Oleh Muchid Albintani
BERLEBARAN ke rumah pak latif
tanjungpinang berjuluk kota bestari
lembaga yudikatif menjadi legislatif
bukti negeri hilang jatidiri
Membeli juadah di kota bekasi
pergi berlibur ke pulau bali
inikah pertanda negeri proksi
para negarawan hilang kendali
Buah manggis buah rambutan
digigit lelawar sakit tenggorakan
siapa lagi akan dikorbankan
warga kritis jangan diprodeokan
Secara konseptual terasa susah menghubung-kaitkan antara sandiwara yang disamapadankan dengan sebuah ‘tragedi’, dan konstitusi. Jika pun merujuk KB2I (kamus besar bahasa Indonesia), tetap saja perlu ada peristiwa aktualnya.
Menurut KB2I, sandiwara dimaknai sebagai berikut:
1. Pertunjukan lakon atau cerita (yang dimainkan oleh orang).
2. Perkumpulan drama (teater, tonil).
3. Kejadian (politik dan sebagainya) yang hanya dipertunjukkan untuk mengelabui mata, tidak sungguh-sungguh.
Sedangkan tragedi dimaknai sebagai:
1. Sandiwara sedih (pelaku utamanya menderita kesengsaraan lahir dan batin yang luar biasa atau sampai meninggal).
2. Peristiwa yang menyedihkan.
Sementara konstitusi dimaknai sebagai:
1. Segala ketentuan dan aturan tentang ketatanegaraan (undang-undang dasar dan sebagainya).
2. Undang-undang dasar suatu negara. Yang menarik dari konstitusi karena selain dimaknai sebagai UUD, diikuti pula kata dan sebagainya. Dan sebagainya inilah peluang peristiwa aktual kebersamaan (simultan) antara sandiwara sebagai sebuah tragedi, dan konstitusional (sebuah produk reguliasi berlandaskan/sesuai konstitusi) menjadi satu kesatuan ‘tragedi konstitusional’.
Mengklid-klindankan keadaan kekinian (aktual), tidak berlebihan jika “tragedi konstitusional” dimaknai sebagai pertunjukan lakon-cerita ihwal keputusan dari sebuah lembaga kenegaraan. Lembaga atau institusi negara yang memutuskan perkara prihal uji matari sebuah regulasi terkini headline-viral (pendek yang dipanjangkan, dan atau perpanjangan).
Sudah menjadi rahasia umum jabatan lima tahun yang diberikan (diperpanjang) tidak salah jika memunculkan dugaan bagian dari “gratfikasi jabatan”. Jikalau hujahnya penambahan dialtari diskriminasi. Lalu pertanyaannya: bagaimana dengan lembaga tempat berkumpulnya “sembilan orang negarawan” yang mendapat perpanjangan belasan tahun?
Pertanyaan ini umumnya bersumber dari kalangan intelektual yang ahli di bidang hukum tata negara. Sungguh sulit sekali membantahnya manakala diskriminasi dijadikan altar sumber hukum tata negara. Padahal uji materi bertempat pada lembaga ketatanegaraan yang diayomi tentu saja oleh pada ‘negarawan’.
Tulisan ini sebagai sumbang-pikir berupaya mengulas-hikmahnya. Ulas-hikmah bukan dimaksudkan menasehati apalagi mengadili. Bukan. Sekali lagi bukan. Jelas, mengadili adalah tugas mulia para hakim (negarawan) konstitusi.
Sebagai warga negara (masyarakat umum), tidak berlebihan menjadi bagian menyampaikan pesan amanah konstitusi sekaligus mengingatkan bahwa dalam pembukaan UUD 1945 terdapat lanskap (landasan kokoh, pancang) cara bernegara. Yakni mencerdaskan bangsa. Oleh karena itu, elok bijak walaupun kapasitas hanya mengingatkan, tentu tidak terlepas sebagai bagian sumbang-pikir anak bangsa negeri ini.
Riak ritme bersagang berbagai fenomana respon-ragam pendapat yang mengemuka terkait hasil yang diputuskan para hakim konstitusi tersebut, kata kunci berupa pertanyaan: Masih adakah negarawan? Mohon maaf di negeri yang “hampa negerawan”, mustahil akan mempunyai solusi strategis melepaskan beban yang teramat sangat berat dari semua watak serakah, manipulatif, gratifikatif pun juga koruptif.
Bahasa agak lebih ilmiahnya, negeri “hampa negarawan” mustahil sanggup “mengusir kaum oligar-ortodok”. Kaum yang selalu membayang-bayangi “penguasa boneka”. Kaum model ini disebut dengan oligar-korporatokrasi. Jika ingin terkesan lebih akademis-ilmiah silakan ditelusur maknanya. Sudah banyak literatur yang membahas-jelaskannya.
Ulas-tutup sumbang-pikir ini, jujur kebingung-bimbangan untuk menjawab pertanyaan yang hanya berbentuk dugaan. Maaf, bukan tuduhan ya. “Jangan-jangan semua ini bagian dari sebuah “sandiwara kolosal” yang sejak lama sudah disediakan sutradaranya. Sementara skrip, skenario, para pelakor, eh salah, pelakon (aktor-aktris), dan penulis juga orang yang sama.
Benar jika fitnah itu keji. Kalau bertanya tentu saja tidak. Artinya, bertanya boleh-boleh saja kan? Pertanyaannya: Siapa sutradaranya? Dari dalam atau dari luar? Apakah terdapat hubungan dengan kata poros pun dua ribu dua empat?
Jangan sampai “sandiwara konstitusi” ini berubah menjadi “Tragedi Konstitusional”. Kasihan anak bangsa negeri ini.
Wallahualam bissawab.*