Peneliti Australia Berhasil Ungkap Penyebab Perilaku OCD

ILUSTRASI – Para peneliti di Queensland, Australia telah menemukan lebih banyak bukti untuk menjelaskan alasan sebagian orang menderita OCD. (Foto: JENS SCHLUETER / AFP)

J5NEWSROOM.COM, Queensland – Dari berulang kali mencuci tangan, memastikan lagi dan lagi bahwa pintu sudah dikunci, hingga mengecek kompor sudah dimatikan berkali-kali. Para peneliti di Queensland, Australia telah menemukan lebih banyak bukti untuk menjelaskan alasan sebagian orang menderita OCD. Mereka berharap dapat menemukan lebih banyak pengobatan yang efektif mengatasi kondisi yang memengaruhi setengah juta warga Australia itu.

Gangguan obsesif-kompulsif, alias OCD, dapat terwujud dalam banyak bentuk yang menganggu kehidupan penderitanya.

Peter Bell tumbuh besar dengan semua tanda-tanda khas penderita OCD. Ia terus menerus bersih-bersih, serta kerap memeriksa berkali-kali gerak-geriknya. Baginya, gangguan itu juga terwujud dalam bentuk pikiran mengganggu yang terus-menerus menjebaknya dalam siklus perilaku yang melumpuhkan.

“Tidak ada jalan keluar adalah istilah yang suka saya gunakan. Dalam keadaan cemas terus-menerus,” jelasnya.

Lima tahun lalu, pada usia 38 tahun, ia akhirnya didiagnosis menderita OCD.
Kini, Bell mampu mengendalikan gejala-gejalanya. “Melalui pengobatan dan kemajian ilmu pengetahuan, saya merasa hidup saya benar-benar dimulai kembali dalam berbagai cara.”

Penelitian terbaru tentang gangguan tersebut berhasil menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam pikirannya.

Penelitian institut studi kedokteran QIMR Berghofer membandingkan hasil pemindaian otak pasien yang sehat dengan pasien penderita OCD. Hasilnya menunjukkan bahwa kemungkinan besar alasan di balik gangguan kecemasan itu adalah ‘ketidakseimbangan’ dalam ‘jalur pemberian isyarat, jauh di dalam otak,’ seperti kata para ilmuwan di balik penelitian itu.

Luca Cocchi dari QIMR Berghofer menuturkan, “Penelitian kami secara spesifik tidak hanya mereplikasi apa yang telah ditunjukkan dalam penelitian sebelumnya, tetapi juga memberikan sejumlah wawasan baru tentang mekanisme yang dapat dikaitkan dengan ketidakseimbangan antara wilayah otak yang berbeda ini.”

Langkah selanjutnya bagi para peneliti adalah melakukan beberapa uji klinis yang melibatkan pengobatan stimulasi otak yang sudah berhasil membantu pengobatan depresi, membuat hidup sedikit lebih mudah bagi mereka yang menghadapi gangguan obsesif-kompulsif.

“Itu semua memungkinkan kami melanjutkan penelitian dan mencoba mengembangkan intervensi yang dapat memulihkan ketidakseimbangan di otak ini dengan cara yang lebih terarah,” imbuhnya.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah