“Teori Evolusi dari Ahad Kembali ke Tauhid: Bunga Rampai Esai-Esai Akhir Zaman”

Judul Buku : “Teori Evolusi dari Ahad Kembali ke Tauhid:
Bunga Rampai Esai-Esai Akhir Zaman”
Penulis : Muchid Albintani
Penerbit : Deepublish, Yogyakarta
Tahun Terbit : 2021
Tebal : xvi, 174 halaman + indeks

Oleh Saibansah Dardani

Memperteguh ‘Makar Teori Evolusi’

Buku “Teori Evolusi Dari Ahad Kembali Ke Tauhid”, diterbitkan berdasarkan sumber yang berasal dari kumpulan tulisan pada rubrik “Esa-esai Akhir Zaman” di BATAMTODAY.COM. Rubrik ini rutin terbit setiap Selasa, periode Maret 2020 sampai Maret 2021. Rentang waktunya lebih kurang satu tahun.

Bahan-bahan yang dijadikan inspirasi tulisan berupa esai ini berasal dari diskusi rutin penulisinya beserta kawan-kawan jauh sebelum ada rencana menerbitkannya. Hasil diskusi yang selalu memberikan inspirasi kekhususan kajian akhir zaman.

Kehadiran buku ini, menurut penulisnya merupakan ‘dakwah terbatas’ melalui tulisan pada kalangan yang berminat, mengkaji pun penstudi akhir zaman. Terpenting buku ini merupakan hasil proses kreatif yang diberikan kepada khalayak.

Proses inilah yang dalam dunia akademis merupakan bagian integral melaksanakan salah satu kegiatan tridharma bagi seorang ‘guru’ yang mengajar di perguruan tinggi sekaligus ‘mantan pekerja jurnalistik’.

Dalam pengantar buku dijelaskan ketika menunggu proses penyelesaian penerbitannya, ada pertanyaan yang diajukan kepada penulisnya. “Kapan penulis buku ini mulai menjadi ustadz plus peramal masa depan?” Rupanya pertanyaan tersebut mengemuka oleh karena menjadi dialektika terkait Ahad dan Tauhid: apa bedanya?

Bermula dari pertanyaan itulah menjadikan buku ini menarik untuk ditelaah-cermati. Berupaya mengulas-ringkas pertanyaan itu juga akan dijawab dalam lima bagian ulasan buku ini.

Pertama, Covid-19 Antara Azab dan Bala. Topik ini berklindan dengan cara pandang orang beragama (di negeri yang merupakan agama Islam sebagai mayoritas), memunculkan ragam pandang dan pendapat.  Keragaman tersebut mengkrucut pada sebuah kesimpulan umum bahwa Covid-19 keberadaannya antara azab dan bala?!

Beda antara azab dan bala berpijak pada realitas keberadaan covid yang tak dapat dipisahkan antara pendemi, vaksin dan virus. Contoh sederhana, sebelum pandemi jika seseorang yang tiba-tiba pingsan di jalan. Lazimnya, sesiapa saja yang datang akan menolong, si pingsan tentu dibawa ke rumah sakit. Prosedurnya, setelah sadar orang itu akan diperiksa (anamnesa). Pingsan apa penyebabnya?

Beda di era pendemi. Ada seseorang yang tiba-tiba pingsan di jalan. Tanpa usul periksa, umumnya si pingsan langsung divonis? Tak perlu penjelasan. Silakan Anda menjawabnya dalam hati. Pasti si pingsan terkena!?

Mencermati realitas di era pandemi ketika orang pingsan menjadi contohnya adalah refleksi fenomena sosial kemanusian.  Sederhananya contoh ‘orang pingsan’ menunjukan bahwa sangat susah membedakan jika covid (C-19) ini antara bala dan azab. Boleh jadi salah satunya. Atau justru kedua-duanya?

Bagian kedua, buku ini  mengulas sub tema, “Konspirasi adalah Makar”. Bagian ini menjelaskan bahwa Makar dalam bahasa lain yang populer saat ini dengan sebuat (istilah) Konspirasi.

Supaya tidak keliru, buku ini ingin mempertegas bahwa Makar adalah bahasa (istilah) lain dari Konspirasi. Esensinya,  tidak ada istilah “teori konspirasi”. Yang ada adalah Makar atau Konspirasi. Kalaupun ada, teori konspirasi misalnya, sifatnya selain untuk kepentingan akademis juga ‘pengelabuan, pengalihan dari perbuatan Makar.

Dalam penjelasan lain Makar dapat dimaknai secara filosofis yang dalam sumber Qurani sebagai “peringatan dini sebuah tindakan-upaya”. Peringatan dimaksud lebih tertumpu pada tindakan-upaya zalim yang Allah Maha Tahu terhadap sebuah tindakan (kezaliman) tersebut.  Dalam bahasa orang-orang alim, bijak nan cerdik, istilah Makar tidak salah dimaknai sebagai antisipasi (strategi) menghindar dari tindakan-upaya Makar (rencana jahat).

Sedangkan bagian ketiga, “Lontar Jamrah Hilangkan Wujud Ibilis”. Ulasan ini merupakan esensi perubahan tugu Jamrah yang dilatarbelakangi faktor kemaslahatan, dan keamanan beribadah haji. Berbagai sumber menyebutkan faktor kemaslahatan dan keamanan menjadi alasan perlunya perubahan dan penataan lokasi ibadah khususnya ketika melontar Jamrah.

Esensi yang wajib decermati dalam konteks akhir zaman adalah pengalihan wujud Obelisk yang direpresentasikan Iblis menjadi hanya ‘tugu tembok pembatas’ yang tidak ada hubungan dengan peristiwa religi di masa Adam dan Ibrahim. Apalagi Obelisk berklid-klindan dengan simbol-simbol organisasi rahasia yang terafiliasi dengan Azazilisme (pengikut Azazil).

Perubahan bentuk Obelisk walaupun dengan niat kemaslahatan dan keamanan beribadah, karakter utama sebagai simbol [manifestasi] Iblis, tidak boleh dihilangkan. Ini dikhwatirkan jika objeknya berubah, Iblis-Setan tidak lagi menjadi simbol perlawanan, melainkan ‘teman sepermainan’. Inilah esensi penjelasan pada bagian ini.

Keempat, “DNA Ibrahim Kontinuitas Perwujudan Bertauhid”. Ulasan bagian ini tekait dengan perbuatan mempersekutukan tuhan [syirik]. Cara berpikir Ibrahim, tegas menolak mempersonifikasikan Tuhan melalui perantara pagan [patung]. Sumber Qurani melalui sejarah Ibrahim melawan Namrud adalah penolakan pagan sebagai identifikasi Tuhan. Inilah yang menurut cara berpikir Ibrahim disebut dengan istilah syirik [tuhan dipersonikasi dengan pagan].

Esensi berpikir Ibrahim adalah refleksi kenabian Muhammad SAW [sebagai rasul terakhir, akhir zaman] yang diutus untuk merubah sekaligus memperbaiki kerusakan ahklak kaum kafir Quraisy yang “menyembah berhala” [pagan]. Selama 23 tahun misi kerasulan, telah berlangsung yang disebut dengan “Revolusi Akhlak”.

Bahasan ini mengelaboasi penjelasan revolusi terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia: revolusi akhlak dari syirik ke tauhid. Revolusi ini merupakan refleksi kritis terhadap tiga revolusi yang digaung-gaungkan sebelumnya: revolusi industri, Prancis dan Bolshevik. Dari sini pula banyak memunculkan pertanyaan jika ketiga revolusi tersebut ada kaitannya dengan Azazil?

Kelima, “Teori Evolusi Dari Ahad Kembali ke Tauhid”. Bagian ini menjelaskan sederhananya, Ahad adalah sebuah realitas transenden berupa iman yang meyakini bahwa Tuhan itu satu (Ahad). Tiada Tuhan selain Allah. Sementara Tauhid adalah sebuah proses eksistensi iman yang tetap konsisten bahwa Allah SWT itu maha Esa (Ahad).

Menurut penulisnya, penting juga menarik diulas-ringkas secara evolusi ihwal ke-Ahad-an dialtari telah terjadinya konsistensi penyangkalan Teori Evolusi. Teori ini berpijak pada ‘peniadaan ihwal keberadaan Yang Maha Ahad’.

Teori ini juga yang selalu dianalogikan dengan asas bahwa ‘awalnya bersumber satu untuk kemudian dalam waktu yang sangat lama, akan kembali menjadi satu’. Oleh karena itu analogi teori evolusi yang menyandarkan bahwa penciptaan manusia, bukan berbasis manusia. Esensinya ‘manusia yang berinduk hewan, akan kembali menjadi hewan’.

Argumentasi demikian, tidak salah memuculkan sinyalemen kesalahpahaman infomasi tentang ketuhanan (keesaan tuhan, tuhan maha esa). Bagian ini merupakan esensi (intisasi) ulasan buku ini. Penulisinya meyakini bahwa Teori Evolusi telah memanipulasi informasi. Penyelewengan (manipulasi) ini menjadi ‘seolah-olah tuhan dan agama itu banyak’.

Yang populer tentu saja di tanah Pelestina tempat dengan sebutan ‘lahirnya tiga agama samawi’ menjadi penting untuk dipertanyakan. Kata tiga menunjukan berlawanan dengan kata Ahad. Dalam istilah judul buku ini, “Dari Ahad Kembali Ke Tauhid”. Yang makna esensinya bahwa ‘Manusia sebagai Makhluq, mustahil melupakan Tuhannya’. Inilah yang oleh penulisnya disebut dengan ‘Teori Khaliq Makhluq’ sebagai pengganti Teori Evolusi itu.

Sebagai catatan akhir menurut penulisnya, “Teori Khaliq Makhluq” memperjelas bahwa sesungguhnya ‘Teori Evolusi’, tidak berpijak pada materi melainkan pada proses cara berpikir. Dalam tataran berfikir yang filosofis, penulis buku ini ingin mengulas-kritis sementara bahwa istilah “Dari Ahad Kembali Ke Tauhid” adalah penegasan (memperteguh) jika telah terjadi Makar terhadap ‘Teori Evolusi’.

Setuju? *