Kedatanganku di Jerman Disambut Badai Dahsyat yang Menghentikan Semua Moda Transportasi

wartawan J5NESROOM.COM, Alia Safira saat berada di Frankfurt Jerman. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

MENEMPUH perjalanan hampir seharian, naik pesawat dari Jakarta lalu transit di Bandar Udara Internasional Hamad Doha, Qatar selama enam jam, sendirian dan disambut badai dahsyat setibanya di Jerman, tentu pengalaman yang menarik. Bagaimana serunya perjalanan itu? Berikut catatan pengalaman wartawan J5NESROOM.COM, Alia Safira saat menempuh pendidikannya di Chemnitz Jerman Februari 2020 lalu.

Ya, jika berbicara tentang eropa pasti tidak asing dengan cuacanya yang tidak bisa ditebak. Aku tiba di Jerman pada awal Februari 2020, saat virus corona belum menyebar. Saat itu aku terbang sendiri dari Jakarta, karena temanku sudah lebih dulu tiba di Jerman.

Itu karena aku telat mendapatkan visa. Saat itu, sudah pasti rasanya deg-degan dong, soalnya ini pengalaman pertama kali pergi ke negara yang jauh dari Indonesia, sendirian pula.

Perjalanannya sih lebih dari sehari, soalnya aku ngambil transit yang lama, biar bisa keliling di bandara Qatar.

Saat tiba di Frankfurt, aku langsung ketemu penjemput yang sudah diatur oleh agenku. Awalnya sih semua berjalan lancar. Kita sempat beli kartu sim telepon di Frankfurt, sempat juga jajan roti. Tapi, saat kereta tiba di Hof Hauptbahnhof, kita harus transit di sana. Sejak saat itulah semuanya dimulai.

Kereta yang dijadwalkan, datang telat dari yang semestinya. Kita harus menunggu bersama penumpang lainnya. Angin saat itu tidak bisa diajak kerjasama. Berdiri selama 1 menit saja rasanya badan ini mau beku. Akhirnya kita memutuskan untuk masuk ke dalam Haupbahnhof saja.

Tiket kereta wartawan J5NESROOM.COM, Alia Safira dari Frankfurt ke Chemnitz Jerman. (Foto: J5NEWSROOM.COM)

Sampai-sampai kita sempet mendatangi kantor polisi untuk memastikan apakah ada kereta yang akan datang menjemput kami yang di stasiun. Mereka tidak bisa memastikan hal tersebut.

Lalu, kita diberikan alternatif oleh polisi untuk menunggu di stasiun atau menunggu di kereta. Aku memilih untuk menunggu di stasiun saja, karena tidak kuat lagi jalan ke kereta. Kira kira 10 jam kita menunggu di sana. Badan rasanya remuk duduk selama 10 jam di kursi dingin. Tidak ada toko yang buka karena posisi memang sudah malam. Alhasil kita hanya mengandalkan roti yang sudah kita beli sebelumnya untuk mengganjal perut.

Keesokan paginya saat sudah mulai cerah dan angin tidak marah, pengumuman bahwa kereta akan datang disiarkan. Lega rasanya hati. Badai yang menghentikan semua moda transportasi di Jerman itu sudah berlalu. Kita pun segera keluar untuk masuk ke dalam kereta. Karena aku masih harus melanjutkan perjalanan selama 2 jam lagi menuju kota Chemnitz, tempatku akan menimba ilmu.

Alhamdulillah, selama sisa perjalanan semua berjalan dengan lancar. Kita tiba di kota tujuanku dan langsung bertemu kakak kelasku untuk menumpang barang semalam tinggal di kamar apartemennya. Sementara kakak kelas terpaksa mengungsi nginap di apartemen temannya lagi. Maklum anak rantau, biaya hotel sangat mahal untuk kantong pelajar.

Begitulah awal mula perjalananku di Jerman. Hanya di awal saja yang sangat menyiksa. Semua karena badai dahsyat yang seolah menyambut kedatanganku. Setelahnya itu, aku langsung berkumpul bersama teman-teman lain dan aku merasa kami sudah seperti keluarga.

Editor: Saibansah