Oleh Syahganda Nainggolan
KETIKA kemarin pagi saya masuk ke gedung Fakultas Ekonomi UI, mau ke ATM, saya terkejut dengan 4 poster menempel di atas gedung itu. Poster itu berisi kata kunci tentang pandangan filosofi UI atau fakultas itu, yang pertama Etika dan Tanggung Jawab Sosial (ethics and CSR), dan yang terakhir berpikir kritis (Critical Thinking).
Penempatan etika di depan membuat saya terbayang pada dua sosok, pertama adalah Rocky Gerung yang selalu memompakan akal sehat atau lebih dekatnya berpikir kritis ketimbang etika. Sedang sosok lainnya adalah Yusrizky dan beberapa pengurus alumni ITB yang diduga menjadi otak korupsi BTS Kominfo. Kebetulan Yusrizky dan beberapa lainnya pernah berinteraksi dengan saya dahulu.
Apa itu etika? Apa itu berpikir kritis?
Etika adalah kajian filosofis tentang karakteristik seseorang. Ini terkait moralitas. Para filosof, sejak jaman Plato dan Aristoteles, membahas soal ini dalam konteks kebahagiaan manusia. Manusia hidup adalah untuk mengejar kebahagiaan, happiness.
“Beeing good person” atau menjadi manusia bermoral adalah bagian pencapaian happiness itu. Demikian Aristoteles dalam Aristotle’s Ethics yang dikutif dari Stanford Ensyclopedia.
Berpikir kritis sendiri terkait dengan logik. Rocky Gerung menjadi simbol pembicaraan tentang ini di Indonesia. Rasionalitas adalah menggunakan akal pikiran untuk melakukan sesuatu atau membuat keputusan.
Persoalannya apakah etik dan logik ini mampu dimiliki seseorang secara simultan? Mengapa semboyan di FE UI itu yang utama etik, bukan rasional?
Setiap orang tidak bisa mempunyai kemampuan simultan dalam keseimbangan logik dan etik. Aristoteles membagi orang tersebut dalam tiga kelompok, pertama people of continent, kedua people of incontinent dan terakhir evil people. Yang continent adalah manusia bijak. Terjadi keharmonisan pada dirinya. Yang kedua di bawah rata-rata dalam pengendalian diri. Yang terakhir adalah manusia rusak, yang nafsunya tidak dapat dikendalikan.
Menurutnya, karakter itu atau hal-hal terkait etika seperti keberanian (courageous), keadilan (justice), pengendalian diri atau kesederhanaan (temperance), dan sejenisnya, dapat diperoleh melalaui pembinaan karakter ketika masa perkembangan anak. Itu harus dipupuk kokoh.
Yusrizky dan beberapa pengurus pusat alumni ITB, dalam katagori Aristoteles adalah evil people. Mereka telah menjadi otak dalam perkara korupsi BTS, penjahat besar. Ini korupsi terparah di Indonesia sejak jaman kemerdekaan. Sebab, menurut Mahfud MD projek ini fiktif. Di rancang dan dikerjakan sepanjang tahun 2020-2022 dengan anggaran sangat besar, Rp10 triliun, dikorupsi hampir Rp8 triliun atau 80 persen.
Selain itu, media mainstream, juga melaporkan keterlibatan hampir seluruh komponen penting kekuatan rezim Jokowi, baik menteri, pimpinan parpol yang berkuasa dan pengusaha pro Jokowi.
Meskipun pengungkapan kasus ini terkesan dikendalikan dalam batasan kepentingan politik 2024, namun kejahatan bisnis ini mirip dengan korupsi bansos, yakni dilakukan atas nama kepentingan vital bangsa, yakni digitalisasi pendidikan di era pandemi Covid-19.
Evil people yang dilakukan dan diorganisasikan alumni-alumni ITB merupakan pengkhianatan kaum intelektual. Yusrizky dan alumi ITB itu bukan saja pengurus inti alumni, melainkan juga aktifis sentral ketika mereka menjadi mahasiswa di era 90 an. Apakah pengkhianatan ini merupakan kegagalan sistem sosial kita melakukan kontrol atas individual atau sub sistem di bawahnya?
Kita bisa saja menyalahkan situasi negeri ini yang sangat korup sejak Jokowi berkuasa, yakni indeks persepsi korupsi 34, jauh di bawah rata-rata internasional 44, menurut Transparasi Internasional.
Pandangan ini dapat didekati dengan perspektif struktural. Namun, sepanjang kepedulian kita rendah pada isu etik, yakni moral dan kultur manusia kita, maka kita akan pasrah pada situasi yang ada. Di sinilah peranan perguruan tinggi dan intelektual mendorongnya agar isu moral atau etika menjadi isu utama yang harus diselesaikan.
Tentu kita yang mayoritas beragama Islam dan agama Samawi lainnya, sepakat dengan Aristoteles pentingnya etika. Kita perlu melakukan refleksi mengapa agama di Indonesia gagal memberikan etika pada manusia kita?
Kampus dan kaum ulama perlu melakukan kajian-kajian serius soal ini. Apakah kegagalan itu bisa dibenahi? Bagaimana menjadikan kaum intelektual sebagai sandaran etik selamanya?
Penutup
Kasus korupsi BTS Kementerian Informatika telah menunjukkan hancurnya kaum intelektual, khususnya alumni ITB. Beberapa nama yang jadi otak korupsi ini, Yusrizky, Anang Latif dan lainnya merupakan pengurus inti alumni ITB. Bahkan, mereka aktivis utama kemahasiswaan ITB ketika mahasiswanya tahun 90an. Ini adalah sebuah pengkhianatan kaum intelektual.
Sumber masalahnya terletak pada hilangnya etika atau pembangunan karakter di Indonesia. Tentu saja tidak mengurangi domain kegagalan sistem atau struktur sosial yang memang korup. Pada bahasan ini kita harus berani mengambil sisi etik atau moral atau karakter sebagai tantangan besar yang harus kita selesaikan.
Sebab, kita sudah bingung mau menyelesaikan dari mana soal korupsi ini, jika tidak mulai dari pembenahan karakter manusia kita.
Semoga kaum intelektual berbenah diri, menjadikan landasan moral dan karakter yang kokoh sebagai bagian penting dari kiprah kehidupannya. Semoga bangsa ini bisa selamat dan bebas korupsi nantinya. Entah kapanpun.
Penulis adalah Direktur Eksekutif Sabang-Merauke Circle