LAPORAN Saibansah Dardani
“SESUAI dengan komitmen, kami akan tindak siapapun yang terlibat.”
Sembilan kata di atas sangat melegakan hati saya. Mengapa?
Karena rangkaian 9 kata itu keluar dari mulut seorang jenderal polisi bintang empat. Disampaikan secara terbuka kepada wartawan di sela kegiatan Rakernis Divisi Hubinter Polri di Serpong Tangerang, Banten, Rabu 31 Mei 2023 lalu.
Sembilan kata itulah sikap tegas Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo melawan praktik tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tidak perduli, apakah TPPO itu dilakukan orang perorang, atau jaringan mafia. Bahkan, jika melibatkan oknum berseragam sekalipun. Tidak perduli!
Sikap Jenderal Listyo Sigit Prabowo soal TPPO ini, jelas dan tegas. Siapa pun yang terlibat akan dilipat. Siapa pun. Artinya, tidak pandang bulu. Apa pun warna “bulunya”, semua akan diproses secara hukum hingga ke pengadilan. Sungguh, sekali lagi sembilan kata itu sangat melegakan hati saya.
Bagaimana tidak, sebagai wartawan yang concern dengan masalah-masalah perbatasan, sembilan kata Kapolri itu sudah lama saya tunggu. Bayangkan, sudah ratusan nyawa melayang sia-sia. Mereka yang meninggal, baik tenggelam di laut, maupun karena siksaan fisik, adalah saudara-saudara kita semua. Mereka anak bangsa Indonesia yang berjuang ingin mengubah nasib, mencari rezeki demi anak istri dan keluarga.
Di kampung halamannya, mereka sudah menjual harta benda, bahkan sawah warisan, untuk bisa bekerja di Malaysia. Mereka tidak paham aturan legalitas. Hanya tahunya membayar kepada orang yang dipercayainya. Setelah itu, mereka terlantar dan ditelantarkan. Bahkan, saat masih berada di Batam. Sebelum kaki mereka menginjak “tanah harapan”, Malaysia.
Ternyata, sesampainya di Malaysia, mimpi indah yang mereka harapkan itu buyar. Janji manis berbuah pahit. Gaji yang diimpikan hanya ilusi. Bahkan tidak sedikit yang tak digaji. Karena sang majikan tahu, bahwa mereka adalah “pendatang haram”. Tidak punya kekuatan hukum untuk protes atau melawan. Apalagi ini di negeri orang, Malaysia.
Lalu, ketika rindu kampung halaman dan ingin pulang kembali ke tanah air, nyawa pun mereka pertaruhkan. Beberapa pekerja Indonesia di Johor dan negara bagian lain Malaysia, menelpon saya untuk menanyakan bagaimana caranya bisa kembali ke Indonesia. Sementara, paspor mereka telah disita oleh mandor yang mengajak mereka kerja di Malaysia. Dan sang mandor pun telah menghilang bersama paspornya.
“Paspor saya dibawa mandor, terus mandornya sekarang sudah pindah kerja ke Vietnam,” kata seorang pekerja Indonesia di Johor, Andi, saat menelpon saya sebelum lebaran Idul Fitri 2023 lalu. Dia sudah kangen ingin pulang. Kangen kedua anak dan istrinya. Terutama, anak bungsunya, gadis kecil yang baru duduk di bangku taman kanak-kanak.
Kisah sedih semacam itu telah saya tulis dalam tiga judul buku: pertama, “The Border Wacthdog: Catatan Jurnalistik Saibansah” yang diterbitkan oleh PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Pusat tahun 2013. Buku ini juga memuat pengantar dari pengamat militer, Dr. Connie Rahakundini Bakrie.
Kedua, buku berjudul, “Tol Laut dari Natuna ke Papua” diterbitkan oleh Panitia Hari Pers Nasional (HPN) dan PWI Pusat tahun 2015. Dan buku saya yang ketiga, berjudul “Pahlawan di Jalur Tikus Kepri” yang juga diterbitkan oleh PWI Pusat tahun 2017.
Ketiga judul tersebut memuat ratusan judul berita dan feature saya tentang nasib warga Indonesia yang menjadi korban TPPO. Mereka semua diberangkatkan dari Batam menuju Malaysia. Sejak lebih satu dasawarsa lalu, praktik pengiriman tenaga kerja ilegal dari Batam itu terus berlangsung.
Di buku saya yang ketiga “Pahlawan di Jalur Tikus Kepri” saya menulis 29 judul berita dan feature. Di antara berjudul; “Sang Pahlawan di Jalur Tikus”, “Mereka ‘Menembak di Atas Kuda’ TKI Ilegal”, “Berhentilah Setor Nyawa ke Malaysia”, “Membongkar Jalur Sutera TKI Ilegal dan Tutup Jalur TKI Ilegal di Batam”.
“Tas mereka digeladah saat mendarat. Lalu, mereka dipaksa bayar uang “injak bumi” Rp400 ribu per kepala. Setelah itu, mereka ditampung di “safe house” sebelum diterbangkan ke Surabaya atau Jakarta. Begitulah “ritual” wajib para TKI ilegal saat kembali ke Tanah Air. Bagaimana mereka diperlakukan?
Untuk bisa kembali ke Tanah Air, adalah sebuah impian yang luar biasa. Diperlukan uang yang tidak sedikit untuk meraihnya. Paling minim, harus punya Rp10 juta dulu baru bisa pulang kampung. Kalau tidak? Jangan bermimpi.
Karena mereka akan berhadapan dengan berbagai pihak. Mulai dari oknum aparat berbaju coklat, berbaju hijau sampai dengan LSM yang labelnya justru bertujuan untuk melindungi mereka, para TKI itu.”
Demikian tiga alnea dari berita yang berjudul, “Mereka ‘Menembak di Atas Kuda’ TKI Ilegal”.
Kemudian, berikut ini adalah tiga alinea kutipan dari berita berjudul, “Berhentilah Setor Nyawa ke Malaysia”.
“Lagi, 13 nyawa bangsa Indonesia melayang sia-sia di perairan Malaysia. Mereka hendak mengadu nasib, mencari rezeki untuk keluarga di Malaysia. Tanpa dokumen kerja yang sah, ilegal. Ya, mereka memilih jalan hidup menjadi TKI ilegal. Kapal mereka pun karam dihantam ombak, Selasa (26/1/2016).
Peringatan Kepala Stasiun BMKG Batam, Philip Mustamu kepada para nelayan dan nahkoda kapal di perairan Kepri, agar berhati-hati gelombang tinggi tak berhasil mencegah tekong kapal mengantarkan TKI ilegal ke Malaysia. Dan kita pun semua dikejutkan dengan penemuan 13 mayat di perairan Johor Bahru Malaysia, Selasa (26/1/2016).
“Untuk aktivitas kelautan diimbau agar lebih berhati-hati terhadap gelombang laut yang tinggi di perairan Bintan, Tanjungpinang, Natuna dan Anambas serta arus laut yang kuat di wilayah perairan Kepulauan Riau,” kata Philip Mustamu, mengingatkan.”
Dan masih banyak kisah pedih, perih dan menyayat hati lainnya. Lebih dari satu dasawarsa saya menulis berita dan feature tentang perdagangan orang di Batam itu. Maka, ketika Jenderal Listyo Sigit Prabowo melontarkan 9 rangkaian kata tersebut, saya seolah merasa baru selesai minum kopi paling enak di dunia.
Setidaknya, saya bisa berharap praktik jaringan mafia TPPO di Batam akan kelar. Karena praktik TPPO inilah yang sampai menarik seorang Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD melakukan kunjungan kerja ke Batam, Rabu 5 April 2023 lalu.
Dalam kunjungan ini, profesor asal Madura itu bertemu dengan seorang pastor yang juga aktivis anti perdagangan orang, RD Chrisanctus Paschalis Saturnus di Shelter Komisi Keadilan, Perdamaian, dan Pastoral Migran-Perantau di Batam.
Apalagi, masalah TPPO ini telah dibahas secara khusus oleh Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa 30 Mei 2023 lalu. Presiden menyatakan akan melakukan restrukturisasi satgas tim tindak pidana perdagangan orang. Kemudian memerintahkan ada langkah-langkah cepat dalam sebulan ini untuk menunjukkan kepada publik, bahwa negara, kepolisian, TNI dan aparat pemerintah lain itu bertindak tepat dan hadir untuk TPPO ini.
Terakhir, terimakasih Jenderal Listyo Sigit Prabowo.