Oleh Aqua Dwipayana
KETIKA masih di sekolah dasar dan menengah di Pematang Siantar, Sumatera Utara (1976-1988) saya tidak pernah bercita-cita untuk kuliah. Memimpikan belajar di perguruan tinggi saja tidak berani.
Penyebab utamanya karena tahu diri dan sadar diri. Kedua orangtua saya hidupnya sederhana, jika tidak mau dikatakan miskin.
Mereka tidak akan mampu membiayai kuliah saya. Sehingga waktu itu saya hanya berpikir sekolah hingga kelas tiga SMA. Setelah itu bekerja. Mandiri. Minimal membiayai hidup sendiri dan tidak lagi merepotkan orangtua.
Sejak kecil hobi saya membaca. Kebiasaan itu turun dari bapak yang selalu “melahap” hingga tuntas seluruh koran, majalah, dan aneka jenis buku.
Saya yang semula tidak suka membaca jadi terpengaruh. Mulanya hanya ikut-ikutan saja. Kemudian jadi keranjingan dan hobi baca. Rata-rata sehari bisa melakukan aktivitas itu selama enam jam.
Kebiasaan sejak puluhan tahun lalu terbawa sampai sekarang. Rasanya dalam keseharian saya ada yang kurang jika belum melakukannya. Insya ALLAH sampai meninggal, saya konsisten melaksanakannya.
Hobi membaca sejak kecil membuat saya bercita-cita sederhana. Begitu tamat SMA bekerja di toko buku. Waktu itu toko buku terbesar di Pematang Siantar adalah Pustaka Murni. Terletak di Jalan Diponegoro.
Kenapa ingin bekerja di toko buku? Karena hobi saya membaca. Pemikiran dan bayangan saya sederhana. Jika saat bekerja tidak ada pembeli yang datang ke toko buku tersebut, saya bisa membaca sepuas-puasnya buku-buku yang saya sukai.
Jadi membaca buku-buku yang disukai gratis. Bahkan dapat gaji rutin setiap bulan karena bekerja di toko buku.
Orangtua Menyuruh Kuliah
Sebagai anak bungsu dari lima bersaudara, saya harus memahami dan memaklumi saat orangtua memprioritaskan membiayai empat saudara kandung saya. Mereka sekolah di Medan, Padang, dan Yogyakarta. Hanya saya sendiri yang di Pematang Siantar.
Selama bertiga tinggal bersama orangtua (1985-1988) saya bisa merasakan kondisi ekonomi orangtua yang sulit. Apalagi saat mereka menerima surat dari para saudara kandung saya.
Sebelum membuka surat dan membacanya, sudah terbayang isinya. Pengirim surat meminta sejumlah uang untuk kebutuhan sekolah dan kuliahnya.
Reaksi kedua orangtua saya selalu sama. Dari mana lagi mendapatkan uang buat dikirimkan kepada saudara-saudara kandung saya.
Singkat cerita, keinginan saya untuk bekerja di toko buku setamat SMA tidak pernah terwujud. Kedua orangtua saya terutama almarhum bapak menentang saya bekerja. Mereka menyuruh saya kuliah. Mengikuti jejak saudara-saudara kandung saya.
April 1988 dibekali uang Rp 250 ribu, saya naik bus ALS dari Pematang Siantar ke Yogyakarta. Pesan orangtua cuma satu: kuliah.
Logikanya uang segitu tidak bisa buat kuliah. Namun saya sangat meyakini logika TUHAN tidak bisa disamakan dengan logika manusia.
Bagi TUHAN Sang Pencipta Alam Semesta, tidak ada yang tidak mungkin dan tidak bisa. Hanya hitungan detik semuanya terjadi.
Lebih 200 Karangan Bunga
Belakangan saya membuktikan semua itu. Pada Desember 1992 saya menyelesaikan kuliah S1 di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.
Sedangkan kuliah S2 saya selesaikan pada Oktober 2010 di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad). Enam tahun kemudian tepatnya, Jumat 15 April 2016 atau sekitar tujuh tahun lalu saya promosi doktor dari fakultas dan universitas yang sama.
Saat promosi doktor, saya rasanya seperti mimpi. Nyaris tidak percaya. Apalagi sebelumnya tidak pernah bermimpi untuk kuliah.
Ternyata semuanya nyata. Bukan mimpi. Allahu Akbar!
Ketika promosi doktor saya sangat bersyukur karena acara itu dihadiri oleh istri tercinta Retno Setiasih serta kedua anak tersayang Alira Vania Putri Dwipayana dan Savero Karamiveta Dwipayana.
Alira yang seminggu kemudian harus ujian di kampusnya: Korea University Business School di Seoul, Korea Selatan, menyempatkan hadir meski hanya dua hari di Indonesia. Datang khusus untuk menghadiri promosi doktor saya.
Selain itu banyak saudara dan teman yang hadir. Mereka dari berbagai latar belakang termasuk pejabat pemerintah, jenderal TNI, jenderal Polisi, dan pengusaha.
Karangan bunganya banyak sekali. Jumlahnya lebih dari 200 karangan bunga. Halaman kampus Unpad Dipati Ukur nyaris tidak muat. Sampai sekarang jumlah itu masih rekor untuk promosi doktor.
Semua itu sepenuhnya karena Tuhan. Sekaligus membuktikan betapa dahsyat The Power of Silaturahim. Saya membuktikannya sendiri.
Setelah tujuh tahun berlalu, saya sangat mensyukurinya. Berterima kasih sekali kepada kedua orangtua, keluarga, saudara-saudara, para promotor dan oponen ahli, serta semua teman yang memberi dukungan penuh sehingga saya menuntaskan kuliah hingga S3.
Untuk semua itu, saya hanya dapat berdoa agar TUHAN membalasnya dengan pahala yang berlipat ganda. Aamiin ya robbal aalamiin…
Sesaat setelah tiba di rumah Bogor dari Bali, saya ucapkan selamat mensyukuri semua rezeki dari Tuhan. Salam hormat buat keluarga.*
Penulis adalah Pakar Komunikasi dan Motivator Nasional