Oleh Hendry Ch Bangun
PEKAN lalu, tepatnya Kamis 22 Juni 2023, mantan Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama mengritik pers barat yang lebih banyak memberitakan hilangnya kapal selam Titan ketimbang kematian ratusan pengungsi berperahu yang ingin mendarat di pantai Yunani.
Berbicara di event yang diadakan Stavros Narchos Foundation Cultural Centre, di Yunani, Presiden AS ke-44 itu menekankan pentingnya memberitakan hal terkait imigran yang berjuang untuk mencapai kehidupan yang lebih baik namun disambut dengan kematian. Dia mengakui bahwa upaya penyelamatan kapal selam, yang akhirnya ditemukan pecah meledak di bawah laut dan semua penumpangnya tewas, memang penting. Tetapi tidak masuk akal bahwa berita kematian ratusan imigram seperti tidak diperhatikan.
Kecaman tajamnya itu seperti sejalan dengan pikiran dan perasaan peserta yang hadir di acara itu, sehingga tantangannya mendapat aplaus yang hangat. Dalam keterangan sehabis acara dia kembali menekannya nyawa ratusan orang, yang pada ujungnya sebenarnya terjadi akibat tingginya disparitas/kesenjangan antara satu tempat dengan yang lain.
Para korban yang terdiri dari orang tua, perempuan, dan anak-anak berjumlah sekitar 750 orang sebagian besar dari Pakistan, Suriah, dan Mesir. Memang ada yang selamat tetapi sebagian besar kehilangan nyawa. Sebagaimana selama ini terjadi, mereka menyeberang dari Afrika, dan pada umumnya dimintai bayaran yang tinggi untuk ikut berlayar menuju tanah harapan.
Sementara korban Titan sebanyak 5 orang adalah orang berduit, pemilik perusahaan itu sendiri milyuner AS, Stockton Rush, pengusaha yang juga petualang ekstrem, Hamish Harding peneliti Titanic asal Perancis, Paul Henri Nargeolet, dan milyuner Inggris keturunan Pakistan, Shazada Dawood bersama anaknya Sulaeman Dawood.
Mereka memang punya nama yang punya nilai berita tinggi. Kegiatan untuk menengok Titanic yang tenggelam puluhan tahun lalu di Atlantik Utara memang banyak dipublikasi sehingga beritanya semakin besar ketika mengalami tragedi, mulai dari hilang sampai diketemukan dalam kondisi pecah.
***
Tewasnya imigran dari Afrika di tengah laut sebelum mencapai daratan Eropa, sudah berlangsung bertahun-tahun, dan bahkan sempat menjadi krisis di benua biru itu. Beberapa negara sempat menutup berbatasannya karena mereka menjadi tujuan favorit pengungsi, sementara negara lain yang kurang menjanjikan membiarkan saja perbatasan mereka dimasuki tokh hanya perlintasan.
Kejadian berulang-ulang inilah yang barangkali membuat imigram mati tenggelam tidak lagi memiliki “news value” bagi media-media besar di Eropa dan bahkan dunia. Dan sudah puluhan ribu barangkali yang mati tenggelam. Apalagi seperti tidak ada solusi yang jelas, perdebatan tidak pernah selesai, yang ada adalah penolakan dari negara yang menjadi tujuan akhir.
Pers Indonesia yang jauh dari peristiwa termasuk jarang memberitakannya. Kecuali terjadi sesuatu yang luar biasa dan menjadi pemberitaan besar di jaringan media internasional, maka bisa jadi ikut memuatnya. Setelah itu hilang lagi. Sesuai hukum jurnalistik, tidak adanya proximity membuat pengungsian di Eropa sana tidak menarik bagi pers Indonesia.
Bahkan gelombang pengungsi dari Myanmar yang bertubi-tubi masuk ke provinsi Aceh pun, tidak selalu menjadi liputan nasional. Hanya banyak menjadi berita di media setempat. Agak berbeda ketika arus pengungsi dari Vietnam dulu menyerbu Indonesia sampai akhirnya ditempatkan di Pulau Galang, ramai karena menjadi liputan media internasional.
Tetapi bagaimana dengan hati nurani kita? Bagaimana kita melihat perjuangan hidup orang susah, orang miskin, yang berjuang sampai kehilangan nyawa untuk mendapatkan dunia baru yang lebih baik? Apakah nyawa tidak lagi berarti?
Kematian saat berjuang untuk hidup lebih baik seharusnya menjadi bahan berita yang penting, selain juga menyentuh rasa kemanusiaan kita, sangat memenuhi unsur human interest. Tetapi mari kita lihat produk jurnalistik di media arus utama, apakah hal-hal seperti itu sering muncul? Tampaknya memang tidak, kalaupun ada sangat sedikit.
Ada banyak tragedi kemanusian yang tampak di depan mata kita setiap hari, tetapi barangkali karena urusan praktis lalu dikesampingkan. Untuk media cetak, tulisan panjang tentu haruslah berisi hal-hal penting dan menarik bagi pembacanya, karena kertas makin mahal dan halaman harus dihemat. Ya selain peristiwa besar tentu saja yang “layak berita”, orang terkenal, orang penting, seperti adagium names make news.
Media siber memiliki halaman tidak terbatas, apa saja bisa dimuat, tetapi agar diklik audiens dan pageview bagus, tentu saja yang dipentingkan apa yang sedang viral, apa yang sedang jadi bahan percakapan, jadi pada umumnya tentang orang popular dan orang terkenal. Para pengungsi dianggap orang tak bernama, tidak bertitel, dan tidak penting untuk dijadikan berita.
Berbeda barangkali dengan pemusik Coldplay, yang penjualan tiketnya saja sudah bikin heboh. Dikaitkan lagi dengan personelnya yang dianggap bakal mempromosikan LGBT, dst. Atau kesebelasan nasional Argentina, yang berkunjung ke Indonesia. Mulai dari teka teki hadir tidaknya Lionel Messi, penjualan tiket sistem lelang yang membuat banyak peminat kesulitan untuk memperolehnya, harga tiket yang lebih tinggi dari biasanya, dsb.
Tidak ada bedanya dengan media televisi yang juga banyak fokus pada berita yang sesuai permintaan audiens, yang viral, yang faktual, yang peristiwanya memiliki kedekatan dengan pemirsanya. Atau dalam kasus tertentu, membuat pemberitaan yang sesuai dengan pesanan, entah itu untuk yang berani bayar maupun kepentingan politik pemiliknya.
Kalau dikatakan pers sudah semakin jauh dengan jati dirinya yang diagung-agungkan di masa lalu, itu tidak salah. Zaman berubah, tuntutan juga berubah, sementara daya dukung untuk hidup semakin menurun. Bertahan dengan menyesuaikan diri atau mati dalam idealisme? Pastilah para pemilik media memilih hidup.
***
Dari sisi pers sebagai industri, begitulah keadaannya. Tetapi apakah pengelola media dan wartawan sama sekali tidak lagi peduli pada nilai-nilai kemanusian seperti tragedi matinya ratusan pengungsi itu? Semestinya tetap peduli.
Wartawan adalah profesi yang sangat melekat dengan kemanusian. Hampir semua wartawan sangat cepat tersentuh apabila ada peristiwa yang menyangkut nyawa manusia, hidup mati manusia. Maka kalau kalau sudah beku dan kebal, imun, dengan situasi miris yang dia ketahui, mungkin bisa dikatakan jiwa kewartawanannya telah hilang.
Kita bisa mencoba mengujinya dengan terjun ke lapangan. Melihat pedagang keliling yang dalam satu hari bisa tak laku satu pun dagangannya, melihat supir mikrolet yang lebih sering termenung karena penumpang semakin jarang, ojek lapangan yang terpuruk karena kalah bersaing dengan ojek online, apakah kisah mereka itu menarik diberitakan atau menganggapnya orang yang sudah bernasib sesuai takdirnya?
Atau pergi ke kamar mayat untuk melihat orang yang kehilangan ayah, ibu, kekasih, anak, atau saudaranya. Bagaimana satu nyawa itu begitu penting dalam kehidupan mereka. Ditangisi, diciumi karena seolah tidak mau berpisah. Tetapi kalau tidak menyangkut diri kita, belasan, puluhan, atau ratusan nyawa seperti kasus pengungsi di perairan Yunani, justru terlewat begitu saja dari perhatian kita.
Kita sendiri sebagai wartawan barangkali beruntung, mencapai keadaan sekarang setelah berjuang tidak kenal waktu, bercucuran keringat, dihina dan dimaki, dan tetap bertahan karena ingin memperoleh jabatan, kedudukan, yang lebih baik. Maka sewajarnya pula kita menghargai perjuangan, siapapun dia termasuk orang-orang “kecil” di atas, dan dengan status wartawan menjadikannya sebagai tulisan untuk menjadi perhatian orang-orang yang berkepentingan. Siapa tahu ada kebijakan yang lalu membantu orang-orang tersebut.
Mudah-mudahan kritik yang disampaikan Obama itu sedikit menggugah hati nurani kita sebagai wartawan, untuk lebih peduli pada kemanusian, khususnya pada mereka yang terpinggirkan, tersisihkan, dan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik.
Wallahu a’lam bhisawab.
Ciputat 28 Juni 2023
Penulis adalah wartawan senior mantan Wakil Ketua Dewan Pers dan Sekjen PWI Pusat