Kokohnya Ponpes Al Zaytun, Bukti Kemunafikan Demokrasi

Retno Puspitasari, S.Si, Komunitas Muslimah Kota Batam. (Foto: Dokpri)

Oleh Retno Puspitasari, S.Si

MENARIK sekali pernyataan Kyai Athian Ali dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) yang dilansir Republika.co.id (https://news.republika.co.id/berita/rweu7f330/athian-ali-fpi-dibubarkan-al-zaytun-punya-pemerintahan-sendiri-malah-dibiarkan) ketika dimintai pendapat tentang Ma’had Al Zaytun Indramayu.

“HTI yang punya pemikiran tentang khilafah sudah dibubarkan, FPI juga dibubarkan, loh kok ini Al Zaytun dia jelas punya struktur pemerintahannya sendiri, dibiarkan.”

Ma’had Al Zaytun memang tengah menjadi sorotan setelah beberapa hal kontroversial mencuat di media sosial. Beberapa diantaranya adalah pelaksanaan sholat Ied yang bercampur antara shaf laki-laki dan perempuan, lalu ajakan untuk memberikan salam dalam bentuk nyanyian yang ternyata adalah salam kaum Yahudi.

Selain itu pemimpin Ma’had Al Zaytun juga menyampaikan kalau dirinya bermahzab Soekarno, padahal ini tidak dikenal dalam khazanah Islam. Kemudian pemimpin Al Zaytun juga menyatakan bahwa Al Qur’an adalah perkataan Rasulullah SAW, bukan Kalamullah.

Polemik dengan Ma’had Al Zaytun sebenarnya sudah lama. Kiai Athian Ali menyatakan bahwa FUUI sudah menyerahkan berbagai dokumen yang berisi bukti-bukti penyimpangan ajaran Al Zaytun serta hubungan kuat dengan NII KW 9. Dokumen itu telah diserahkan sejak 2001 kepada pihak berwajib.

Namun hingga saat ini tak ada tindakan apapun terhadap Al Zaytun. Bahkan ketika pemeriksaan terhadap Al Zaytun gencar dilakukan, salah satu pejabat tinggi di pemerintahan orde baru menyatakan akan menggebuk orang yang berani mengganggu Al Zaytun.

Tidak hanya terjadi pembiaran, ternyata Al Zaytun juga mendapatkan bantuan dana yang sangat besar dari pemerintah. Dilansir viva.co.id, Panji Gumilang menyatakan dengan berbagai skema, dalam satu tahun, bantuan total mencapai Rp 43 milyar.

Jika melihat pernyataan-pernyataan Pimpinan Al Zaytun, sebenarnya sudah bisa dilihat jika ada sesat pikir yang diajarkan dalam ma’had ini. Hal ini tentu membahayakan umat. Umat yang harusnya memahami Islam secara benar, akhirnya mengalami sesat pikir. Pemerintah juga terkesan tidak peduli. Justru ormas-ormas yang mendakwahkan ajaran Islam yang benar seperti HTI dan FPI, diberangus dengan dalih bertentangan dengan Pancasila.

Pemerintah seharusnya bersikap adil, dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya. Jika memang Islam mengajarkan tentang Khilafah, Jihad dan sebagainya, mengapa harus dikriminalkan? Bukankah Allah SWT berfirman, “Wahai orang yang beriman, masuklah kamu semua ke dalam Islam. janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kalian,” (TQS. Al-Baqarah : 208).

Toh, ormas-ormas ini tidak melakukan kekerasan dan pemaksaan kehendak dalam dakwahnya. Kalaupun ajaran Islam yang didakwahkan masih belum bisa dilaksanakan, kan tidak seharusnya dikriminalkan. Apalagi Indonesia adalah negeri muslim terbesar di dunia.

Indonesia mengaku sebagai negeri demokrasi, yang menghormati kebebasan berpendapat, bukankah kokohnya Al Zaytun menunjukkan kemunafikan demokrasi? Kebebasan berpendapat yang dijaga adalah “asal tidak merujuk pada Islam”? Pemikiran-pemikiran yang berasal dari Islam dimusuhi, aktivisnya dikriminalkan.

Contoh kasus lain yang menunjukkan kemunafikan demokrasi adalah pembubaran pengajian yang terjadi di Pasuruan baru-baru ini. Kepolisian terlihat berat sebelah dengan mendukung kelompok yang membubarkan pengajian. Padahal menurut penjelasan Prof. Mudzakir, Pakar Hukum Pidana, di TV One, mengadakan pengajian itu dibolehkan.

Jika mengundang banyak orang hanya perlu memberitahukan pada pihak kepolisian, tidak perlu izin. Adapun jika mengkaji masalah Khilafah, itu boleh-boleh saja. Karena Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Dan ini adalah kegiatan ilmiah. Di dalam hukum, kegiatan ilmiah sah-sah saja.

Sebagai umat Islam tidak layak berharap akan ada kebaikan yang dihasilkan dari demokrasi. Pemikiran ini harus ditinggalkan karena bertentangan dengan Islam. Dalam Islam berpendapat harus sesuai syariah. Tidak sekedar bebas sesuai hawa nafsu manusia. Para pemimpin yang membuat kebijakan juga harus ingat, bahwa jabatan akan dimintai pertanggungjawaban.

“Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, dan istri pemimpin terhadap keluarga rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya” (HR al-Bukhari).

Amanah kepemimpinan akan menjadi washilah menuju jannah-Nya jika digunakan dengan benar. Namun akan menjadi penyesalan dan kerugian (hizyun wa nadamah) jika dilakukan dengan khianat.

Wallahu a’lam.

Penulis adalah Komunitas Muslimah Kota Batam