J5NEWSROOM.COM, Kupang – Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mendorong masyarakat bersiap menghadapi musim kemarau yang lebih kering. Upaya mitigasi dilakukan dengan menghemat pemakaian air bersih dan penggunanan varietas tanaman yang toleran kekeringan di sektor pertanian.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTT Ambrosius Kodo mengatakan, berdasarkan kajian resiko bencana, seluruh wilayah kabupaten dan kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur sudah memasuki musim kemarau. Namun musim kemarau tahun ini diperkirakan akan lebih kering karena bersamaan dengan fenomena El Nino. Situasi itu dikhawatirkan akan memunculkan bencana ikutan lainnya berupa kebakaran hutan dan lahan.
“Sesuai dengan kajian bencana kita wilayah dampak kekeringan itu hampir di semua 22 kabupaten dan kota. Hanya pada spot-spot tertentu yang memang kantong-kantong air seperti di Manggarai Barat ada spot tertentu, di Ngada kemudian di daratan timur di Malaka, di daratan Sumba di Sumba Barat Daya, hanya beberapa spot saja, sementara sebagian besar itu terancam kekeringan,” kata Ambrosius di hubungi VOA dari Jakarta, Senin (29/5/2023).
Pemerintah Provinsi NTT mengimbau setiap rumah tangga untuk melakukan upaya mitigasi, antara lain dengan menghemat pemakaian air bersih. Para petani juga diharapkan beradaptasi dengan menanam tanaman yang toleran terhadap kekeringan agar terhindar dari kemungkinan gagal panen.
Pemerintah Provinsi NTT sejak 26 April 2023 telah menetapkan status siaga darurat bencana kekeringan serta kebakaran hutan dan lahan. Seturut dengan itu juga telah dibentuk satuan tugas penanganan kebakaran hutan dan lahan di NTT sebagai wadah kolaborasi dan kerja sama untuk mencegah kebakaran lahan.
“Walaupun data memang sudah dari 2022 kebakaran hutan di NTT itu nol, tetapi kebakaran lahan kita terus terjadi,” kata Ambrosius seraya menambahkan hingga Maret 2023 ini terdapat 99 hektare lahan yang terbakar.
Berstatus Waspada
Koordinator Stasiun Klimatologi Kelas II Nusa Tengga Timur, Fera Adrianita kepada VOA menjelaskan berdasarkan analisis update 20 Mei 2023, seluruh zona musim di NTT telah berada dalam periode musim kemarau. Sebanyak 19 kabupaten dan kota berstatus waspada karena sudah 21 hari tidak turun hujan sama sekali. Sementara dua kabupaten lain, yaitu Alor dan Sumba Timur berstatus siaga.
“Yang berstatus siaga itu ketika hari tanpa hujannya lebih dari 30 hari sudah tidak terjadi hujan dan peluang curah hujan di bawah 20 milimeter per dasarian lebih dari 70 persen,” jelas Fera Adranita, Selasa (30/5).
Diprakirakan peluang curah hujan di bawah 20 milimeter di wilayah NTT lebih dari 70 persen hingga dasarian 1 Juni 2023.
Kondisi itu akan berdampak pada sektor pertanian dengan sistem tadah hujan dan berkurangnya ketersediaan air tanah sehingga menyebabkan kelangkaan air bersih dan rentan kebakaran.
Dampak Krisis Iklim
Organisasi Save the Children Indonesia mengingatkan kekeringan menjadi penegasan dampak krisis iklim yang semakin memburuk setiap tahunnya. Dalam konteks kekeringan, anak-anak akan menghadapi dampak berkelanjutan, seperti ancaman kesehatan dan kesejahteraan. Ancaman gagal panen para petani akan membuat hilangnya sumber pendapatan keluarga yang juga berpengaruh pada pendidikan anak-anak.
“Ini penegasan sebenarnya bahwa perubahan iklim itu terjadi, sangat lebih cepat dari seharusnya. Musim hujan tahun kemarin kan biasanya kita dapat di bulan ber-ber ya (Oktober, November, Desember.red), itu dapat di bulan Agustus, sekarang musim kering biasanya dapat di bulan April, ini dapatnya di bulan Maret. Jadi NTT ini sudah dapat, musim kering, dari kemarin-kemarin,” kata Direktur Humanitarian dan Resilience Save the Children Indonesia, Fadli Usman.
Organisasi itu memperkirakan setidaknya 3,5 juta anak berisiko terdampak kekeringan ekstrem di berbagai provinsi di Indonesia.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah