J5NEWSROOM.COM, Jayapura – Pilot asal Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens, telah empat bulan lebih ditawan. Kabar berhembus bahwa Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) akan menunjuk juru runding guna penyelesaian krisis sandera ini.
Keyakinan terkait penunjukan juru runding oleh TPNPB itu disampaikan Ketua Perwakilan Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) Papua, Frits Ramandey, ketika berbincang dengan VOA, Senin (19/6/2023).
“Saya punya keyakinan bahwa TPNPB kelompok Egianus, melalui juru bicara Sebby Sambom, akan menunjuk orang menjadi juru runding. Saya punya keyakinan itu ya, dan kemungkinan dalam beberapa waktu akan ada orang yang mereka sebut,” tegas Frits.
Seperti diberitakan, Philip Mark Mehrtens yang merupakan pilot pesawat Susi Air nomor registrasi PK-BVY disandera oleh kelompok TPNPB di bawah pimpinan Egianus Kogoya. Pesawat Philip dibakar usai mendarat di Lapangan Udara Paro, Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Tengah pada 7 Februari 2023.
Sejauh ini memang belum jelas siapa pihak yang kira-kira akan diminta untuk menjadi negosiator. Namun, Frits yakin pihak itu akan bisa diterima, baik oleh TPNPB maupun pemerintah pusat.
Semakin hari upaya pembebasan Philip harus semakin diintensifkan. Diakui atau tidak, krisis penyanderaan ini telah menimbulkan krisis kemanusiaan, khususnya di wilayah Kabupaten Nduga. Eskalasi konflik yang meningkat menyebabkan ribuan warga harus mengungsi.
Frits mengatakan pemerintah pusat harus mengambil sikap dengan setidaknya mempersiapkan tim perwakilan. Selain itu, Frits menyarankan keterlibatan Pemerintah Selandia Baru karena Philip bagaimanapun adalah warga negaranya. Karena posisi Philip ini, keterlibatan Wellington bukan merupakan bentuk intervensi.
“Kalau kita membaca statement Egianus terakhir kan… Beliau ada memberikan statement bahwa memberi opsi dua bulan. Pernyataan itu kan sebenarnya harus dilihat sebagai sebuah kemajuan dalam proses-proses negosiasi yang selama ini kita lakukan,” tambahnya.
Frits juga menambahkan, “Pertanyaan penting sekarang, adalah bagaimana kita meresponsnya. Mereka sudah memberi opsi soal perundingan. Karena itu kemajuan ini harus direspons secara cepat.”
Secara detil, menurut Frits, pemerintah harus melibatkan semua pihak yang saat ini turut berperan dalam krisis penyanderaan ini. Setelah itu, sebuah langkah bersama dikomunikasikan dengan pihak TPNPB secara resmi melalui kurir yang dipercaya.
Satu hal yang pasti, kata Frits, menukar satu sandera dengan tuntutan Papua merdeka adalah sesuatu yang tidak logis.
Frits meyakinkan bahwa meski semua nampak berjalan lambat, tetapi seluruh pihak telah bekerja keras selama empat bulan lebih ini. Seluruh komponen, baik pemerintah daerah, tim Komnas HAM Papua, Lembaga Swadaya Masyarakat, dan pihak gereja, menurut dia, turut berperan aktif dalam upaya pembebasan Philip.
Aktivis pembela HAM Papua, Yones Dou, juga menitikberatkan perundingan sebagai jalan keluar terbaik.
“Orang yang tidak tahu menahu dengan politik, disandera. Itu tidak masuk akal sama sekali. Kita menghargai manusia, walaupun satu orang saja. Kita hargai jiwanya dan keluarga dia. Perlu ada perundingan,” tegasnya.
Yones menambahkan, “Pilot ini tidak pernah melakukan kejahatan dan dia tidak tahu menahu dengan persoalan yang dituntut TPNPB. Tapi karena warga asing maka mereka mereka lakukan itu.”
Isu utamanya, lanjut Yones, adalah siapa pihak yang bisa dipercaya TPNPB sebagai juru runding.
“Enggak bisa tokoh adat, tokoh agama, karena mereka tidak percaya pimpinan gereja. Mereka juga tidak percaya sama kepala suku dan tokoh adat,” ujarnya.
Yones menyebut, kemungkinan juru runding datang dari organisasi internasional. Jika upaya serupa bisa berhasil di Aceh pada 2004, seharusnya Papua mengadopsi langkah yang sama.
Pemerintah, lanjut Yones, harus yakin bahwa proses perundingan atau dialog tidak bermakna memenuhi tuntutan TPNPB untuk merdeka. Perundingan terbatas pada upaya untuk pembebasan sandera. Masalahnya adalah, Jakarta, kata Yones seolah menutup pilihan untuk perundingan.
Dia juga mengingatkan, memilih jalan militer untuk menyelesaikan krisis sandera adalah pilihan keliru. Pada kasus penyanderaan Mapenduma yang dilakukan sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM), Kelly Kwalik pada 1996, persenjataan mereka hanya sebatas panah. Kali ini, TPNPM memiliki senjata modern, baik yang diperoleh melalui pembelian di pasar gelap maupun merebut senjata milik aparat keamanan.
Karena itu, perundingan menjadi satu-satunya jalan. Apalagi, TPNPB sendiri sudah secara terbuka meminta adanya dialog terkait sandera ini. Jakarta harus membentuk juru runding, demikian pula TPNPB menunjuk pihak yang mereka percaya. Tiga unsur penting dari upaya ini adalah dialog, penarikan pasukan keamanan dari wilayah konflik, dan pelepasan sandera.
Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah