Tidak Selalu Hitam Putih

Hendry Ch Bangun

Oleh Hendry Ch Bangun

SAYA berdiskusi dengan seorang teman pimpinan media di daerah. Dia mengeluhkan soal kemitraan dengan pemerintah di kabupaten kota yang tidak jelas ukurannya dalam kerjasama pencitraan kegiatan Bupati dan Walikota atau organisasi perangkat daerah (OPD).

“Kadang percuma status media kita terverifikasi faktual. Jumlah iklan kerjasama kami kalah jauh sama media siber yang dikelola seadanya, bahkan tidak terverifikasi administrasi,” ujarnya.

“Seharusnya Dewan Pers membuat surat edaran agar kerjasama diprioritaskan dengan media yang manajemennya sesuai standar.”

Sebaliknya ada teman lain yang mengeluh, diputus kerja sama dengan pemerintah daerah sejak nama medianya tidak lagi ada di situs dewanpers.or.id karena dalam uji petik dianggap tidak memenuhi syarat dan ketika diminta memperbaiki tidak diupdate. Ada yang kontrak diputus, bahkan ada tayangan sudah dimuat tetap tidak bisa ditagih.

Sebagaimana Peraturan Dewan Pers No.1 tahun 2022, Dewan Pers berhak melakukan uji petik setiap saat, dan kalau media yang dicek dianggap meragukan, diminta memberi data baru, memperbaiki konten, dan seterusnya. Bila dalam jangka waktu tertentu tidak dilakukan, status diturunkan, terdegradasi. Media mana yang dijadikan kelinci percobaan ini, tidak jelas kriterianya. Apakah berdasarkan pengaduan, atau sekenanya, belum ada ketentuan dari peraturan di atas.

Yang jelas, kalau sudah masuk radar uji petik, siap-siap saja mendapat nasib buruk, karena sudut pandang Dewan Pers saat ini sudah lebih sebagai regulator –bahkan saya pernah sebut Deppen zaman Orde Baru—padahal mestinya semua aturan harus atas kepentingan media massa, yang organisasinya menjadi konstituen Dewan Pers.

Soal hubungan langsung status terverifikasi dan kerjasama iklan ini adalah masalah klasik dan akan selalu ada karena kondisi yang ada: media terus tumbuh sebaliknya anggaran pemerintah daerah yang terbatas. Belum lagi ditambah kenyataan semakin besarnya peran media sosial dengan konten berita seperti Youtube, Instagram, Facebook, Tiktok, dalam mencapai target audiens yang selama ini seperti milik media massa.

***

Poin penting verifikasi adalah bahwa perlu ada aturan untuk menjadikan media massa dikelola secara profesional oleh wartawan kompeten taat Kode Etik Jurnalistik sesuai dengan Undang-Undang Pers. Dengan demikian maka diharapkan karya jurnalistiknya sesuai standar, dan yang tidak kalah penting bermanfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan publik.

Mengapa dibuat aturannya oleh Dewan Pers karena banyaknya keluhan dari masyarakan atas kinerja media yang pemberitaanya sesuka hati, tidak menghargai privasi, main tuduh tanpa konfirmasi, beritanya tidak sesuai standar dan KEJ, dan seterusnya, dan bahkan kerap menjadi berita sebagai alat pemerasan.

Keadaan ini disebabkan mudahnya membuat media, tidak ada kewajiban lagi wartawan menjadi organisasi tunggal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang syarat-syaratnya ketat, seperti ditetapkan dalam UU Pers. Disinyalir ada 40-an media massa meskipun ketika coba dilakukan survei di lapangan, jumlahnya masih di hanya belasan ribu saja.

Dengan adanya status terverifikasi, maka masyarakat dapat memilih media yang sudah diperiksa baik pengelola dan pengelolaannya, serta isinya, dan dinyatakan oke oleh Dewan Pers. Istilahnya waktu itu status terverifiksi seperti label Halal atas produk atau tempat makan. Orang tidak lagi ragu dan bertanya sebelum menikmati hidangan. Tapi kalaupun mau makanan makanan yang tidak halal, ya terserah juga. Status itu hanya semacam pemberitahuan.

Belakangan pemerintah provinsi dan kabupaten kota mengadopsi status baik seluruhnya ataupun sebagian  itu untuk memudahkan kerjasama kemitraan dengan media. Ada yang menjadikannya sebagai Pergub, Perbup, Perwali, atau sejenisnya, sebagai panduan bagi OPD yang menjadi pelaksana proyek kemitraan media. Seperti jalan pintas untuk menyelesaikan kegaduhan atas persoalan yang ada.

Jalan ini dilakukan karena banyak staf Dinas Kominfo yang putus asa menghadapi permintaan dari pengelola media yang tidak henti-hentinya. Semua ingin dapat, padahal kualitas medianya jauh berbeda. Semua ingin dapat padahal anggaran terbatas. Belum lagi terror mereka yang sudah merasa senior, dekat dengan pejabat, tim sukses, atau utusan anggota DPRD, yang membuat banyak staf stress.

Dalam beberapa diskusi dengan utusan provinsi dan kabupaten kota sebelum regulasi itu dibuat Dewan Pers pada waktu itu bersikap fleksibel, artinya sesuaikanlah kerjasama dengan kebutuhan daerah masing-masing. Ikuti Undang-Undang Pers, kemudian Peraturan Dewan Pers tentang Standar Perusahaan Pers, tetapi yang sangat penting juga manfaat dari kerjasama yang dijalin dengan media dimaksud. Pada kenyataannya kebanyakan Pergub, Perbup, Perwalkot, dan sejenisnya semacam copy paste atas kebijakan yang lahir sebelumnya.

Pemerintah daerah menjadi dalam posisi serba salah. Di satu sisi diserang media yang belum terverifikasi apabila mereka telah membuat aturan tetap dan hanya melayani media yang telah diakui Dewan Pers tata kelola dan karya jurnalistiknya. Di sisi lain dikomplain media terverifikasi karena tidak sedikit pula kerjasama kemitraan dilakukan karena faktor X, bukan karena status yang telah diakui Dewan Pers. Seperti buah simalakama.

Menurut saya hal ini bisa diatas apabila ada diskusi antara pemerintah daerah dan pengelola media di daerah masing-masing, dengan melibatkan organisasi perusahaan pers dan difasilitasi oleh Dewan Pers. Buka-bukaan apa adanya, dengan tujuan mencapai sinergi kepentingan pemda dan kepentingan media massa.

Tentu ada syarat awalnya, media yang berpartisipasi minimal haruslah media yang berbadan hukum pers, dikelola wartawan yang bersertifikat kompetensi, bukan media asal-asalan yang tidak jelas. Apakah bisa terlaksana, tergantung dari pihak-pihak terkait, apakah menganggap masalah ini penting atau tidak. Menurut saya penting karena nantinya akan berujung pada terciptanya profesionalitas media dan akuntabilitas pemerintah daerah.

***

Berkali-kali bertemu dengan teman-teman dari Dinas Kominfo saya selalu mengingatkan bahwa hubungan mereka dengan media haruslah dijalin seperti hubungan seorang sahabat. Artinya meskipun berada dalam posisi yang berbeda, karena ada tupoksi masing-masing, tetapi karena niatnya adalah saling membutuhkan maka harus saling mengerti. Tidak bersikeras, menghindari ketegangan apalagi kalau sampai berujung konflik.

Berikutnya, hasil kerjasama harus saling menguntungkan, menaikkan portofolio masing-masing. Artinya pemerintah daerah merasakan bahwa pencitraan yang dilakukan melalui media membuat kinerjanya diketahui masyarakat banyak, pemerintah di pusat, sementara bagi media, advertensi atau berita yang dimuat memperlihatkan penggarapannya dilakukan sesuai standar profesional. Lebih jauh, media memberikan support sesuai kapasitasnya apabila ada krisis yang dialami pemerintah daerah misalnya terjadi bencana alam, letupan penyakit, sehingga fungsi informasi dan edukasi pers terlaksana.

Di samping itu kerjasama tidak harus selalu dengan standar-standar kaku. Di beberapa daerah saya perhatikan, karena ketokohan pengelolanya, meskipun belum terverifikasi media tersebut diberi iklan. Penyebabnya wartawan itu jelas rekam jejaknya, sehingga medianya meskipun dikelola secara sederhana, produk jurnalistiknya bermutu dan sesuai dengan khittah pers.

Sikap fleksibel dan tidak hitam putih ini perlu karena demikianlah hidup ini semestinya dikelola. Tidak perlu seperti lagu, kau di sana dan aku di sini, dibatasi garis demarkasi keras. Dalam masa kerja di Dewan Pers dan berkunjung ke daerah saya menemukan banyak menemukan media dikelola para idealis yang ingin menyuarakan kepentingan rakyat, ingin mengoreksi pemegang kekuasaan secara tegas namun dengan gaya yang santun, dan tidak tergoda iming-iming dalam bentuk apapun.

Seandainya kita semua menyadari bahwa siapapun di negeri ini bekerja untuk masyarakatnya, Saling menghargai posisi masing-masing, mengedepankan niat untuk maju bersama, mestinya tidak ada masalah yang tak terselesaikan. Apalagi soal sederhana seperti kemitraan pemerintah dengan media massa.

Wallahu a’lam bhisawab.

Ciputat 5 Juni 2022