Oleh Dahlan Iskan
INILAH satu-satunya wartawan yang dihukum “tidak boleh bicara dan menulis tentang konglomerat Grup Adani”.
Umur wartawan itu sudah 67 tahun.
Konglomerat terbesar kedua India itu memperkarakan wartawan tersebut di dua arah: pidana dan perdata. Total 10 perkara.
Nama wartawan itu: Paranjoy Guha Thakurta.
Paranjoy ternyata sudah menulis soal Adani jauh sebelum Hinderburg Research New York membongkar sisi negatif Adani.
Bedanya Hinderburg kini lagi “menang”. Saham grup Adani runtuh tinggal separo harga. Sampai Jumat lalu pun masih terus turun. Adani kehilangan kekayaan USD 130 miliar. Atau hampir Rp 2.000 triliun. Dalam sekejap.
Tapi Adani masih konglomerat besar. Setidaknya masih 30 besar di India.
Sedang Paranjoy masih dalam status “kalah”. Awalnya. Belum tahu akhirnya nanti.
Paranjoy adalah wartawan ekonomi-politik. Tulisan pertama yang menyerang Adani terbit di EPW (Economic and Political Weekly). Tahun 2017. Soal dugaan penggelapan pajak. Lalu soal Adani mendapat keuntungan dari kebijakan pemerintah.
Mingguan EPW pun disomasi Adani. Artikel itu harus dicabut dari EPW. Kalau tidak, Paranjoy dan penerbitnya akan diperkarakan.
Rapat pimpinan EPW pun diadakan. Paranjoy adalah pemimpin redaksi di mingguan itu. Di rapat itu diputuskan: artikel tersebut dicabut. Paranjoy menolak.
Tapi pimpinan perusahaan lebih berkuasa. Paranjoy belum boleh keluar ruang rapat kalau belum mau mencabut tulisannya.
Akhirnya Paranjoy setuju tulisan tersebut dicabut. Lalu ia minta selembar kertas. Ia menulis pengunduran dirinya.
Paranjoy belum kalah. Tulisan yang sudah dicabut itu pun ia kirim ke penerbit online: The Wire. Grup Adani pun menggugat penerbit The Wire dan Paranjoy. Bahkan mengadukan Paranjoy secara pidana.
Grup Adani tidak hanya menggugat di satu pengadilan. Konglomerat itu menggunakan lima pengadilan. Tiga di Gujarat (di tiga kota yang berbeda), satu di New Delhi dan satu di Mumbay.
Proses perkara ini panjang. Sampai datangnya Covid-19 belum semua selesai. Paranjoy punya alasan pandemi untuk tidak memenuhi panggilan pengadilan.
Akhirnya Paranjoy diancam akan ditahan. Tanpa bisa menggunakan uang jaminan.
Salah satu perkara yang sudah selesai adalah: keinginan Adani agar tulisan itu dicabut. Pengadilan memutuskan: tidak harus dicabut. Tapi beberapa kalimat harus diperbaiki.
Dalam perjalanannya yang panjang dan melelahkan Adani akhirnya mencabut semua gugatannya: kecuali untuk Paranjoy. Adani merasa tulisan itu mengandung unsur pidana. Paranjoy dianggap kunci semua itu.
Ketika perkara Paranjoy masih berproses, meledaklah “bom” di Adani. Bom bikinan Hinderburg. Yang ditulis dalam laporan Hinderburg pun jauh lebih dalam dari yang ditulis Paranjoy.
Setelah bom Adani itu meledak. Harian The Telegraph India mewawancarai Paranjoy.
Apakah yang dipublikasikan Hinderburg itu ada kesamaan dengan tulisan Anda?
“Ada. Tapi mereka menulis sampai 32.000 kata. Kalau dibuat buku sampai 150 halaman”.
Apakah Anda dihubungi Hinderburg sebelum laporan itu terbit?
“Tidak. Tapi mereka kan mengambil juga bahan dari publikasi yang sudah menjadi milik umum”.
Apakah Anda pernah benar-benar ditahan?
“Sampai detik ini, belum pernah”.
Apakah Anda pernah bertemu Gautam Adani?
“Pernah. Dua kali. Lalu telepon satu kali. Di pertemuan itu saya ditemani istri dan penulis lain. Selama dua jam dan 1 jam 55 menit. Yang lewat telepon 15 menit”.
Siapa yang berinisiatif mengadakan pertemuan itu?
“Pengacara saya. Tujuannya untuk bisa terjadi perdamaian. Yang lewat telepon dari saya sendiri”.
Apakah perkara ini mempengaruhi hidup Anda?
“Sangat. Menghabiskan waktu. Dan biaya”.
Apakah Anda akan berubah?
“Tidak”.
Melihat gelagatnya perkara ini pun akan berakhir di luar pengadilan. Tapi ketika pertemuan demi pertemuan belum menghasilkan kesimpulan, suasana di Adani berubah total. Grup Adani tiba-tiba punya musuh yang jauh lebih besar. Selama itu Adani hanya menghadapi satu kucing. Kini ia menghadapi singa raksasa.
Paranjoy lahir di Kalkuta. Lulus universitas di sana. Ia sudah menulis lebih dari 20 buku. Juga membuat video berita banyak sekali.
Ternyata masih ada wartawan seperti Paranjoy. Intelektual terkemuka India seperti Profesor Amartya Sen dan Noam Chomsky pun berada di belakangnya. Mungkin Paranjoy hanya dianggap kerikil di sepatu Adani. Kini ada batu besar di depan matanya.*
Penulis adalah wartawan senior Indonesia