Oleh Iqbal Fardian
HARI masih siang matahari masih bersinar, cukup ketika bus yang membawa kami memasuki Kampung Loloan Barat di Kabupaten Jembrana, Bali. Perjalanan selama kurang lebih empat jam dari Glenmore, Banyuwangi pada pertengahan Mei lalu itu mengantarkan kami pada suasana yang tidak pernah kami bayangkan.
Tidak ada penjor, janur kuning yang menjadi salah satu ciri khas pemukiman warga Bali. Tidak ada pula sesajen seperti yang biasa kami temukan. Senja itu kami disuguhi pemandangan Bali yang lain dari biasanya: suasana yang akrab dengan keseharian kami di kampung halaman. Padahal, Loloan Barat berada di Bali, pulau para Dewa.
Rumah panggung khas Melayu-Bugis berdiri di beberapa sudut kampung. Penjual sate Madura tengah asyik melayani pembeli di gerobaknya. Beberapa lelaki berkopiah dan bersarung keluar masuk toko berpapan nama aksara Arab.
Saya pribadi merasa seperti berada di Kampung Ampel, Surabaya. Aroma minyak wangi yang meruap menambah kuat kesan Kampung Ampel di Loloan Barat ini. Apalagi setelah kami mendekati komplek makam Habib Ali bin Umar bin Abu Bakar Bafaqih, salah satu ulama yang berjasa dalam penyebaran Islam di Bali. “Loloan memiliki peran penting masuknya Islam di Bali,” kata Ahmad Dasuki yang memandu kami.
Lokasi makam yang tidak persis di pinggir jalan membuat kami harus menyusuri perkampungan ini. Tapi, kami bersyukur karena dapat berinteraksi dengan penduduk kampung yang membuat saya penasaran sedari tadi. Terlebih, logat bicara mereka mengingatkan saya pada dialog kartun negeri tetangga: Upin dan Ipin. “Bahasa Melayu sudah digunakan di sini sejak dua abad silam,” katanya.
Penutur awal bahasa Melayu datang dari Trengganu yang mengikuti migrasi penduduk Pontianak dan Bugis setelah Makassar jatuh ke tangan Belanda pada 1667. “Warga Bugis di sini masih keturunan Sultan Wajo,” kata Dasuki. Bahasa Melayu itu masih digunakan oleh komunitas muslim hingga sekarang. Warga Jembrana menyebutnya bahasa Melayu Bali.
Meski mayoritas penduduk Bali beragama Hindu, pemeluk Islam di Loloan tetap hidup tenang dan damai berdampingan dengan umat lain di dalam maupun di luar kampung. Jejak penyebaran Islam seperti makam Habib Ali turut dilestarikan.
Selain mewariskan pesantren yang masih aktif hingga sekarang dan sejumlah kitab, Habib Ali adalah santri terakhir Kyai Kholil Bangkalan, ulama kharismatik dari Madura di masa perang kemerdekaan. Tidak mengherankan jika makam Habib Ali menjadi tujuan pertama wisata ziarah di Bali.
Apalagi lokasinya paling dekat dengan Banyuwangi di ujung timur pulau Jawa. Di makam inilah kami berdoa semoga jariyah Habib Ali menebar ajaran Islam yang damai menjadi tabungan di akhirat.
Wisata ziarah ke Loloan tidak hanya mengunjungi makam Habib Ali. Di kampung ini kita dapat menemukan jejak lain yakni Pondok Pesantren Mambaul Ulum di Loloan Timur. Pesantren yang didirikan KH Ahmad Dahlan dari Semarang tahun 1935 ini masih bertahan hingga sekarang dan menjadi salah satu jejak kehadiran Islam masa lalu.
Yang tidak kalah menarik tentu saja prasasti dari ukiran kayu dan Al Quran tulisan tangan yang disimpan di Masjid Baitul Qadim. Ukiran dan Al Quran ini diperkirakan berusia 200 tahun lebih. Di salah satu ukiran kayu itu tertulis aksara tahun 1268 hijriyah. Benda-benda bernilai sejarah ini membutuhkan perhatian lebih agar tidak rusak karena pelapukan akibat faktor usia.
Bagi kami, Kampung Loloan ibarat oase. Kampung ini terbagi menjadi tiga wilayah yakni Loloan Selatan, Loloan Barat dan Loloan Timur. Loloan Selatan biasa disebut dengan Markesari di mana mayoritas penduduknya memeluk Hindu. Sedangkan Loloan Barat dihuni masyarakat muslim dengan komposisi mencapai separuhnya. Adapun penduduk Loloan Timur mayoritas memeluk Islam.
Bagi saya pribadi, bukan persoalan komposisi pemeluk masing-masing agama yang menarik, tapi kerukunan hidup dapat diciptakan dalam perbedaan. Apalagi warisan sejarah Islam di kampung ini sama-sama dijaga oleh semua penduduknya. Warisan nilai-nilai itu yang membuat saya jadi paham kenapa Habib Ali dianggap sebagai wali.
Dalam tradisi wisata ziarah di Bali, makam Habib Ali bukan satu-satunya lokasi yang menjadi tujuan wisatawan. “Ada tujuh wali dan kita biasa menyebutnya wali pitu,” kata Ahmad Dasuki.
Lokasi makam mereka berbeda dari ujung barat hingga ujung timur. Jika makam Habib Ali di Jembrana, makam Pangeran Mas Sepuh berlokasi di Badung. Adapun makam Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar bin Abu Bakar Al Khamid di Klungkung, Chabib Ali bin Zainul Abidin Al Idrus di Karangasem, Syeh Maulana Yusuf Al Baghdi Al Maghribi di Karangasem, Chabib Umar bin Maulana Yusuf Al Maghribi di Bedugul-Tabanan, dan The Kwan Lie atau Syekh Abdul Qodir Muhammad di Buleleng.
Wisata ziarah di Bali tidak lepas dari nama Habib Toyyib Zaen Arifin Assegaf dari Sidoarjo, Jawa Timur. Pengalaman spiritual dan sufistik mengantarnya mencari jejak penyebar Islam di tanah para dewata pada tahun 1992.
Bukti sahih peran mereka dalam penyebaran Islam dapat ditelusuri dan didukung beberapa bukti lain. Sebagian lagi dirujuk berdasarkan garis keturunan hingga ditemukan makamnya.
Syeikh Chamdun Choirusholeh atau Pangeran Mas Sepuh misalnya diyakini sebagai putra Raja Mengwi VII (Cokorda I) dari ibu yang berasal dari Kerajaan Blambangan (Banyuwangi). Makamnya berada di Pantai Seseh di Kabupaten Badung dan dikenal sebagai Keramat Pantai Seseh.
Ziarah ke makam para wali di Bali bukan sekadar menambah wawasan saya tentang kekayaan Bali sebagai destinasi wisata utama, tapi juga memberikan pelajaran tentang kerukukan hidup sesama manusia dalam keyakinan yang berbeda. Saling menghormati adalah menjadi kunci penting merawat dan melestarikan warisan masa lalu sebagai kekayaan khazanah pariwisata Indonesia.*