Warganet Respons Negatif Manuver Jokowi soal Pilpres

Presiden Jokowi menerima tamu Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada hari pertama Lebaran di kediamannya. Warganet memberikan tanggapan negatif terhadap langkah Jokowi yang mengundang enam pimpinan parpol untuk membahas koalisi. (Foto: BPMI Setpres/Lukas)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Pada 2 Mei 2023, Presiden Joko Widodo mengundang enam pimpinan partai ke Istana Negara untuk membahas koalisi menghadapi Pemilihan Presiden 2024. Warganet memberikan tanggapan negatif terhadap langkah Jokowi tersebut.

Ada lebih 2.400 perbincangan warganet di platform Twitter, bersamaan dengan pertemuan Jokowi dan enam pimpinan partai koalisi di Istana Negara pada 2 Mei 2023. Sehari kemudian, jumlah perbincangan meningkat menjadi 2.800 dan terus meroket hingga 6 Mei, sebelum pelan-pelan turun seiring memudarnya isu tersebut. Total ada sekitar 16 ribu perbincangan warganet yang dianalisa oleh lembaga analisa data Continuum terkait manuver Jokowi ini.

Lembaga tersebut mencatat, salah satu pusat perbincangan warganet dalam isu ini adalah cuitan mantan wakil menteri hukum dan HAM, Denny Indrayana. Dia mempertanyakan ketidaknetralan Presiden yang dinilainya ikut cawe-cawe dalam urusan Pilpres 2024. Analis data Continuum, Maisie Sagita, memaparkan pihaknya menganalisa cuitan dengan pusat pertanyaan, apakah wajar presiden memanggil ketua umum partai politik ke istana untuk urusan pilpres.

“Kami mendapatkan bahwa, 92 persen masyarakat di internet mengeluhkan tindakan Jokowi yang memanggil ketua umum partai politik. Dari sekitar 16 ribu perbincangan tersebut, 92 persen menganggap itu tidak wajar,” ujar Maisie.

Dari 92 persen cuitan warganet yang tidak setuju langkah Jokowi, alasan terbesar yang muncul adalah karena mereka berpendapat presiden seharusnya bersikap netral, dan tidak menggunakan istana untuk kepentingan pribadinya. Sekitar 80 persen warganet yang tidak setuju menggunakan alasan ini.

“Alasan lain adalah mengapa Jokowi tidak mengundang Partai Nasdem. Kesannya, seolah-olah mereka sedang bermusuhan, dan Nasdem bukan bagian dari koalisi pemerintahan lagi,” papar Maisie.

Sementara delapan persen warganet yang merasa bahwa tindakan Jokowi itu wajar, beralasan presiden memang wajib cawe-cawe sesuai sumpah jabatannya. Presiden, menurut minoritas warganet ini, harus ikut mengarahkan siapa saja tokoh yang memiliki semangat dan jiwa nasionalisme dan akan berlaga di 2024.

Jokowi Aktor Utama

Pendiri The Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik Junaidi Rachbini menyebut langkah Jokowi ini menjadikan dia tokoh pusat dalam Pilpres 2024.

“Menjelang pilpres dan masa pilpres nanti, aktor yang paling utama ada di sentral pilpres ini bukan calon-calon presidennya. Tapi Joko Widodo, sebagai presiden maupun sebagai pribadi politisi. Jadi campur aduk antara keduanya,” kata Didik.

Manuver Jokowi juga menjadi masalah karena ada persoalan etika politik di dalamnya. Didik yang juga Rektor Universitas Paramadina mengingatkan begitu terpilih sebagai presiden, Jokowi adalah negarawan. Dia bukan hanya milik satu golongan atau partai, tetapi seluruh pihak.

Memang tidak ada persoalan hukum dalam langkah ini, tetapi jika dikaji secara etik akan ada masalah. Didik memberi contoh, meludah di tengah sebuah pertemuan bisa jadi tidak melanggar hukum, tetapi ada etika yang dilanggar pada tindakan itu.

Persoalan lain adalah terkait warisan atau legacy Jokowi sebagai presiden. Dalam demokrasi, seorang presiden tidak perlu memutuskan mengenai siapa yang akan menjadi penerusnya, sebagaimana yang terjadi di sebuah kerajaan. Demokrasi, kata Didik, membutuhkan keadilan.

“Dan fairness ini dirusak oleh Presiden, dengan cara dia terlibat langsung membangun koalisi, Memanggil ketua umum-ketua umum partai. Mendorong kesana, mendorong kemari, menimbang-nimbang dan seterusnya, dan seperti bersaing dengan Ibu Megawati. Bersaing seperti ketua partai,” tegas Didik.

Fenomena inilah yang menjadi salah satu bentuk kemunduran demokrasi. Presiden-presiden Indonesia di masa depan, menurutnya, akan cenderung melakukan manuver yang sama.

Didik mengatakan, “Dia akan melakukan politik praktis, menggunakan sumber daya negara, untuk politik-politik praktis, bukan politik kenegaraan dan kebangsaan, untuk kepentingan diri dan kelompoknya.”

Kritik serupa disampaikan Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES, Wijayanto. Dia menyesalkan, tidak ada cukup kritikan keras disampaikan terkait manuver presiden Jokowi.

“Ada seorang presiden yang aktif, yang masih menjabat, yang saya pikir semua tahu dengan jelas, berpihak kepada tokoh-tokoh tertentu. Makanya ada istilah kingmaker, ada istilah all president’s men. Namun, tidak ada yang membicarakan hal itu. Kalau adapun minor,” paparnya.

Langkah memanggil pimpinan partai koalisi, tanpa kehadiran Nasdem, menimbulkan reaksi negatif di publik. Wijayanto mengatakan, akan ada pertanyaan terkait posisi partai itu. Apakah mereka adalah koalisi pemerintahan saat ini, ataukah koalisi dalam Pemilu 2024.

“Karena, kalau koalisi yang mendukung Jokowi sebagai presiden, maka seharusnya harus ada Nasdem di sana,” tambahnya.

Wijayanto juga mengatakan, jika koalisi yang dimaksud pada pertemuan 2 Mei 2023 adalah untuk Pilpres 2024, maka patut dipertanyakan tentang tindakan Presiden.

“Apakah sah, seorang Presiden yang masih menjabat, kemudian pekerjaannya justru bukan pekerjaan yang diamanatkan konstitusi, untuk mengawal dijalankannya demokrasi, melalui pemilihan umum yang jujur dan adil,” tandasnya.

Presiden seharusnya netral dalam pemilu, kata Wijayanto, karena presiden mendapatkan mandat publik melalui Pemilu yang sah oleh konstitusi. Konsekuensinya, dia diminta menggunakan pengaruh dan kekuasaannya, untuk seluruh rakyat tanpa kecuali. Termasuk di dalamnya adalah menghadirkan Pemilu yang demokratis.

Masyarakat akan sangsi ketika melihat presiden berpihak. Padahal dia adalah pemimpin tertinggi militer, pemimpin tertinggi kepolisian, memimpin para menteri, dan semua aparatur negara. Jika presiden secara terbuka mendukung salah satu calon dalam pemilu, dikhawatirkan akan mempengaruhi pilihan mereka yang ada di bawah kepemimpinannya itu.

Selain itu, penggunaan istana sebagai aset milik publik, untuk lokasi pertemuan politik semacam itu juga dinilai tidak etis.

Pertemuan Dinilai Wajar

Di sela kunjungan pada 4 Mei 2023, Jokowi menjawab sejumlah pertanyaan terkait pertemuan dengan pimpinan partai koalisi, dua hari sebelumnya. Termasuk, mengapa Nasdem, yang sampai saat ini masih menjadi pendukung pemerintah di kabinet dan parlemen, tidak diundang.

“Ya memang tidak diundang. Nasdem itu ya kita harus bicara apa adanya, kan sudah memiliki koalisi sendiri dan ini gabungan partai yang kemarin berkumpul itu kan juga ingin membangun kerja sama politik yang lain,” kata Jokowi seperti ditayangkan akun media sosial resmi Sekretariat Presiden.

Jokowi menilai, apa yang terjadi adalah sebuah kewajaran dalam politik. Dirinya, selain sebagai pejabat publik, adalah juga politisi yang berhak berbicara dalam persoalan-persoalan politik juga.

Pertemuan tiga jam itu, lanjut Jokowi membincangkan banyak persoalan.

“Utamanya yang berkaitan dengan politik negara ke depan, tantangan akan seperti apa dan itu butuh kepemimpinan nasional dengan leadership yang kuat, yang dipercaya oleh rakyat, dipercaya dunia internasional, dipercaya investor,” terang Jokowi.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah