada.
Baik masjid maupun kelenteng yang membiayai pembangunannya sama: Liem Sioe Liong.
Di seberang kelenteng itu, kata di kiri jalan ada bangunan sanggar pemujaan. Kelihatannya untuk aliran Kejawen.
Tentu saya juga masuk ke kelenteng Kwan Im. Meletakkan bunga di depan sang Dewi. Saya ikut saja apa yang dilakukan Suhu.
Lalu pindah ke ruang ciamsi di sebelah Kwan Im. Untuk kali pertama saya melakukan ciamsi: melempar dua keping benda ke atas.
Setelah keduanya jatuh ke lantai baru diketahui apakah saya boleh melakukan aktivitas berikutnya: mengocok ciamsi. Sampai salah satu benda mirip chop steak itu ada yang jatuh ke lantai. Ada nomor di benda itu: nomor saya 29.
Saya harus bertanya apakah saya boleh menggunakan nomor itu. Caranya bertanya: saya harus menjatuhkan benda dua keping tadi. Kalau dua-duanya tengkurap di lantai berarti saya tidak boleh menggunakan nomor 29 itu.
Saya harus mengocok ciamsi lagi. Kali ini yang jatuh nomor 22. Masih belum diizinkan. Saya kocok lagi: yang keluar nomor 19. Saya minta izin lagi. Benda dua keping yang saya lembar itu menghadap ke langit: berarti saya diizinkan menggunakan nomor 19 itu.
Maka petugas jaga memberi saya selembar kertas bernomor 19. Di situ ada uraiannya: apa arti nomor 19 bagi saya. Anda sudah tahu: saya tidak percaya isi tulisan itu. Tapi aneh, isinya persis seperti prinsip hidup saya.
Dari kelenteng kami menanjak lagi. Memasuki gerbang makam. Lalu menanjak lagi sampai bangun cungkup makam yang besarnya sekitar 8 x 8 meter. Makam lagi tutup.
Makam ini memang tutup antara pukul 12.00 sampai 14.00. Lalu tutup lagi antara pukul 16.00 sampai 19.00. Malam hari ditutup antara pukul 22.00 sampai pukul 08.00. Itu adalah waktu-waktu umat Islam menjalankan salah duhur dan magrib.
Saya menuju samping makam itu. Ada masjid yang cukup untuk 200 orang. Terlihat banyak orang di dalam masjid: lagi tahlilan.
Saya ikut tahlil bersama mereka. Mereka rombongan 60 orang. Satu bus besar. Semua warga NU. Mereka lagi tur ziarah: Makam Bung Karno, Makam Gunung Kawi, dan masjid 1000 pintu di Turen.
Tentu saya ingin ketemu pewaris juru kunci makam itu. Rumahnya di kiri jalan sebelum gerbang makam. Yakni rumah beton seperti rumah orang berada di kota.
Di ruang tamunya saya lihat ada simbol kerajaan Ngayogyokarto Hadiningrat. Lalu ada foto-foto tua.
“Benarkah itu simbol Keraton Yogyakarta?” tanya saya sambil menunjuk ke arah logo tersebut.
“Benar,” jawab Yana. “Kami berasal dari Yogyakarta,” ujarnya.
“Itu foto siapa?” tanya saya sambil menuju foto orang tua di dinding.
“Buyutnya ayah saya,” katanya. “Beliau meninggal tahun 1871,” tambahnya.
Mendengar tahun itu saya pun menebak: ini pasti ada hubungannya dengan Perang Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, pengikutnya lari ke segala arah. Termasuk ke Tegalsari di Ponorogo dan ternyata ada yang sampai ke Gunung Kawi ini.
“Benar sekali. Beliau salah satu panglima perang Diponegoro,” ujar Yana.
“Berarti ada pohon sawo kecik di lingkungan ini?” tanya saya.
“Iya. Ada. Pohonnya di sana itu,” jawabnya. “Juga ada pohon dewa ndaru,” tambahnya.
Salah satu yang ikut lari ke Kawi ini adalah seorang Tionghoa. Namanya dikenal dengan Pek Yam (Tan Ki Yam). Ia orang kepercayaan Mbah R.M. Imam Soedjono. “Makam beliau di sana itu,” ujar Yana.
Maka makam paling keramat di Gunung Kawi ini sebenarnya makam ulama tarekat. Para pejuang di Perang Diponegoro adalah para ulama tarekat.
Anda mungkin lebih tahu mengapa Gunung Kawi lantas bertransformasi menjadi lambang tempat berdoa untuk menjadi kaya.
Saya pun sering menjadikan Gunung Kawi sebagai contoh dalam ceramah tentang fokus: Gunung tidak perlu tinggi, yang penting ada Dewanya; sungai tidak perlu dalam yang penting ada naganya.
Ketinggian Gunung Kawi hanya 2.551 meter. Tapi mengapa yang datang ke sana lebih banyak dari Gunung lainnya yang lebih tinggi.
Orang tidak harus menjadi yang terkaya, terkuasa, terpandai, tercantik, dan seterusnya. Yang penting orang punya kehebatannya sendiri-sendiri.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia