Puisi Wina Armada Sukardi

Wina Armada Sukardi

Pacul

Mata pacul yang senja itu kuletakan di garasi
tiba-tiba malam itu telah menempel di tengkukku.
Ujung besinya yang tajam terasa begitu dingin.
Dalam hitungan detik bergerak sedikit kepalaku dapat terpenggal.

Pacul  mendesakku mengakui  semua khianat dan kebejatan yang pernah kutanam.
Pacul juga menuntut agar aku segera mengumumkan telah banyak membunuh nyawa orang dan minta maaaf secara terbuka.
Ketika aku berpikir, pembunuhan mana yang pernah aku lakukan
jangana-jangan ini sekadar fitnah dan teror saja.
Seakan pacul mengerti isi otakku.

Pancul menerangkan, “Kau memang tidak langsung membunuh, tapi kelakuanmu, tindakannu, khianatmu telah menyebabkan sangat banyak orang sengsara  yang akhirnya melayangkan nyawa mereka.”

“Dan jangan lupa, dalam dua kali peralihan keluasaan,
kau bukan hanya mengetahui banyak perkara, melainkan juga terlihat
namun kau berlagak tak faham. Kau diam saja.

Ketika meletus penggulingan kekuasaan seputar tahun 1966 di zaman televisi masih hitam putih kau pun tahu, ratusan ribu orang mati tanpa diadili.
Sebagian lain hilang lenyap tanpa kabar.

Begitu juga manakala reformasi era 1998 saat layar ajaib telah penuh warna kau tahu ratusan pejuang demokrasi hilang tanpa rimba.
Kau jangan berpura-pura dungu.
“Mintalah maaf. Ungkapkan semuanya” kata Pacul.

Aku yang ngeri kepalaku putus dari badan
hanya dapat menyetujui permintaannya.

Besok pagi saat bangun, aku langsung seketika  menuju gerasi tempat pacul kuletakan.
Rupanya pacul masih tetap berada pada tempatnya.

Kukira aku cuma bermimpi belaka.
Namun  aku tersadar saat dari kudukku mengalir darah segar
dan kala kupegang, tercium bau amis dari cairan merah itu.*

Hotel Pullman, Jakarta, 14 Juni 2023.