Oleh Dahlan Iskan
TENTU banyak anak muda seperti Lutfiya ini: yang begitu lulus S1 cari beasiswa untuk bisa ke S2.
Pasti juga banyak yang seperti Lutfiya: ditolak di satu beasiswa cari yang lain. Pun ketika sampai yang ke-12 masih ditolak.
Dalam kasus Lutfiya, baru pencarian yang ke-13 bisa mendapatkannya. Itu pun setelah berusaha tiada henti selama lima tahun. Dia tidak pernah menyerah. Tidak pernah putus ada. Cari terus. Sampai dapat.
Toh akhirnya Lutfiya mendapatkan juga beasiswa dari universitas terbaik yang dia impikan. Di Tiongkok: Tsinghua University.
Lutfiya ke rumah saya kemarin. Dari Lombok dan balik ke Lombok. Untuk pamitan: besok lusa dia berangkat ke Beijing.
Dia berangkat dari Jakarta. Rupanya sudah mulai ada lagi penerbangan langsung Jakarta-Beijing. Pakai Air China. Atau mungkin lewat Xiamen. Lutfiya tidak peduli lewat mana. Yang penting dia bahagia banget: berangkat kuliah S2 di luar negeri.
Lutfiya diterima di hubungan internasional. Sesuai dengan S1-nya di HI Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Ada 56 mahasiswa yang diterima di jurusan itu. Dari seluruh dunia. Umumnya dari negara berkembang seperti Pakistan, Brazil, Mesir, Thailand dan negara-negara Afrika.
Lutfiya mendapat sub-jurusan ‘pemimpin masa depan’: future leader. Ada 12 orang di kelas itu. “Rasanya saya yang paling muda. Yang lain banyak yang sudah menjadi politisi atau pejabat pemerintah,” ujar Lutfiya.
Untuk bisa dapat beasiswa itu Lutfiya menjalani banyak tahapan. Dia jalani semua itu. Lamaran pertamanyi pun seperti itu. Sibuk. Ribet. Ujungnya: ditolak. Begitu terus. Sampai 12 kali.
Yang ke-13 pun dia jalani. Wawancara, membuat esai dan tes tertulis. Juga, diskusi kelompok sesama pelamar. Dan yang njelimet adalah melengkapi banyak dokumen, pemeriksaan identitas dan akhirnya putusan: diterima.
Dalam wawancara itu dia ceritakan bahwa Lutfiya lulusan Madrasah Aliyah Negeri II Mataram. Berjilbab. Lalu kuliah UMM. Ayahnyi pegawai perusahaan penyeberangan milik BUMN (ASDP). Dan dia sedang bekerja sukarela sebagai staf khusus wakil gubernur NTB: Sitti Rohmi Djalilah.
Sebenarnya Lutfiya tidak ingin balik ke Lombok. Begitu lulus UMM Lutfiya ke Jakarta. Dia dapat pekerjaan yang cocok dengan pendidikannyi. Gajinyi lunayan tinggi pula, untuk ukuran Lutfiya: Rp 7 juta/bulan. Itu di lembaga internasional bidang ASEAN.
Di lembaga itu Lutfiya sering ditugaskan ke daerah miskin dan bencana. Termasuk ke Lombok. Dia merasa banyak tahu tentang kemiskinan dan penyebabnya. Jiwa kejuangannyi terbentuk oleh pengalaman hidupnyi seperti itu.
Suatu hari Lutfiya ikut seminar di Jakarta. Pembicaranya orang dari daerahnyi: Tuan Guru Bajang. Yakni Gubernur NTB dua periode yang dianggap sukses.
Di seminar itu Lutfiya tampil sangat kritis. Dia mengemukakan angka-angka kemiskinan Lombok yang berbeda. Begitu kritisnya sampai dia dianggap mengemukakan data yang kurang tepat. Dia sampai di-huuuuu ramai-ramai.
Selesai seminar Tuan Guru Bajang mendekati Lutfiya. “Saya pikir saya akan dimarahi,” ujar Lutfiya. “Ternyata beliau memegang kepala saya sambil membisikkan,” tambahnyi.
Tuan Guri Bajang adalah ulama besar. Ia doktor ilmu tafsir Quran dari Al Azhar University Mesir, hafal Quran dan ketua tertinggi organisasi keagamaan terbesar di Lombok: Nahdlatul Wathan.
“Baiknya Lutfiya balik ke Lombok. Mengabdi ke daerah. Biar tahu sulitnya membangun daerah seperti NTB,” ujar Lutfiya menirukan kata-kata Tuan Guru.
Kata-kata itu menancap ke sanubarinyi. Apalagi diucapkan dalam posisi tangan TGB memegang kepala Lutfiya. “Di Lombok kami percaya tangan ulama di kepala seperti itu sama dengan restu. Saya pun bertekad pulang ke Lombok,” ujar Lutfiya.
Dia meninggalkan pekerjaan yang diinginkannyi. Dia tinggalkan gaji Rp 7 juta. Dia menjadi staf biasa di kantor wakil gubernur NTB: Sitti Rohmi Djalilah. Sang wagub adalah adik kandung Tuan Guru sendiri. Gaji Lutfiya Rp 1,5 juta.
Di dunia nyata ini Lutfiya menjalani kuliah yang sebenarnya. Bagaimana sulitnya menjalankan program, mengoordinasikan berbagai instansi, dan lambatnya pengambilan keputusan. Yang utama, Lutfiya jadi tahu: banyak orang yang kelihatannya baik, membela rakyat, idealis, kenyataannya ternyata justru sebaliknya.
Lutfiya jalani semua itu. Dengan integritas tinggi. Pun sampai dimusuhi banyak pihak. Dia pernah ditawari komisi Rp 140 juta. Dia tolak.
Akhirnya dia diminta Wagub untuk menjadi staf khusus. Bahkan kemudian sekaligus menjadi staf khusus Gubernur NTB Dr Zulkifliemansyah.
Gubernur dan wagub NTB ini termasuk sedikit kepala daerah dan wakilnya yang rukun. Tidak terjadi konflik. Sampai tahun keempat masa jabatan ini belum ada tanda-tanda pecah. Pun tidak ada indikasi Sang Wagub mau maju jadi gubernur di Pilkada akan datang.
Pecahnya hubungan kepala daerah dan wakil, biasanya dimulai dari sang wakil merasa tidak diberi wewenang. Plus anggarannya. Semua diambil No 1. Lalu kompor di sekitar sang wakil menyala. Sang wakil lantas merasa lebih mampu. Akhirnya sang wakil menunjukkan tanda-tanda akan menjadi pesaing di Pilkada berikutnya.
Semua itu tidak terlihat di NTB. Berarti kemungkinan besar keduanya masih akan berpasangan lagi di tahun 2024 nanti.
Kuat sekali.
Sang wagub termasuk bukan tipe hanya pendulang suara. Lewat ketokohannyi di Nahdlatul Wathan. Sang wagub orang pintar. Waktu SMA juara se-provinsi. Bu wagub NTB ternyata Doktor dari UNJ, S2 UNS, S1 ITS. Pernah lama menjadi pimpinan di perusahaan asing di NTB. Kalau pidato sangat menarik. Kalau bekerja sangat detail.
Wagub Sitti punya kapasitas untuk bertengkar dengan gubernur yang doktor ekonominya dari Glasgow University itu. Tapi dia tidak melakukan itu.
“NTB beruntung punya pasangan kepala daerah seperti ini,” ujar Lutfiya.
Dalam posisinyi seperti itu Lutfiya sering diminta mengoordinasikan kerja sama internasional. Misalnya kerja sama Lombok-Hainan. Dua-duanya pulau wisata. Di Indonesia dan di Tiongkok.
Juga kerja sama ekonomi NTB dengan Denmark. Atau kerja sama pendidikan NTB dan Nottingham, Inggris.
Sambil sibuk itu, Lutfiya terus mencari beasiswa. Dia tetap semangat untuk bisa kuliah S2 di luar negeri. Pengabdiannyi ke daerah itu tidak sia-sia. Dia jadi punya banyak bahan untuk membuat esai maupun menjawab wawancara.
Esai yang membuat Lutfiya diterima di sub-jurusan future leader adalah tentang penanganan gempa di Lombok. Juga tentang penanganan Covid-19 untuk daerah wisata.
Saya jadi ingat ”ujian” bagi calon presiden Amerika. Di sana yang pintar berlebihan. Yang hebat tidak kurang. Yang track record-nya luar biasa melimpah. Maka pertanyaan penting bagi calon presiden Amerika adalah: apa yang akan dilakukan kalau ada dering telepon jam 3 pagi.
Memang, di saat terjadi krisis barulah diketahui perlunya pemimpin yang hebat. Krisis pandemi, krisis bencana alam pun sampai krisis ekonomi.
Sebenarnya Lutfiya sudah sejak empat bulan lalu mulai kuliah: online. Hasil kuliah itu bisa langsung dia terapkan di pekerjaan sebagai staf khusus gubernur dan wakil gubernur. Terutama soal kerja keras, tepat waktu, dan komitmen.
Meski online, Lutfiya tidak bisa santai. Selama 4 bulan ini sudah tiga buku tebal dia baca: wajib. Harus bisa pula mengikhtisarkannya. Lalu lebih 20 artikel yang harus dikaji. Untuk di-review. “Dosen hanya berbicara 15 menit. Yang 45 menit diskusi,” kata Lutfiya.
Lebih banyak lagi penugasannya.
Semua harus selesai. Tepat waktu. Tidak ada toleransi. “Sejak kuliah ini semua tugas dari Pak gub dan Bu wagub saya selesaikan sebelum waktunya,” ujar Lutfiya. “Saya menjadi terbiasa seperti orang di Beijing,” tambahnyi.
Dan lusa, Lutfiya tiba di Beijing. Di kampus Tsinghua University. Amerika punya MIT. Tiongkok punya Tsinghua. Amerika punya Harvard University. Tiongkok punya Beijing University.
Lutfiya, lusa, tiba di kampus ternama itu. Dia disediakan pondokan di situ. Lengkap dengan makanannya. Masih dapat uang saku pula: lima kali lipat dari gajinya sekarang.
Lutfiya juga sudah diberi daftar 40 guru besar yang bisa dia pilih sebagai pembimbing tesisnyi kelak. Nama mereka, bidang keahlian, tesis, biografi singkat, dan alamat email mereka dikirim ke Lutfiya. Silakan pilih sendiri. Hubungi sendiri. Kalau yang dipilih tidak mau cari yang lain.
Lutfiya sudah pilih. Sang guru besar juga sudah bersedia. Lutfiya menyebutkan namanya. Saya yakin pilihan Lutfiya benar meski cara mengucapkan namanya salah. “Saya memang baru sebulan kursus Mandarin,” kata Lutfiya. Itu pun online. Seminggu dua kali.
Lusa Lutfiya tiba di Beijing. Di musim dingin. Menjelang musim salju. Tapi saya lihat badan Lutfiya punya cadangan lemak yang cukup untuk menghangatkan seluruh Beijing.
“Saya janji deh, ketemu Pak Dahlan lagi sudah langsing”, katanyi. Saya pun meletakkan tangan di kepala Lutfiya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia