Oleh Wina Armada Sukardi
SAYA beruntung. Manakala sedang menjadi panitia perkawinan sepupu pada hari Sabtu, dapat warta, saya berhasil memperoleh tiket pertandingan kesebelasan Indonesia versus Argentina yang akan dilaksanakan pada hari senin malam.
Harapan itu sempat menipis, karena sampai senin pagi tiket belum dapat. Oleh sebab itu mengantisipasi skenerio terburuk tak jadi dapat tiket, saya sudah menyiapkan diri untuk menonton bersama keluarga di televisi. Kebetulan di rumah kami ada televisi 75’ di ruang keluarga tempat kami menonton bersama. Saya pun sudah meminta anak membeli kacang dan pagangan lain untuk acara nonton di rumah.
Jelang siang hari peroleh tiket terwujud: Saya dapat tiga tiket di VIP Timur. Bentuknya kain gelang yang ada barcodenya di tengah.
Jika gelang tiket dipakai di lengan, dapat diperkecil, tapi tidak dapat lagi dibuka tanpa merusak pengatur ikatannya di tengah. Sebaliknya, jika gelang tiket diperkecil, pengikat warna hitam itu dapat berfungsi.
Saya pergi bersama seorang anak kami yang pengemar bola, dan seorang adik. Kami datang tidak terlalu sore, melainkan mendekati jam pertandingan.
Masih Ada Tukang Catut
Kami turun di FX mall, dan berjalan kaki menuju venue yang berada tak jauh di seberang mall.
Tentu di sekitar komplek stadion utama sudah penuh manusia. Selain penonton, ada banyak pula para penjual. Baik penjual aksesoris buat nonton sepak bola seperti jersi, ikat kepala dan lainnya, tak ketinggalan penjual makanan dan minuman.
Menarik lagi, masih ada juga para tukang catut. Jelang berlangsungnya pertandingan, mereka masih berani menjual dan menbeli karcis! Memang saat itu ada penonton yang sudah datang, tapi belum memiliki karcis. Itulah penonton yang spekulatif. Mungkin khas penonton Indonesia.
Kesempatan itu, nampaknya, dimanfaatkan oleh beberapa manusia yang berniat jahat. Mereka memalsukan gelang tiket. Lalu menawarkannya kepada penonton yang belum punya tiket.
“Ini benar gak tiketnya?” tanya seorang penonton kepada penjual tiket yang mungkin palsu.
Percakapan itu sempat kami dengar belum jauh dari gerbang masuk, saat kami berjalan.
“Dijamin asli,” jawab penjual tiket, suaranya suara perempuan.
“Kalau perlu kami anter sama pintu,” kata penjualnya.
Penuh Sampah
Setelah itu kami tidak mengetahui kelanjutannya, karena harus terus berjalan. Kalau tidak terus berjalan, kami bakal terlambat menyaksikan pertandingan.
Di tempat pemeriksaan pertama, berupa berbagai pembatas besi-besi panjang, saya terkejut. Di lingkungan disana sudah seperti tempat sampah. Botol-botol dan makanan tersebar dan bertumpuk-tumpuk dimana-mana. Kotor.
Saya bertanya-tanya kenapa demikian? Ternyata itu dampak tidak boleh bawa makanan dan minuman ke stadion. Padahal banyak penonton yang membawa makanan dan minuman. Walhasil mereka harus merelakan makanan dan minumannya tak terbawa. Rupanya makanan dan minumannya dilempar dan diletakan begitu saja semaunya, sehingga menyerupai sampah yang berserakan. Apalagi memang panitia sendiri tidak mengantisipasi hal ini sehingg tidak menyediakan tempat sampah untuk botol-botol dan makanan yang terbuang.
“Lolos” dari pemgawasan itu kami masuk ke “pintu pengawasan” kedua. Di sana masih ada botol-botol berserakan, tapi jumlahnya sudah tidak sebanyak yang pertama.
Disini barcode gelang tiket kami discan. Selepas dari sini kami tinggal memilih zone pintu gerbang berapa. Kami dapat zone 7, sedangkan kami berada di zone 5. Ke sebelah kiri zone lebih kecil, dan ke kanan zone lebih besar. Maka kami harus berjalan lebih dahulu ke sisi kanan.
Penonton Menutup Gang Masuk
Di pintu masuk zone 7 sudah tidak terlalu banyak penoton yang mengantri. Kami dapat masuk dengan mudah menaiki tangga.
Di depan pintu masih ke stadion ada petunjuk arah. Nomer urut kecil kekiri dan yang lebih besar ke kanan. Tiket kami no 100,101 dan 102. Jadi kami ke kanan.
Di depan gang masuk stadion nomer kursi kami, agak aneh, banyak orang berdiri disitu. Mereka menutupi gang tempat orang lewat. Kami masuk dengan susah ke dalam.
Sulit Mencari Raw
Di dalam sendiri, di tangga sudah penuh orang berdiri.
Raw atau shaf kami ada di 28. Tapi karena informasi angka raw kecil berada ujung bawah setiap raw, banyak orang menjadi sulit mengetahui dimana raw atau shaf mereka berada.
Kami pun yang sudah terbiasa menonton di Stadion Gelora Bung Karno (SGBK) ini, masih keburu berjalan agak ke bawah dekat lapangan, padahl raw 28 ada di tengah. Walhasil kami harus berbalik kembali mencari raw 28. Rupanya letaknya hanya satu bangku setelah pintu masuk.
Sesudah nomer raw dapat, urusan belum selesai. Pertama kami tidak menemukan bangku kami. Baru setelah setelah kami urut nomernya, ternyata tiga kursi kami semuanya sudah diduduki oleh penonton lain tanpa rasa bersalah.
Saya ingat pelajaran sosiologi. Dalam kerumuman, kita harus jelas dan tegas. Maka dengan sikap penuh keyakinan dan ketegasan tanpa basa-basi, saya katakan kepada mereka yang menempati tempat duduk saya,” Maaf, ini nomer tempat duduk kami. Izin kami mau duduk. Tolong pindah!”
“Beruntung” ketiga penonton itu “menyerah tanpa syarat” alias mau pergi dengan kesadaran. Duduklah kami di tempat duduk kami sesuai nomer tiket kami.
Terhalang Penonton Berdiri
Siapkan menyaksikan pertandingan?
Belum. Di tangga dan di depan kami rupanya masih banyak penonton yang berdiri. Saya perhatikan lengan mereka: adakah gelang tiket di tangannya?
Beberapa jelas ada tiket di tangannya. Sedangkan sebagian besar lainnya tak ada gelang tiket. Berarti mereka “penonton gelap” yang masuk ke stadion tanpa tiket.
Saya menduga-duga, bagaimana mereka yang tanpa gilang tiket dapat masuk ke dalam stadion? Bukankah sudah ada pemeriksaaan berlapis. Besok paginya saya dengar dari berita, ada beberapa orang yang memalsukan tiket. Di televisi saya melihat sepasang lelaki perempuan digiring ke kantor polisi karena tertangkap memalsukan tilet. Dengan begitu urutan raw dan nomer keabsahan menjadi rancu.
Sedangkan yang tidak membawa tiket, boleh jadi mereka masuk dengan ilegal dengan berbagai cara. Misal sejak siang sudah berada di stadion. Atau bisa juga “menyelusup” waktu pemeriksaa. Apapun, ini catatan buat panitia penyelenggara untuk lebih selektif memeriksa penonton yang mau masuk.
Kepada penonton di depan kami yang berdiri, dan memikiki gelang tiket di tangannya, saya tanya kenapa tak duduk di kursinya? Menurut mereka, mereka tidak paham bagaimana mengetahui tempat duduknya. Mungkin ini juga pelajaran bagi pengelola stadion. Nomer raw dan kursi harus ditulis dengan besar dan terbaca dengan mudah, agar masyarakat peonton tidak bingung, terutama yang baru pertama dan kedua menonton langsung di stadion mudah mengerti.
Saya lalu bantu lihat raw dan nomernya penonton yang punya gelang tiket. Saya jelasin dia perlu ke atas atau kebawah. Saya bilang, kalau bangkunya ada yang duduki, minta mereka pergi. Saya contohkan saya sendiri.
Masalahnya, untuk menuju ke tempat duduk mereka, sulit. Ini karena terhalang para penonton yang berdiri di tangga. Untuk mencari tempat duduknya harus berdesak dan menerobos penonton yang berdiri.
Toh, beberapa mengikuti saran saya, memilih mencari nomer kursinya. Beberapa lagi terpaksa menonton sambil berjongkok atau duduk di lantai di belakang bangku.
Berlagak Dungu
Di depan kami rupanya masih ada yang berdiri. Saya tegur supaya pindah, atau mereka menonton sambil berjongkok atau duduk di tangga. Sebagian besar menurut atau pindah tempat. Satu dua orang berlagak – bego – atau berlagak dungu, bahkan ada memperlihatkan sikap tidak suka. Hanya lantaran saya perlihatkan sikap tegar dan tegas, mereka tak melanjutkan melawan.
Beberapa saat sebelum pertandingan dimulai, saya berdiri juga. Penonton di belakang saya, langsung komplain.
“Duduk!” kata penonton di belakang saya itu. Ini yang memang saya mau.
“Gimana mau duduk! Tuh lihat pada berdiri di depan di situ! Mana saya bisa melihat. Suruh mereka duduk dulu donga!” jawab saya keras.
Dari sana saya kembali minta orang yang berdiri tanpa gelang tiket untuk duduk. Lalu saya tunjuk orang yang di belakang saya minta saya gak berdiri. Dengan raut muka masem, orang itu bergeser sedikit ke tangga membuka pemandangan kami.
Selama pertandingan ada saja penonton, yang umumnya tanpa gelang tiket, menghalangi kami. Terpaksalah kami minta mereka duduk di lantai atau menyingkir.
Setelah turun minum baru orang-orang di depan kami pindah, entah kemana. Tetapi sepanjang tangga masih penuh penonton yang berdiri.
Perlu Diberi Sanksi Tegas
Seusai pertandingan, kami masih melihat peristiwa lanjutannya. Ada penonton yang tiba-tiba berlari nekat dapat menerobos barikade penjagaan. Dari kabar, belakangan dia mengaku fans yang mau berfoto dengan idolanya. Niat itu sempat terlaksana. Hasilnya dia pasang di media sosialnya.
Lolosnya penonton ini memperingatkan kepada kita, para penjaga harus benar-benar waspada, bahkan ketika pertandingan telah usia. Penonton yang lolos, memanfaatkan celah penjagaan yang mengurangi kewaspadaan lantaran merasa pertandingan sudah usai
Berikutnya kepada penonton tersebut, demi persepakbolaan Indonesia, harus ditindak tegas. Selain perlu diberi sanksi tidak boleh menonton pertandingan sepak bola langsung cukup lama, misal lima tahunan, juga supaya jera dikenakan hukuman lainnya. Hal ini karena tindakanan dapat merusak sepak bola Indonesia. Kesebelasan asing menjadi dapat tidak percaya kepada keamanaan Indonesia. Biaa juga membuat kalut para pemain di lapangan.
Begitu juga agar ke depan perbuatan ini tidak menjadi preseden. Jika satu penonton diperbolehkan, dapat diduga ke depan akan banyak penonton lain yang meniru coba-coba juga. Toh, tidak ditindak apa-apa, mereka dapat berpikir brgitu.
Kami masih menyaksikan Presiden Jokowi turun ke lapangan menyalami pemain kesebelasan Indonesia. Para penonton di sisi kami pun berteriak-teriak,”Jokowi-Jokowi!”
Sebelumnya penonton lebih dahulu berteriak “Messi, Messi….” Tanpa dikomando penonton pun juga berteriak-teriak, ”Arhan, Arhan…”
Sewaktu Shin Ta Young memimpin pasukan keliking stafion, penonton kembali berteriak-teriak “Shin Ta young, Shin Ta young..!”
Pintu Gerbang Tidak Terbuka
Sesudah seluruh acara selesai, kamipun pulang keluar stadion. Proses keluar stadion berjalan lancar.namun di pintu gerbang keluar ada sedikit masalah.
Penonton menunpuk dan mengular disana. Mulai terjadi sedikit dorong-dorongan. Penyebabnya pintu pagar di sebelah kami keluar hanya dua yang dibuka. Padahal pintunya kecil. Akibatnya arus penonton tersendat seperti leher botol. Untung tidak terjadi apa-apa.
Beberapa penonton berteriak,”Panitia belum siap sepenuhnya.” Ada juga yang bersuara keras,”Awas ingat Kahajuruan.”
Seusai melewati pagar ini, lancar. Kami berjalan kaki dan menyeberang jalan Sudirman melalui stasion MRT ke SCBD. Selanjutnya kami menunggu jemputan di depan lobi mall Pasific Place.
Kendati secara keseluruhan penyelenggaran pertandingan kesebelasan Indonesia versus juara dunia relatif bagus, tetapi bukan tanpa kelurangan. Masih banyak penonton tanpa karcis berhasil menerobos pemeriksaan. Masih banyak penoton yang berdiri mengganggu nikmatnya nonton langsung di stadion. Petunjuk yang minim dimana raw dan nomer kursi menyebabkan penoton masih banyak yang bingung, terutama yang dari daerah.
Demikian juga tidak dibukanya semua pintu gerbang waktu bubar dapat saja membawa malapetakan yang tidak diduga.
Bukan Kesebelasan Kaleng-Kaleng
Pertandingannya sendiri, sebagaimana telah disiarkan dan dibahas luas di berbagai media, berlangsung dalam atmosfir menenggangkan, khususnya bagi penonton Indonesia. Sebenarnya kesebelasan Argentina “gagal” menembus pertahanan Indonesia melalui cara normal. Dua gol yang melesat ke gawang Indonesia melalui “cannon ball” atau tembakan meriam jarah jauh, dan bola mati dari tendangan penjuru. Selebihnya berbagai usaha Argentina mentok.
Indonesia sendiri memikiki dua peluang emas. Pertama 90% harus sudah terkonvensi menjadil gol, tetapi tendangan pemain Indonesia (Ivan Jenner) masih lemah sehingga berhasil ditahan penjaga gawang Argentina.
Peluang kedua dari “lemparan khas” Arhan yang berhasil disundul dengan baik oleh Elkan Bagot , tapi berhasil ditip atau ditepis dengan satu tangan sambil terbang oleh penjaga gawang Argentina. Penyelamatan ini dijadikan foto di media sosial penjaga terbaik kejuaraaan dunia tersebut, pertanda itu penyelamatan yang gemilang.
Laga Indonesia lawan Argentina setidaknya menunjukkan, kesebelasan Indonesia kini bukan kelas kaleng-kaleng lagi. Biarpun peringkat Indonesia masih di 150, namun
Bermanfaat
Meskipun harus merogoh kocek lima juta dolar U$, atau sekitar Rp 75 mikiar, kehadiran kesebelasan Argentina memberikan banyak arti di sisi Indonesia. Pertama, dari segi finansial, pastilah panitia tidak rugi. Penjualan hak siaran televisi dan sponsorship sudah lebih dari biaya mendatangkan kesebelan Argentina.
Omzet dari pertandingan ini diperkirakan mencapai Rp 1 trilyun. Di tengah kesulitan perekonomian, perputaran uang membantu banyak masyarakat mendapat penghasilan tambahan yang lumayan.
Kedatangan kesebelasan Argentina ke Indonesia juga menjadi promosi besar-besar yang yang gratis. Hampir media di seluruh dunia melaporkan pertandingan ini. Sebelumnya, banyak pula media asing menulis tentang budaya atau kuliner Indonesia gegara menyambut pertandingan ini.
Perlu digarisbawahi, lantaran promosi dilakukan oleh media seluruh dunia secara independen, laporan dianggap masyarakat dunia terpercaya. Valid. Sebuah promosi yang sulit dilakukan, kalau dibayar sekalipun
Dan yang tidak kalah penting di aspek persepakbolaan sendiri. Dunia menjadi lebih mahfunn Indonesia memiliki infrastruktur sepakbola modern yang tidak kalah dari banyak negara lain. Kemegawahan Stadion Gelora Bung Karno kembali mendunia. Bahkan para pemain Argentina pun terlejut Indonesia memiliki sarana sepak bola yang demikian hebat.
Akhirnya para pemain kesebelasan Indonesia, mendapat pelajaran yang mewah. Untuk sukses tidak boleh minder, harus kerja keras sampai limit kemampuan terakir, harus menjaga kerjasama dan menjauhkan egoisme.
Satu lagi, Indonesia masih harus mencari “bomber” atau penyerang tengah yang oportunis, yang begitu ada kesempatan langsung mampu membobol gawang, dari kesebelasan manapun.*
Penulis adalah wartawan senior dan analis sepak bola.