Moderasi Beragama sebagai Esensi Agama-agama

Diresensi oleh Zubairi Hasan

Judul Buku: MODERASI BERAGAMA Tanggapan atas Masalah, Kesalahpahaman, Tuduhan dan Tantangan yang Dihadapinya
Penulis: Lukman Hakim Saifuddin
Penerbit: Yayasan Saifuddin Zuhri, Cetakan ke-4, Januari 2023

SEBELUM membaca buku ini, siapkan secangkir kopi panas atau segelas teh hangat. Jangan lupa cemilannya: kacang rebus atau aneka kue khas Nusantara. Di atas segalanya, posisikan diri Anda sebagai orang Indonesia yang mempunyai kesadaran akan kemajemukan agama. Selanjutnya, Insya Allah, Anda akan menikmati buku ini dengan enak, dari awal sampai akhir.

Yah, buku ini akan memperkuat sikap kita yang memilih hidup dengan penuh kesadaran akan kemajemukan dan keragaman.

Lebih dari itu, buku ini akan memandu kita bagaimana hidup moderat, di tengah tarikan antara tekstualisme dan kontekstualisme.

Lukman Hakim Saifuddin (LHS) dalam buku ini menjelaskan: “Moderasi beragama adalah ikhtiar beragama yang tidak berlebihan, sehingga tak melampaui batas. Dalam keterbatasannya memahami sumber rujukan utama ajaran agama, yaitu kitab suci, manusia berpotensi untuk berada dalam posisi yang terlalu di sudut, kelewat di pinggir sehingga mudah tergelincir. Posisi itu bisa berupa terlalu bertumpu pada teks semata, tanpa memperhatikan konteks. Bisa juga terlalu bebas tanpa batas menggunakan akal pikiran sampai mengabaikan teks.” (Halaman 9-10).

Mungkin akan muncul pertanyaan: apakah dengan melaksanakan moderasi beragama kita terjamin sudah melaksanakan ajaran agama? Atau dengan bahasa lain, apakah moderasi beragama merupakan esensi ajaran agama-agama yang ada di Indonesia?

LHS menjawab bahwa moderasi beragama adalah esensi ajaran agama, yang menjadi keniscayaan bagi individu untuk mendapatkan kedamaian dan pencerahan, sebagaimana juga menjadi keniscayaan bagi masyarakat untuk menggapai kerukunan dalam beragama (Halaman 11).

Dengan mempraktikkan moderasi beragama, lanjut LHS, kita akan bersikap terbuka, berpikir rasional, dan bertindak bijak. Kita juga akan selalu bersikap rendah hati, adil, dan memberi manfaat (Halaman 63).

Dengan keniscayaan individual dan sosial, serta dengan dampak posisifnya, LHS berani mendeklarasikan bahwa seseorang yang melaksanakan moderasi bergama dapat saja untuk mempertahankan sikap radikal (mengakar), fundamental (mendasar/mendalam), fanatis (dengan kepercayan kuat). dan konservatif (menjaga kemurnian) dalam beragama, karena sudah pasti ia dapat mencegah dampak negatifnya, berupa sikap merasa paling benar sendiri dan lalu menyalahkan kelompok lain (Halaman 224).

Dengan penjelasan di atas, rasanya tak ada alasan lagi untuk menolak tesis besar LHS: moderasi adalah esensi ajaran agama-agama yang ada di Indonesia.

Bagi orang Islam, tesis LHS akan mudah diterima. Reputasi LHS sebagai santri (alumni Pondok Modern Gontor), sebagai sarjana muslim, apalagi sebagai mantan Menteri Agama, manjadi penopang tesis itu. Ditambah lagi dengan argumentasi-argumentasi dalam buku ini yang semuanya sangat memperkuat keyakinan kita bahwa moderasi beragama adalah esensi dari ajaran agama Islam.

Lalu bagaimana dengan umat lain? Mungkin inilah kelemahannya. Buku ini belum banyak membahas argumen teks dan konstekstual moderasi beragama dari sisi agama-agama lain di luar Islam.

Namun mengingat keterbatasan waktu dan maqam penulis sebagai sarjana muslim, bukan sebagai sarjana perbandingan agama atau sarjana agama-agama, maka kekurangan itu dapat dimaklumi. Lebih dari itu, kelemahan itu justru menjadi undangan bagi sarjana agama-agama lain untuk menguji tesis tadi.

Selamat menguji dan berkarya!

Tangerang, 10 Mei 2023

Penulis adalah alumnus UIN Syahid Ciputat Jakarta