Menkes Ungkap 400 Ribu Pengidap TBC Tak Terdeteksi dan Berpotensi Menularkan

Seorang dokter (kiri) menghibur pasien tuberkulosis di poliklinik Persatuan Melawan Tuberkulosis di Jakarta, 4 April 2011. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

J5NEWSROOM.COM, Jakarta – Indonesia masih menempati posisi kedua sebagai negara dengan jumlah penderita tuberkulosis (TB atau TBC) terbanyak di dunia setelah setelah India. Pemerintah berkomitmen untuk mempercepat upaya mengeliminasi penyakit tersebut dengan beberapa langkah penting.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan jumlah kasus TBC di tanah air kurang lebih mencapai 969 ribu per tahun. Namun sayangnya, masih banyak penderita yang tidak terdeteksi sama sekali, sehingga tidak mendapatkan penanganan pengobatan yang tepat.

“Di Indonesia diestimasi setiap tahun ada 969 ribu masyarakat kita yang terkena TB dan sampai sebelum COVID paling banyak bisa teridentifikasi 545 ribuan. Jadi sisanya 400 ribu itu tidak terdeteksi, padahal ini penyakit menular, bisa menular ke mana-mana,” ungkap Budi usai rapat terbatas dengan Presiden Jokowi Di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (18/7/2023).

Dengan fakta tersebut, ujar Budi, sejak akhir tahun lalu pemerintah telah melakukan upaya akselerasi deteksi penderita TBC, sehingga jumlah penderita yang ditemukan naik menjadi sekitar 720 ribu. Ia pun berharap di tahun depan, setidaknya pemerintah bisa mendeteksi 90 persen dari jumlah 969 ribu penderita TBC di tanah air.

Untuk mencapai target ini, Kementerian Kesehatan akan bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

Selain itu, berkaitan dengan pengobatan, kata Budi, Presiden Jokowi menginstruksikan agar disiapkan sebuah tempat karantina yang berdekatan dengan wilayah yang memiliki banyak kasus TBC. Hal tersebut dilakukan agar keluarga pengidap TBC tidak ikut tertular penyakit tersebut. Tempat karantina ini juga dibuat agar pasien TBC bisa disiplin dalam meminum obat, mengingat masa pengobatan TBC yang memakan waktu cukup lama yakni minimal enam bulan.

“Arahan Bapak Presiden, selama dua bulan ini coba disiapkan karantina khusus, tapi kalau bisa dekat dengan masing-masing lokasi di mana terjadi tuberkulosis ini. Jadi selama dua bulan dia tidak menularkan keluarganya, dimasukkan ke karantina khusus. Saya disuruh kerja sama dengan Menteri PUPR (Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) di bawah koordinasi Menko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) agar bisa tidak menular, dan diberikan obat, dipastikan dua bulan dia minum obat terus,” jelasnya.

Lebih jauh, Menkes Budi menuturkan, pemerintah saat ini juga tengah melakukan kajian untuk mendatangkan vaksin TBC jenis baru karena vaksin sebelumnya — yakni vaksin BCG — efektivitasnya dinilai rendah. Indonesia saat ini juga telah berpartisipasi aktif dengan organisasi dunia untuk mengatasi masalah ini, dan sudah ada tiga potensi vaksin baru yang akan didatangkan oleh pemerintah.

“Yang paling dekat adalah vaksin yang ditemukan oleh Glaxosmithkline (GSK), kemudian diambil alih oleh Bill and Melinda Gates Foundation, sekarang sedang dalam proses untuk melakukan uji klinis di Indonesia, bekerja sama Kemenkes dengan UI (Universitas Indonesia), dan Universitas Padjadjaran, dengan BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan),” jelasnya.

Dalam kesempatan ini, Budi juga mengatakan bahwa Indonesia mendapatkan donasi dari sejumlah pihak, seperti USAID sebesar USD70 juta untuk program pengentasan TBC. Anggaran ini, kata Budi, tidak hanya digunakan oleh pemerintah saja, tapi juga oleh lembaga-lembaga masyarakat yang turut membantu memberantas penyaki TBC.

“Jadi khusus untuk TBC, dari sisi anggaran enggak masalah, selain anggaran pemerintah yang ada, tapi donasinya jauh lebih besar daripada anggaran pemerintah sendiri,” tandasnya.

Tantangan Eliminasi TBC di Indonesia

Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan, Indonesia memang memiliki berbagai tantangan yang cukup berat dalam mengeliminasi penyakit TBC. Pertama katanya terkait diagnosi dan terapi.

“Karena Indonesia terdiri dari banyak pulau dan masyarakatnya beragam suku, ras dan agama, maka pemerintah seringkali kesulitan mengontrol dan memberantas penyakit tersebut,” katanya.

“Akses terbatas pada layanan kesehatan yang berkualitas, khususnya di daerah terpencil, kepulauan, lalu tingkat kemiskinan yang tinggi dikombinasikan dengan kurangnya jumlah peralatan kesehatan, termasuk tenaga kesehatan yang professional yang bisa menangani cepat. Kombinasi semua itu menyebabkan keterlambatan diagnosis dan terapi TBC,” ungkap Dicky.

Tantangan selanjutnya adalah resistensi obat. Menurut Dicky, mengatasi tantangan yang satu ini cukup sulit karena dibutuhkan kepatuhan, literasi yang baik, dan pemantauan dalam terapi pengobatan penyakit TBC tersebut.

“Apalagi ini anggaran pemerintah terbatas.. Ini akhirnya obat yang tidak mendapat perhatian, program yang tidak mendapat perhatian akhirnya ya kurang pengadaan, ini akhirnya menyebabkan resistensi,” katanya.

Meskipun penyakit TBC sudah berpuluh-puluh tahun eksis, namun stigma buruk penyakit ini, banyak masyarakat enggan untuk memeriksakan diri atau kesadaran untuk memeriksakan dirinya sangat rendah.

Meski begitu, Dicky optimistis bahwa dengan bantuan teknologi maju, pemerintah dapat memberantas penyakit tersebut.

“Di sisi lain ada peluang sebetulnya dengan teknologi yang lebih advanced. Saat ini ada rapid molecular test yang bisa secara signifikan mengurangi waktu untuk mendiagnosis TBC dan juga drugs resistant TBC. Jadi artinya teknologi bisa dan harus dimanfaatkan. Digital health technology juga bisa dimanfaatkan untuk men-tracking pasien seperti halnya COVID-19,” tambahnya.

Dicky merekomendasikan kepada pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Sumber: voaindonesia.com
Editor: Saibansah