J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Kasus ‘online scam’ atau tipuan daring sudah menjadi masalah regional dengan korban berasal dari berbagai negara, termasuk Indonesia.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam jumpa pers, Jumat (5/5/2023) menjelaskan pemerintah telah berhasil memulangkan 1.138 warga Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang yang dipekerjakan di perusahaan-perusahaan abal-abal yang dipromosikan lewat media internet atau online scam.
“Untuk kasus di Kamboja, saya langsung terjun dan lakukan pembicaraan dengan berbagai otoritas di Kamboja. Dengan kerja sama dan dukungan yang baik dari otoritas di Kamboja, Indonesia berhasil memulangkan 1.138 WNI (warga negara Indonesia) korban perdagangan manusia yang dipekerjakan di online scam dari Kamboja,” kata Retno.
Menurutnya, dalam tiga tahun terakhir, pemerintah telah menangani dan menyelesaikan 1.841 kasus online scam. Pemerintah memfasilitasi penampungan sementara setelah mereka berhasil dievakuasi, pendampingan hukum, bimbingan kejiwaan, sampai pada pemulangan kembali ke Indonesia.
Pemerintah saat ini, lanjutnya, sedang memberikan perhatian besar dan terus berusaha memberikan perlindungan terhadap warga Indonesia yang dipekerjakan di perusahaan online scam di Myawaddy, Myanmar.
Lokasinya berjarak sebelas kilometer dari Mae Sot, wilayah perbatasan Myanmar dengan Thailand. Pemerintah Myanmar tidak memiliki kontrol penuh terhadap Myawaddy sehingga tantangan yang dihadapi besar.
Retno mengatakan pemerintah terus berkomunikasi dengan pihak berwenang di Naypydaw, Thailand, dan Myawaddy, serta sejumlah organisasi internasional, termasuk IOM (Organisasi Migrasi Internasional) agar dapat mengeluarkan warga Indonesia dari Myawaddy dengan selamat. Namun, Retno tidak menyebut berapa jumlah mereka yang menjadi pekerja online scam tersebut.
Dia menekankan kasus online scam sudah menjadi masalah kawasan dan korban berasal dari berbagai negara. Korban dari Indonesia berada di Myanmar, Kamboja, Thailand, Vietnam, Laos, dan Filipina.
Retno pada Jumat (5/5/2023) pagi mendapat laporan dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Ibu Kota Filipina, Manila, bahwa penegak hukum setempat yang bekerja sama dengan perwakilan negara-negara asing, termasuk Indonesia, berhasil menyelamatkan 1.048 korban online scam dari sepuluh negara. Sebanyak 143 orang korban yang berhasil diselamatkan tersebut di antaranya adalah WNI. KBRI Manila sedang mendata untuk memfasilitasi pemulangan mereka ke Tanah Air.
Karena kasus online scam makin marak di Asia Tenggara, lanjutnya, Indonesia sebagai Ketua ASEAN akan mengangkat isu ini dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-42, yang akan berlangsung di Labuan Bajo pada 10-11 Mei 2023.
Dalam jumpa pers itu, Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha mengatakan pemerintah sudah mengirimkan nota diplomatik kepada Myanmar untuk mengupayakan pembebasan 20 warga Indonesia yang menjadi korban online scam di Myawaddy.
Dia menambahkan Kementerian Luar Negeri Myanmar sudah menjawab nota diplomatik yang disampaikan Kementerian Luar Negeri Indonesia.
“Berdasarkan informasi dari otoritas Myanmar, ke-20 WNI kita tersebut tidak tercatat dalam data keimigrasian Myanmar. Jadi memang kita duga mereka masuk melalui wilayah Thailand dan menyeberang ke Myanmar melalui jalan ilegal sehingga tidak masuk ke dalam data keimigrasian Myanmar,” ujar Judha.
Ia menegaskan upaya pemerintah untuk menyelamatkan 20 warga Indonesia menjadi korban online scam di Myanmar terus dilakukan.
Judha menambahkan bahwa belakangan terjadi lonjakan kasus online scam yang sangat signifikan. Di Kamboja saja, jumlahnya meningkat lebih dari delapan kali lipat. Pada 2021, pemerintah menangani 119 kasus, kemudian lebih dari 800 kasus pada 2022.
Menurut Judha, hal tersebut menjadi peringatan bagi semua pihak di Indonesia. Bukan sekadar menangani warga Indonesia menjadi korban online scam di luar negeri, tetapi bagaimana mencegah mereka agar tidak menjadi korban.
Dia menjelaskan modus perekrutan online scam ini dilakukan melalui media sosial. Yang ditawarkan sebagian besar adalah bekerja di bagian layanan konsumen dengan gaji $1.000-$1.200 atau sekitar Rp14,7 juta-Rp17,6 juta tanpa meminta kualifikasi khusus.
Kemudian mereka berangkat ke negara tujuan tidak dengan menggunakan visa kerja dari kedutaan besar negara bersangkutan di Jakarta. Namun, menggunakan fasilitas bebas visa untuk kunjungan wisata sebagai sesama negara anggota ASEAN. Selain itu, ada yang berangkat dengan biaya sendiri atau dibiayai oleh perekrut.
Judha meminta warga Indonesia untuk berhati-hati terhadap modus-modus tersebut, terutama ketika ditawarkan bekerja di wilayah Kamboja, Thailand, Myanmar, Laos, dan Filipina. Dia menambahkan 20 warga Indonesia korban online scam sebenarnya tidak ditawarkan bekerja di Myanmar, tetapi di Thailand. Namun, mereka kemudian dibawa secara ilegal ke Myanmar.
Dia mewanti-wanti untuk berhati-hati terhadap tawaran bekerja melalui media sosial dengan gaji tinggi, tanpa syarat khusus, dan tanpa visa kerja. Selain itu, juga ada warga Indonesia yang memaksakan diri meski sudah paham risikonya.
Judha mencontohkan, Kementerian Luar Negeri dengan KBRI di Ibu Kota Vientiane sudah memulangkan 15 warga Indonesia yang menjadi korban online scam di Laos. Ternyata, sebelas orang di antaranya berangkat kembali ke luar negeri dan bekerja di perusahaan online scam lagi.
Terkait langkah pencegahan, menurut Judha, Kementerian Luar Negeri memberikan data-data paspor korban online scam ke Direktorat Jenderal Imigrasi untuk dilakukan pengawasan. Akun-akun media sosial yang menawarkan tawaran kerja online scam sudah dilaporkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika agar ditutup.
Upaya pencegahan lainnya adalah melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat umum dan pemerintah daerah agar waspada terhadap tawaran bekerja di luar negeri. Yang berangkat bekerja di luar negeri untuk perusahaan online scam adalah anak-anak muda yang memahami media sosial dan aktif di Internet.
Koordinator Bantuan Hukum Migrant Care Nurharsono berpendapat untuk mencegah perekrutan secara ilegal, Kementerian Ketenagakerjaan harus bekerja sama dengan Kementerian Desa Tertinggal untuk memaksimalkan peran desa dalam melakukan upaya-upaya perlindungan pekerja migran di tingkat desa.
“Desa punya wewenang memberikan verifikasi dokumen agar jelas-jelas PMI (Pekerja Migran Indonesia, red) tersebut dari warga desa tersebut, kemudian ada pendataan, ada informasi mengenai tata cara bekerja ke luar negeri, mana yang resmi, PT-PT yang resmi mana, yang tidak resmi mana?” ujar Nur.
Selain itu, lanjutnya, pemerintah pusat juga harus bersinergi dengan pemerintah daerah agar otoritas daerah membuat balai latihan kerja di wilayah masing-masing. Adannya balai pelatihan kerja diharapkan dapat meningkatkan kualitas calon pekerja migran dan pemahaman mereka terhadap hukum yang berlaku di negara tujuan.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah